Rumah
di Atas Kuburan
Dianing Widya ; Novelis dan Pegiat Sosial
|
KORAN
TEMPO, 18 Maret 2015
Ada puisi termasyhur yang menggunakan makam
sebagai simbol kuat untuk menyatakan duka, yakni puisi berjudul Malam Lebaran karya Sitor Situmorang.
Puisi tersebut hanya terdiri atas satu baris frasa: bulan di atas kuburan. Dalam puisi itu, secara konotatif makam
digambarkan sebagai dunia "lain" yang menyajikan kemuraman dan
aroma kematian yang membetot saraf-saraf kita serta ketidakberdayaan manusia
sekaligus kekuasaan Tuhan.
Namun
kuburan belakangan ini tidak hanya bermakna demikian. Ia bukan sekadar tempat
peristirahatan terakhir. Lebih dari itu, makam merupakan cara keluarga
berkomunikasi dengan orang lain.
Keluarga kaya tentu berbeda dengan keluarga miskin dalam urusan makam.
Keluarga miskin cukup memakamkan saudaranya dengan cara sekadarnya, yakni dua
nisan sederhana dari kayu dengan nama yang ditulis dengan peranti sederhana.
Urusan
makam menjadi serius bagi keluarga kaya. Mereka tak akan memberikan nisan
sederhana untuk orang yang mereka sayangi. Nisan akan dipesan khusus dari
tukang pembuat nisan, tentu dengan ornamen yang terkesan mewah. Bahkan,
sebagian di antara mereka membeli khusus kaveling makam yang kini banyak
muncul di sejumlah tempat, yang tentu saja, mewah, berkelas, hijau, dan
nyaman bagi para peziarah alias lebih mirip taman rekreasi. Di sinilah status
sosial seseorang tetap terbaca, meski sudah meninggal.
Makam
juga bisa menceritakan kepada publik siapa sosok yang terbenam di dalamnya.
Taj Mahal hanyalah satu contoh. Makam ini dibangun sebagai ungkapan rasa
cinta yang mendalam dari Kaisar Shah Jehan kepada istrinya, Mumtaz Mahal.
Dalam perkembangannya, makam ini menjadi salah satu tujuan wisata yang terkenal
di seluruh dunia. Selain menjadi lambang cinta abadi, makam ini termasuk satu
dari tujuh keajaiban dunia.
Makam
juga menjadi penanda bagi almarhum: seberapa besar namanya ketika hidup,
sejauh mana pengaruhnya dalam masyarakat, hingga sekuat apa kharisma dan ilmu
agamanya. Karena itu, makam orang biasa hanya dikunjungi keluarganya,
sedangkan makam tokoh atau orang-orang besar diziarahi orang-orang dari
berbagai kalangan. Ada yang datang demi kepentingan politik (termasuk politik
pencitraan), ada pula yang berdoa untuk almarhum, meminta restu, dukungan,
hingga berkah.
Sikap
masyarakat dalam memperlakukan makam juga berubah. Pada masa lampau, makam
selalu dekat dengan suasana sepi, sintru, dan menyeramkan. Ia disikapi
sebagai dunia "terasing", seperti tergambar dalam puisi Malam
Lebaran karya Sitor Situmorang di atas. Tak aneh, ketika mendengar kata
makam, bulu kuduk orang selalu bergidik. Anak-anak tak bisa dengan santai
melenggang di depan makam dan cenderung memilih jalan lain untuk menghindar.
Orang
pun tidak sembarangan melangkah di atas gundukan "rumah-rumah"
orang yang terbaring di sana. Sebab, selain harus menjaga kesopanan,
pengunjung harus menghormati orang-orang yang telah tiada. Karena itu, sangat jarang, misalnya, makam
digusur untuk kepentingan tertentu.
Hal
itu berbeda dengan saat ini, ketika makam kehilangan "kekuasaan"
magisnya. Makam tak lagi angker, sehingga tak lagi dihormati. Karena itu,
makam bisa dengan mudah berubah menjadi perumahan, mal, apartemen, dan
proyek-proyek modern lainnya. Makam dengan mudah digusur, sedangkan jasad di
dalamnya dipindahkan ke tempat lain yang sangat jauh.
Ia
semakin kehilangan nilai-nilainya sebagai pengingat kematian. Ia tidak lagi
menyeramkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar