Rabu, 18 Maret 2015

Jokowi dan Kriminalisasi Pers

Jokowi dan Kriminalisasi Pers

Sabam Leo Batubara  ;  Wakil Ketua Dewan Pers 2007-2010
KORAN TEMPO, 18 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Pada era reformasi ini, sebagai institusi yang berfungsi melindungi kemerdekaan pers, Dewan Pers selalu berkepentingan agar presiden yang baru atau sedang memerintah tetap berkomitmen melindungi kemerdekaan pers. Untuk melindungi kemerdekaan pers, Dewan Pers berharap penegasan kebijakan pers presiden dalam menyikapi perkara pers tetap berpedoman pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan tidak kembali mengacu pada KUHP, produk hukum warisan penjajah Belanda.

Menyikapi laporan meningkatnya kecenderungan penegak hukum mengkriminalkan pers, Jokowi menyatakan berkomitmen mendukung kebebasan pers yang bertanggung jawab. Namun pers juga harus menghormati hukum.

Pernyataan normatif itu menunjukkan Jokowi belum memiliki kebijakan pers yang jelas, harus mengacu pada UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang tidak mengkriminalkan pers dalam pekerjaan jurnalistik untuk kepentingan umum, atau berpedoman pada KUHP, yang 37 pasalnya mengkriminalkan pers?

Pernyataan Jokowi tersebut berbeda benar dengan pernyataan SBY. Tiga setengah bulan setelah pelantikannya menjadi Presiden RI keenam, SBY menegaskan, "Penyelesaian masalah berita pers ditempuh pertama dengan hak jawab. Kedua, bila masih dispute diselesaikan dengan Dewan Pers. Ketiga, bila masih dispute penyelesaian dengan jalur hukum tidak ditabukan sepanjang fair, terbuka, dan akuntabel."

Dewan Pers menilai pernyataan Presiden SBY itu sesuai dengan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan menggunakannya sebagai bahan dalam sosialisasi UU Pers.

Pada awal masa pemerintahan Presiden Jokowi, berkembang lingkungan strategis yang pengaruhnya dapat mengancam kemerdekaan pers. Pertama, kriminalisasi terhadap pers meningkat. Ketua Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia, Fauzan Rachman, melaporkan majalah Tempo ke polisi. Beritanya, tertanggal 25 Januari 2015 berjudul "Bukan Sekadar Rekening Gendut", dituduh melanggar UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dewan Pers telah mengingatkan bahwa Kepolisian seyogianya terlebih dulu mengadukan Tempo ke Dewan Pers.

Pengadilan Negeri Jayapura, pada 24 Oktober tahun lalu, memvonis dua wartawan Prancis dengan hukuman 2 bulan 15 hari penjara karena menyalahgunakan visa kunjungan dengan meliput investigasi di Papua.

The Jakarta Post, 3 Juli 2014, memuat karikatur yang diambil dari media Al-Quds yang beredar di Palestina. Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Korps Mubalig Jakarta, Edy Mulyadi, dalam pengaduannya ke Kepolisian menilai media itu melakukan penistaan terhadap Islam. Dewan Pers di Kantor Polda Metro Jaya, 6 November 2014, memberi penjelasan karena persoalan itu semata-mata merupakan perkara jurnalistik. Berdasarkan nota kesepahaman Dewan Pers dan Kepolisian pada 9 Februari 2012, seyogianya perkara itu diselesaikan di Dewan Pers. Namun Kepolisian tetap mendakwa Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, Meidyatama, melanggar Pasal 156 KUHP dengan ancaman pidana di atas 5 tahun penjara.

Kedua, kebijakan pers Presiden Jokowi belum jelas. Jokowi akan melanjutkan kebijakan pers mantan Presiden SBY atau mundur dengan mengikuti kebijakan pers mantan Presiden Megawati? Pada era pemerintahannya, Megawati tercatat mengadopsi kebijakan pers yang bukan saja membiarkan, tapi juga mendukung kriminalisasi pers. Contohnya, kasus majalah Tempo soal berita "Ada Tomy di Tenabang" (3/3/03), kasus harian Rakyat Merdeka yang diadukan Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung, dan dalam kaitan dengan berita "Mulut Mega Bau Solar".

Adapun Presiden SBY dalam pemerintahannya selama 10 tahun selalu berusaha menghadiri acara puncak Hari Pers Nasional pada 9 Februari. Dalam sambutannya, SBY selalu menunjukkan sikap melindungi kemerdekaan pers. Sikap SBY itu berdampak positif, yakni perubahan sikap petinggi polisi, jaksa, dan hakim dari sebelumnya gemar "meng-KUHP-kan" pers menjadi memberi kepercayaan kepada Dewan Pers untuk menyelesaikan sengketa pers. Mereka juga bersedia menindaklanjuti pertimbangan Dewan Pers terkait dengan media yang dinilai terindikasi melanggar UU Pers dan/atau KUHP.

Ketiga, kriminalisasi terhadap pegiat anti-korupsi juga mengancam pers. Pimpinan dan penyidik KPK kini terancam dikriminalkan. Akhir-akhir ini, pegiat anti-korupsi dilaporkan oleh berbagai kalangan ke Kepolisian.

Presiden Jokowi sudah berkali-kali meminta Kepolisian menghentikan kriminalisasi terhadap pegiat anti-korupsi tersebut. Persoalan bertambah setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla menyuarakan pernyataan yang terkesan mendukung kriminalisasi itu.

Dalam kondisi sebagaimana dikemukakan, untuk melindungi kemerdekaan pers, Presiden Jokowi sangat diharapkan melanjutkan kebijakan pers Presiden SBY yang mempedomani UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Jika Presiden Jokowi justru memilih kebijakan pers yang membiarkan kriminalisasi pers, apalagi mendukungnya, dampaknya bukan saja melemahkan pers dalam melakukan fungsi kontrol sosial dan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Hal itu juga membuat media berkualitas gentar dan terancam saat melakukan jurnalisme investigasi untuk mengungkap praktek-prektek bad governance, seperti pelanggaran HAM dan tindak korupsi oleh penyelenggara negara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar