Kamis, 05 Maret 2015

Ketika Begal Diadili Masyarakat

Ketika Begal Diadili Masyarakat

Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
MEDIA INDONESIA, 04 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

RUPANYA masyarakat melakukan pertolongan diri sendiri, lantaran kecewa atas lemahnya penegakan hukum oleh kepolisian dan rendahnya putusan hakim. Pelaku begal (perampok) kendaraan bermotor dibakar hidup-hidup sampai tewas oleh warga di kawasan Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten (24/2). Warga yang selama ini resah tiba-tiba geram hingga melakukan tindakan main hakim sendiri melalui `pengadilan jalanan' (street justice) yang tidak kalah sadis dengan yang dilakukan pembegal. Kejadian yang nyaris serupa terjadi di Makassar (28/2). Dua pelaku jambret (pencurian kekerasan) yang masih berusia 15 dan 16 tahun yang diduga anggota geng motor nyaris tewas dihakimi massa saat tertangkap tangan. Kemarahan warga lantaran sudah muak serta sakit hati atas ulah para pembunuh jalanan.

Tindakan main hakim sendiri sebagai upaya menolong diri sendiri memang bukan fenomena baru. Di era Orde Baru, ada dikenal dengan istilah penembak misterius (petrus) yang cenderung dibenarkan.Sasarannya para pelaku kejahatan jalanan atau preman jalanan. Dalam `urbandictionary.com', pengadilan jalanan diartikan sebagai hukuman atau balasan yang diberikan dengan main hakim sendiri di luar jalur peradilan yang dibenarkan undang-undang. Karena itu, penjatuhan sanksi melalui pengadilan jalanan ialah ilegal dan berlebihan.

Pergeseran nilai?

Kenapa selalu muncul pengadilan jalanan? Jawaban juga akan muncul dengan mudah, antara lain karena masyarakat sudah tidak percaya dengan proses hukum karen tidak memberikan efek jera, tidak menimbulkan rasa takut bagi yang lain. Hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terlalu ringan, tidak sesuai dengan ancaman pidana maksimal yang tertera dalam pasal undang-undang yang dilanggar. Padahal, penyidik kepolisian begitu susah payah mengintai, menangkap, dan mencari alat bukti sebagai dasar bagi hakim menjatuhkan putusan.

Rupanya terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat bahwa penghukuman massa melalui pengadilan jalanan bukan lagi perbuatan melawan hukum yang dapat dipidana. Dalam teori hukum pidana memang dikenal `sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif'. Teori itu menyebut, meskipun suatu perbuatan secara tegas dinyatakan melawan hukum dalam hukum tertulis (undang-undang/ UU), menurut nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat perbuatan itu tidak perlu dipidana. Sebaliknya, dalam teori `sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positif', meskipun suatu perbuatan tidak dirumuskan sebagai perbuatan melawan hukum dalam hukum tertulis, kalau masyarakat menganggap perbuatan itu tercela lantaran bertentangan dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat, perbuatan itu dapat dipidana.

Ukuran pembenaran teori hukum pidana tentang `sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif' akan terlihat pada tindakan polisi. Apabila polisi `membiarkan' atau tidak menangkap dan memproses warga masyarakat yang terbukti melakukan pengadilan jalanan, teori itu memiliki penguatan dan pembenaran. Aparat penegak hukumlah yang memiliki otoritas untuk merefleksi teori itu, apakah dibenarkan dengan tidak memproses warga masyarakat atau tetap memprosesnya sesuai hukum yang berlaku.

Belakangan ini muncul persepsi dalam masyarakat, bahwa proses hukum dan penjatuhan pidana oleh pengadilan resmi tidak membawa efek perbaikan terhadap menurunnya kejahatan jalanan. Warga yang melakukan pengadilan jalanan berharap, agar cara-cara yang dilakukan itu meimbulkan efek jera. 

Esensi kehadiran hukum dan aparat penegaknya ialah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Boleh jadi, masyarakat merasakan hukum yang terurai dalam pasal UU tidak lagi memiliki efektivitas. Apabila pelaku kejahatan jalanan dilakukan anak di bawah umur atau belum berusia 18 tahun, penghukumannya tidak boleh sama dengan orang dewasa. Namun, dalam Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa anak yang telah berusia 14 tahun dapat dijatuhi pidana penjara jika melakukan kejahatan yang ancaman pidananya tujuh tahun atau lebih.

Pelajaran berharga

Wakapolri Komjen Polisi Badrodin Haiti secara tegas menyatakan (Media Indonesia, 1/3), polisi bisa menembak begal dan pelaku kejahatan jalanan tanpa perlu diperintah. Namun, tindakan itu dilakukan jika situasinya mendesak. Misalnya, kalau mengancam jiwa orang lain atau petugas, atau melarikan diri saat akan ditangkap.

Pengadilan jalanan di Pondok Aren dan Makassar perlu diwaspadai agar tidak berkembang tanpa kendali. Setidaknya itu menjadi pelajaran berharga bagi penegak hukum, bahwa masyarakat sudah sangat muak dan sakit hati atas kesadisan anakanak remaja yang mestinya tidak pantas dilakukan. Polisi, jaksa, dan hakim harus lebih tegas serta keras dalam memproses dan menjatuhkan hukuman.

Upaya mengampanyekan bahwa pengadilan jalanan ialah tindakan ilegal dan tidak dibenarkan yang harus dibarengi dengan tindakan tegas penegak hukum. Jika tidak, boleh jadi pengadilan jalanan bisa juga mengadili sendiri pelaku kejahatan berdasi (koruptor) apabila kekecewaan masyarakat tidak terjawab. Sebetulnya, masyarakat hanya butuh perlindungan dari aksi kejahatan. Kalau pengadilan jalanan terus terjadi, tentu itu akan merusak tatanan hukum yang belakangan ini memang mengalami kemerosotan nilainilai keadilan, kemanfaatan bagi masyarakat, dan kepastian hukum.

Masyarakat tidak boleh dibiarkan secara sendirian menolong diri sendiri terhadap kejahatan yang mengintainya sebab bisa berbias arah jika `massa' yang bergerak. Maka itu, kepolisian harus selalu hadir di tengah-tengah masyarakat untuk bersinergi menjaga keamanan dan kenyamanan. Rakyat telanjur kecewa sehingga mengadili sendiri para begal dan pelaku kejahatan jalanan. Kita tidak ingin main hakim sendiri berkembang, tidak boleh membuka ruang bagi penyaluran kekecewaan dengan cara yang melanggar hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar