Senin, 09 Maret 2015

Kekalahan KPK Era Jokowi

Kekalahan KPK Era Jokowi

Mahfudz Ali  ;  Dosen Pascasarjana;
Ketua Pusat Studi Antikorupsi Unniversitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang
SUARA MERDEKA, 07 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

DALAM pendidikan antikorupsi disebutkan bahwa andai Indonesia sungguh-sungguh mau mencegah dan memberantas korupsi maka bisa mendanai sekolah gratis sampai perguruan tinggi, membebaskan biaya kesehatan, menyediakan rumah murah, meningkatkan pendapatan rakyat, menambah modal usaha rakyat, fasilitas umum dan sosial juga bagus, dan sebagainya.

Semua itu bermuara pada kesejahteraan rakyat dan peningkatan martabat bangsa di dunia internasional. Gerakan pencegahan korupsi telah dilakukan sedemikian masif oleh KPK. Langkah KPK juga membuktikan tak ada manusia yang kebal hukum. Bupati, wali kota, gubernur, menteri, anggota DPR/DPRD, pengusaha kakap atau jenderal sekalipun harus menginap di hotel prodeo bila diperkarakan oleh KPK. Tindakan ini tidak pernah terjadi selama pemberantasan korupsi dikomandani aparat penegak hukum kepolisian dan kejaksaan.

Kiprah dahsyat dan bernyali oleh KPK itu membuahkan dukungan luar biasa dari rakyat. Terbukti serangan bertubi-tubi yang menyasarnya mampu dipatahkan, tapi tidak demikian dengan  saat ini. Sampai-sampai karena tidak kuat menahan gejolak nurani kebenaran dan kejujuran, punggawa KPK memuntahkan gejolak itu meski dengan risiko terkena sanksi.

Mereka menulis poster ’’bila rakyat tak berani mengeluh, itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah maka kebenaran pasti terancam. Pergilah! Kau lawan itu. Mamak sudah rela kau harus siap dalam perjuangan’’. Jeritan punggawa KPK itu sejatinya memanggil dua ormas besar di Indonesia: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang pada 17 November 2003 di Pesantren Al Hikam Malang Jatim mendeklarasikan gerakan antikorupsi.

Deklarasi itu menyatakan korupsi saat ini sudah dalam taraf membahayakan. Indonesia negara muslim terbesar namun tingkat korupsinya juga ’’terbesar’’. Agama hanya menjadi lips service. Melihat kondisi itu, apakah NU dan Muhammadiyah tidak tersinggung?

Agaknya torehan emas sejarah deklarasi antikorupsi itu perlu langkah nyata dari dua ormas besar tersebut. Tanpa langkah konkret, nasib deklarasi tersebut tidak jauh berbeda dari Nawa Cita Jokowi.

Di titik ini, jujur harus diungkapkan bahwa pemerintahan SBY jauh lebih berani mengamankan KPK. Betapa tidak! SBY ’’mengikhlaskan’’ sang besan, Aulia Pohan diperkarakan KPK, meski keluarga besar itu, seperti menantu, anak, dan cucunya, bersedih merasakan nestapa Aulia di dalam penjara.

Demikian pula SBY dengan gagah menghentikan kriminalisasi komisioner KPK Chandra Hamzah-Bibit Samad Rianto dan kembali memulihkan martabat mereka. Demi pemberantasan korupsi pula, SBY meminta para menterinya yang berstatus tersangka mengundurkan diri. Sederet politikus binaannya harus melepaskan kursi mewahnya bila menjadi tersangka.

Apa yang bisa dimaknai dari langkah Jokowi saat ini, yang malah berencana menerbitkan inpres mengenai pemberantasan korupsi (SM, 6/3/15)? Ucapan Jokowi yang sudah di luar kepala rakyat adalah pesannya, ’’antar penegak hukum, jangan gesekan tapi saling bersinergi, jangan sok kuasa. Presiden tidak akan mengintervensi proses hukum’’. Tapi tanpa menghentikan bola panas kasus Komjen Budi Gunawan (BG) yang bergulir liar, Jokowi justru meneruskan ke DPR, sampai bergulir di lembaga praperadilan dan berujung pada kekalahan KPK.

Lebih Berani

Di satu sisi KPK harus mempercepat penyelesaian tumpukan berkas perkara, di sisi lain harus menghadapi berbagai serangan. Plt komisioner bentukan Jokowi ternyata tidak berani memproses bola panas BG, dan malah mengoperkan ke kejaksaan. Bahkan kejaksaan pun merencanakan menyerahkan kepada Polri dengan argumen korps Bhayangkara itu telah mengawali memeriksa kasus tersebut.

Luar biasa BG, dan juga Jokowi yang masih jalan di tempat dengan lagu lama tak mau mengintervensi proses hukum. Pada titik ini, pemerintahan siapakah yang lebih berani menyelamatkan KPK? Tak cukup dengan hanya mengatakan tidak punya beban masa lalu, manakala tidak ada kebijakan yang lebih memperkuat KPK dalam pemberantasan korupsi.

Kunci sukses pemberantasan korupsi, menurut Jakob Svensson, ibarat operasi militer yang ditentukan oleh mandat, momentum, kepemimpinan komando operasi, dukungan persenjataan dan logistik, serta kemampuan menenangkan hati dan pikiran masyarakat (khususnya dalam operasi yang berbaur dengan sipil).

Karena itu, operasional strategi perang melawan korupsi juga perlu memperhatikan kombinasi beberapa faktor, terutama political will pemerintah. Tanpa kemauan politik di tingkat tertinggi, mustahil memberantas korupsi secara efektif. Sekarang saatnya  kita menagih langkah Jokowi, juga NU-Muhammadiyah dengan deklarasi dan komitmen antikorupsinya, sebelum KPK tercatat sebagai bagian dari sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar