Selasa, 03 Maret 2015

Barongsai

Barongsai

Bre Redana  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 01 Maret 2015

                                                                                                                       
                                                

Sejak seputar tahun baru Imlek hingga 15 hari sesudahnya yang disebut Cap Go Meh kini orang bisa melihat barongsai di mana-mana. Di Jakarta, atraksi naga-nagaan itu muncul baik di old China seperti Glodok sampai wilayah yang bolehlah disebut sebagai startup hub Jakarta, yakni Jakarta Selatan dengan mal-mal berkelasnya. Pada zaman Orde Baru/Soeharto barongsai tidak boleh dimunculkan, seiring keluarnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang prinsipnya melarang praktik keagamaan, adat istiadat, kebudayaan China.

Di Bogor pada beberapa tahun terakhir Cap Go Meh menjadi festival rakyat terbesar. Puluhan kelompok barongsai berkarnaval sepanjang Jalan Suryakencana. Tahun ini di mana acara akan jatuh tanggal 5 Maret nanti, rute akan diperpanjang sampai Jalan Pajajaran. Sejumlah pejabat tinggi katanya akan hadir. Ada baiknya kalau kabar itu benar, mereka datang tidak dengan atribut jabatan. Biarlah rakyat yang tiap hari dicekam manuver politik penguasa bersenang-senang tanpa diganggu prosedur protokoler dan keamanan yang menyebalkan.

Banyak sudah yang menyebut ini sebagai refleksi dari perayaan keberagaman, kebinekaan, pluralisme. Dikenal luas oleh para pengamat dan penggagas urbanisme, pluralisme menjadi semacam imperatif atau prasyarat bagi perkembangan kota.

Salah satu pemikirnya yang dominan adalah Richard Florida. Dalam berbagai bukunya, termasuk di antaranya The Rise of the Creative Class dan Who’s Your City, dia menghubungkan pluralisme dan keberagaman dengan kreativitas serta bangkitnya kelas kreatif.

Ia melakukan penelitian di sejumlah kota. Beberapa kota yang memiliki ciri kurang lebih serupa dikelompokkan dengan sebutan misalnya startup hub tadi. Di situ ada kota misalnya Austin, yang menjadi ”ibu kota live music dunia”. Lalu Tucson, pusat teknologi optik, berfokus pada desain optikal, teknologi-teknologi lingkungan, dan industri penerbangan. Tak ketinggalan London, yang menonjol dengan perdagangan saham dan berbagai temuan media baru (new media).

Ada pula kategori lain, yakni culture centers. Masuk dalam kategori itu kota-kota seperti Barcelona, Miami, dan Dakar. Ini belum menyebut yang lain, misalnya yang dijuluki ”Mekkah kelas kreatif”, yaitu Shanghai, New York, San Francisco, dan Buenos Aires.

Meski berbeda-beda wujudnya, kota-kota dicontohkan tadi memiliki ciri-ciri yang kurang lebih sama yang mendukung perkembangan mereka: pluralistik, adanya kelas kreatif yang berkumpul menjadi satu.

Khusus untuk bersemainya gagasan pluralisme di negeri ini, orang jelas tak bisa melupakan jasa Gus Dur. Banyak orang mengenang Gus Dur sebagai tokoh lintas identitas, lintas etnisitas, bahkan mungkin lintas ruang, lintas waktu. Pernah di televisi semasa hidupnya Gus Dur dipertemukan dengan penggemarnya dari kota kecil di Jawa Timur yang mengoleksi segala hal mengenai Gus Dur. Saat ditanya kesannya, Gus Dur tidak mengungkapkan perasaannya, tetapi melemparkan pertanyaan: di mana alamatnya? Saya ingin mendatanginya.

Bagi dia, yang memperjumpakan ia dengan orang lain atau orang per orang adalah inti kemanusiaan orang per orang itu. Dia dijegal sebagai presiden karena di sini hakikat politik adalah kepentingan kelompok, kepentingan gerombolan.

Barongsai serta bentuk-bentuk lain seperti kie lin (yang ini hanya ada di Bogor, khas Persatuan Gerak Badan Bangau Putih) merupakan simbol dari mitologi kuno mengenai pekerti manusia, pekerti alam, menyangkut hal-hal baik dan buruk.

Di saat gerombolan penyamun menggerogoti negara, hak serta harta rakyat, kita perlu kembali kepada moral baik-buruk itu. Kami tahu kok, pemimpin yang berkualitas itu seperti apa, gubernur yang berintegritas itu siapa. Karnaval rakyat harus menjadi simbol kekuatan rakyat, yang siap bergerak kalau negara di ambang krisis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar