Sabtu, 07 Maret 2015

Kembali Menegaskan Islam Profetik

Kembali Menegaskan Islam Profetik

Muchamad Yuliyanto  ;  Dosen FISIP Universitas Diponegoro,
Peminat dinamika politik dan keumatan
SUARA MERDEKA, 06 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

“Melihat fakta kemajemukan masyarakat kita, Islam tidak memiliki hubungan formal dengan negara”

ARTIKEL ini saya tujukan untuk melengkapi artikel Rektor Unwahas Semarang Noor Achmad (SM,17/2/15), selaku peserta sekaligus tokoh Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI pada 9-11 Februari 2015 yang menghasilkan ’’Risalah Yogyakarta’’. Kegiatan itu digelar di tengah pusaran keprihatian bersama atas kondisi umat, generasi muda, serta para pengelola negara dan kebijakan publik yang terjebak turbulensi kemerosotan moral dan etika.

Hampir tiap individu sebagai anggota masyarakat atau jamaah keagamaan kini dapat mengakses informasi apa pun, yang membawa efek tidak saja pada perubahan paradigma ataupun meluasnya pengetahuan. Akses itu bisa berefek pada perubahan perilaku di masyarakat. Terpaan berbagai informasi dibarengi kemerosotan internalisasi dan aktualisasi nilai jati diri bangsa (Pancasila), menggerus pemahaman substantif ajaran agama.

Akibatnya, aktivitas keagamaan jadi sekadar komoditas perbincangan sosial yang dikemas dalam budaya populer dan kegilaan pada selebritas berbungkus agamawan. Oleh karenanya kini masih merebak patologi sosial seperti apatisme, penggunaan narkoba, seks bebas, tawuran, sampai perilaku bullying di kalangan remaja. Gejala yang mengkhawatirkan masa depan bangsa.

Kehidupan sosial politik pascareformasi tidak menyertakan ideologi sehingga orang berpolitik tanpa nilai diferensiasi. Padahal itu seharusnya diperjuangkan lewat partai ataupun institusi  pengambil keputusan. Perburuan kekuasaan di legislatif dan eksekutif  lewat pemilu yang seharusnya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, justru dilanda politik pragmatis transaksional.

Ironisnya, semua itu mengatasnamakan kepentingan rakyat dan demokrasi, padahal mereka dipastikan mayoritas muslim. Meski demikian kita tidak perlu pesimistis apalagi patah harapan. Risalah KUII VI merupakan serum sosial untuk mengobati penyakit akut anak bangsa tersebut. Kongres di Yogyakarta itu terasa makin menegaskan Islam profetik.

Gerakan itu menempatkan nilai-nilai ajaran Islam sebagai etika moral untuk lebih memandu perubahan dan perbaikan perilaku individu ataupun kehidupan berbangsa dan bernegara di ranah sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Konkretnya, menempatkan ajaran Islam secara universal sebagai nilai transformatif dalam bingkai amar makruf nahi mungkar sehingga bisa diterima oleh keragaman entitas sosial politik.

Hal itu sejalan dengan pandangan Budhy Munawar Rahman (1999;104) bahwa menempatkan Islam dalam pusaran kemajemukan Indonesia sebagai Islam transformatif yang berupaya membebaskan masyarakat muslim (termasuk yang miskin dan terbelakang) dari belenggu dominasi struktur sebagai agenda utama.

Dominasi struktur adalah keberadaan institusi pemerintah dan pembuat keputusan dari pusat hingga daerah, atau strata sosial atas nama agama, ekonomi, sosial budaya, dan politik yang timpang. Hal itu bisa kita saksikan dalam dua windu perjalanan reformasi. Kehendak mayortitas umat Islam pascakemerdekaan telah menempatkan relasi agama dan negara dalam bingkai integratif.

Bukan Satu-satunya

Artinya, relasi Islam dan negara ditunjukkan melalui hubungan kehidupan agama dan pemeluknya, dan kehadiran negara yang ditentukan oleh pola hidup kemasyarakatan yang diikutinya. Melihat fakta kemajemukan masyarakat kita, Islam tidak memiliki hubungan formal dengan negara sehingga tidak menghubungkan ajaran agama dengan urusan kenegaraan secara legal formal. Apalagi Islam bukan satu-satunya agama yang diakui negara.

Risalah Yogyakarta jelas memperkuat Islam sebagai nilai profetik yang berfungsi mengawal dan memandu perilaku individu ataupun kemasyarakatan dan kenegaraan dalam NKRI. Kondisi itu tidak membutuhkan dukungan formalitas yang mengarah pada negara agama.

Bukti risalah sebagai penegasan Islam Profetik ada pada Pasal 2 yang secara tekstual tertulis ’’seruan kepada penyelenggara negara dan kekuatan politik nasional untuk mengembangkan praktik politik yang berakhlakul karimah alias menjunjung tinggi etika moral’’. Substansi ajaran ditujukan kepada seluruh elemen bangsa.

Adapun nilai profetik yang mendesak pada gerakan struktural adalah Pasal 4 yang berbunyi,’’ menyeru pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat untuk mewaspadai dan menghindarkan diri dari budaya yang tak sesuai dengan nilai syariat Islam dan budaya luhur bangsa’’. Esensi itu pun termaktub dalam Pancasila.

Terakhir, isi Pasal 1 ’’seruan persatuan umat Islam Indonesia untuk bersatu membangun dan melakukan penguatan politik, ekonomi dan sosial budaya umat Islam Indonesia yang berkeadilan dan berperadaban’’. Pasal itu terasa lebih mengedepankan upaya membangun ukhuwah Islamiyah yang diperuntukkan bagi ukhuwah wathaniyah sekaligus ukhuwah basyariyah. Hal itu selaras dengan pandangan  Gus Dur (2006) yang berupaya direalisasikan saat menjadi presiden ke-4, selaku  representasi tokoh muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar