Ketika
Begal Diadili Masyarakat
Marwan Mas ; Guru
Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Maret 2015
RUPANYA masyarakat melakukan
pertolongan diri sendiri, lantaran kecewa atas lemahnya penegakan hukum oleh kepolisian
dan rendahnya putusan hakim. Pelaku begal (perampok) kendaraan bermotor
dibakar hidup-hidup sampai tewas oleh warga di kawasan Pondok Aren, Tangerang
Selatan, Banten (24/2). Warga yang selama ini resah tiba-tiba geram hingga
melakukan tindakan main hakim sendiri melalui `pengadilan jalanan' (street justice) yang tidak kalah sadis
dengan yang dilakukan pembegal. Kejadian yang nyaris serupa terjadi di
Makassar (28/2). Dua pelaku jambret (pencurian kekerasan) yang masih berusia
15 dan 16 tahun yang diduga anggota geng motor nyaris tewas dihakimi massa
saat tertangkap tangan. Kemarahan warga lantaran sudah muak serta sakit hati
atas ulah para pembunuh jalanan.
Tindakan main hakim sendiri
sebagai upaya menolong diri sendiri memang bukan fenomena baru. Di era Orde
Baru, ada dikenal dengan istilah penembak misterius (petrus) yang cenderung
dibenarkan.Sasarannya para pelaku kejahatan jalanan atau preman jalanan. Dalam
`urbandictionary.com', pengadilan jalanan diartikan sebagai hukuman atau
balasan yang diberikan dengan main hakim sendiri di luar jalur peradilan yang
dibenarkan undang-undang. Karena itu, penjatuhan sanksi melalui pengadilan
jalanan ialah ilegal dan berlebihan.
Pergeseran nilai?
Kenapa selalu muncul pengadilan
jalanan? Jawaban juga akan muncul dengan mudah, antara lain karena masyarakat
sudah tidak percaya dengan proses hukum karen tidak memberikan efek jera,
tidak menimbulkan rasa takut bagi yang lain. Hukuman yang dijatuhkan oleh
hakim terlalu ringan, tidak sesuai dengan ancaman pidana maksimal yang
tertera dalam pasal undang-undang yang dilanggar. Padahal, penyidik
kepolisian begitu susah payah mengintai, menangkap, dan mencari alat bukti
sebagai dasar bagi hakim menjatuhkan putusan.
Rupanya terjadi pergeseran nilai
dalam masyarakat bahwa penghukuman massa melalui pengadilan jalanan bukan
lagi perbuatan melawan hukum yang dapat dipidana. Dalam teori hukum pidana
memang dikenal `sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif'. Teori itu
menyebut, meskipun suatu perbuatan secara tegas dinyatakan melawan hukum
dalam hukum tertulis (undang-undang/ UU), menurut nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan masyarakat perbuatan itu tidak perlu dipidana. Sebaliknya, dalam
teori `sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positif', meskipun suatu
perbuatan tidak dirumuskan sebagai perbuatan melawan hukum dalam hukum
tertulis, kalau masyarakat menganggap perbuatan itu tercela lantaran
bertentangan dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat, perbuatan
itu dapat dipidana.
Ukuran pembenaran teori hukum
pidana tentang `sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif' akan
terlihat pada tindakan polisi. Apabila polisi `membiarkan' atau tidak
menangkap dan memproses warga masyarakat yang terbukti melakukan pengadilan
jalanan, teori itu memiliki penguatan dan pembenaran. Aparat penegak hukumlah
yang memiliki otoritas untuk merefleksi teori itu, apakah dibenarkan dengan
tidak memproses warga masyarakat atau tetap memprosesnya sesuai hukum yang berlaku.
Belakangan ini muncul persepsi
dalam masyarakat, bahwa proses hukum dan penjatuhan pidana oleh pengadilan
resmi tidak membawa efek perbaikan terhadap menurunnya kejahatan jalanan.
Warga yang melakukan pengadilan jalanan berharap, agar cara-cara yang
dilakukan itu meimbulkan efek jera.
Esensi kehadiran hukum dan aparat
penegaknya ialah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Boleh jadi,
masyarakat merasakan hukum yang terurai dalam pasal UU tidak lagi memiliki
efektivitas. Apabila pelaku kejahatan jalanan dilakukan anak di bawah umur
atau belum berusia 18 tahun, penghukumannya tidak boleh sama dengan orang
dewasa. Namun, dalam Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 11/2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, bahwa anak yang telah berusia 14 tahun dapat dijatuhi
pidana penjara jika melakukan kejahatan yang ancaman pidananya tujuh tahun
atau lebih.
Pelajaran berharga
Wakapolri Komjen Polisi Badrodin
Haiti secara tegas menyatakan (Media Indonesia, 1/3), polisi bisa menembak
begal dan pelaku kejahatan jalanan tanpa perlu diperintah. Namun, tindakan
itu dilakukan jika situasinya mendesak. Misalnya, kalau mengancam jiwa orang
lain atau petugas, atau melarikan diri saat akan ditangkap.
Pengadilan jalanan di Pondok Aren
dan Makassar perlu diwaspadai agar tidak berkembang tanpa kendali. Setidaknya
itu menjadi pelajaran berharga bagi penegak hukum, bahwa masyarakat sudah
sangat muak dan sakit hati atas kesadisan anakanak remaja yang mestinya tidak
pantas dilakukan. Polisi, jaksa, dan hakim harus lebih tegas serta keras
dalam memproses dan menjatuhkan hukuman.
Upaya mengampanyekan bahwa
pengadilan jalanan ialah tindakan ilegal dan tidak dibenarkan yang harus
dibarengi dengan tindakan tegas penegak hukum. Jika tidak, boleh jadi
pengadilan jalanan bisa juga mengadili sendiri pelaku kejahatan berdasi
(koruptor) apabila kekecewaan masyarakat tidak terjawab. Sebetulnya,
masyarakat hanya butuh perlindungan dari aksi kejahatan. Kalau pengadilan
jalanan terus terjadi, tentu itu akan merusak tatanan hukum yang belakangan
ini memang mengalami kemerosotan nilainilai keadilan, kemanfaatan bagi
masyarakat, dan kepastian hukum.
Masyarakat tidak boleh dibiarkan
secara sendirian menolong diri sendiri terhadap kejahatan yang mengintainya
sebab bisa berbias arah jika `massa' yang bergerak. Maka itu, kepolisian
harus selalu hadir di tengah-tengah masyarakat untuk bersinergi menjaga
keamanan dan kenyamanan. Rakyat telanjur kecewa sehingga mengadili sendiri
para begal dan pelaku kejahatan jalanan. Kita tidak ingin main hakim sendiri
berkembang, tidak boleh membuka ruang bagi penyaluran kekecewaan dengan cara
yang melanggar hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar