Jihad
Konstitusi ala Muhammadiyah
Biyanto ; Dosen UIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur
|
JAWA
POS, 18 Maret 2015
DALAM
perspektif Islam, jihad berarti berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
melaksanakan segala sesuatu. Jihad memiliki akar kata yang sama dengan
ijtihad, yakni jahd. Hanya, istilah ijtihad berasal dari hadis, sedangkan
jihad dari Alquran. Meski demikian, substansi jihad dan ijtihad adalah
mengerahkan seluruh tenaga, daya, dana, dan pikiran (total endeavor) sehingga
terwujud nilai-nilai yang diridai Allah SWT.
Dalam
sejumlah referensi dapat dipahami, jihad tidak harus dimaknai perjuangan
fisik. Contohnya, pandangan Buya A.R. Sutan Mansur, ulama besar Sumatera
Barat yang menjadi nakhoda Muhammadiyah periode 1952–1957. Beliau memaknai
jihad dengan pengertian bekerja sepenuh hati. Makna itu sangat menarik karena
jihad tidak dijelaskan dengan kata berperang, melainkan bekerja keras,
bekerja cerdas, dan bekerja ikhlas.
Perspektif
Buya Sutan Mansur ternyata begitu menginspirasi Muhammadiyah. Ajaran jihad
diejawantahkan dalam bentuk berkarya untuk memperbaiki kondisi bangsa. Ibarat
jarum jam, Muhammadiyah terus bergerak guna melahirkan amal-amal sosial yang
bermanfaat bagi umat. Dengan memahami ajaran agama sebagai praksis sosial (a faith with action), Muhammadiyah
terus berkarya dengan mendirikan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, serta
lembaga perekonomian.
Menariknya,
saat memasuki abad kedua dari perjalanan sejarah organisasi ini, sangat
tampak keinginan kuat untuk mengembangkan bidang dakwah dalam konteks
kekinian. Salah satu yang patut dicatat adalah keberhasilan Muhammadiyah
melakukan jihad konstitusi. Melalui jihad konstitusi, Muhammadiyah berjuang
untuk meluruskan sejumlah perundang-undangan yang dianggap kurang berpihak
kepada rakyat.
Sejak
November 2012 hingga akhir Februari 2015, Muhammadiyah telah empat kali
melakukan judicial review terhadap perundang-undangan yang terus memicu
kontroversi. Empat UU yang di-judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK)
adalah UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit, UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, serta UU
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Hebatnya,
seluruh jihad konstitusi Muhammadiyah melalui judicial review tersebut
dikabulkan MK. Kini Muhammadiyah pun bersiap mengajukan judicial review
terhadap UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing. Prestasi
Muhammadiyah saat melakukan judicial review terhadap sejumlah UU jelas sangat
membanggakan.
Melalui
tim pakar dan ahli hukumnya, Muhammadiyah telah mengkaji beberapa UU yang
dianggap tidak prorakyat. Usaha itu kemudian ditindaklanjuti dengan mengajak
beberapa tokoh nasional serta ormas untuk mengajukan judicial review terhadap
UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Meski kedudukan hukum (legal standing)
dan kompetensinya sebagai pemohon judicial review UU Migas sempat
dipertanyakan, Muhammadiyah ternyata sukses memenangi gugatan di MK.
Harus
diakui, sejauh ini, hampir tidak ada ormas apalagi ormas keagamaan yang
berani mengambil peran dalam advokasi kebijakan. Biasanya, advokasi kebijakan
hanya diperankan lembaga bantuan hukum atau lembaga swadaya masyarakat (LSM),
baik dalam maupun luar negeri. Muhammadiyah memahami, pengajuan judicial review
terhadap UU yang kurang berpihak kepada kepentingan rakyat merupakan bagian
dari komitmen untuk meluruskan kiblat bangsa.
Bagi
Muhammadiyah, pengelolaan sumber daya alam harus berorientasi pada
kesejahteraan rakyat. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin
menegaskan, langkah menggugat beberapa UU yang kurang berpihak kepada rakyat
itu merupakan bagian dari dakwah politik amar makruf nahi mungkar.
Pertanyaannya, apa yang mesti dilakukan agar putusan MK efektif? Inilah
pekerjaan rumah Muhammadiyah. Bersama pilar civil society lainnya,
Muhammadiyah harus mengawal putusan MK.
Publik
tentu masih ingat tatkala MK memerintah pemerintah membubarkan Badan
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sebagai
konsekuensi pembatalan UU Migas. Saat itu, pemerintah hanya mengganti nama BP
Migas dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK
Migas). Padahal, dalam amar putusannya, MK memutus bahwa BP Migas yang diatur
dalam UU Migas tidak memiliki kekuatan hukum sehingga harus dibubarkan. UU
Migas juga berpotensi memicu liberalisasi pengelolaan migas karena intervensi
perusahaan asing.
Perubahan
casing BP Migas menjadi SKK Migas oleh pemerintah jelas tidak menyelesaikan
masalah. Sebab, kenyataannya, SKK Migas tetap berpotensi menjadi sarang
koruptor. Karena itu, tidak mengherankan jika di kemudian hari kepala SKK
Migas ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap
tangan dengan tuduhan menerima suap dari perusahaan asing.
Karena
itu, kemenangan Muhammadiyah dalam jihad konstitusi harus benar-benar
ditindaklanjuti. Jangan sampai amar putusan MK yang memenangkan gugatan
Muhammadiyah atas sejumlah UU tersebut tidak dijalankan pemerintah dan DPR.
Harus dipastikan bahwa pemerintah dan DPR benar-benar menaati putusan MK
sehingga UU yang dibuat tidak lagi bertentangan dengan semangat nasionalisme.
Semoga
jihad konstitusi ala Muhammadiyah menjadi penyemangat bagi organisasi
tersebut untuk terus berkiprah. Itu berarti jihad konstitusi juga bisa
menjadi salah satu topik yang menarik dibicarakan dalam Muktamar Ke-47
Muhammadiyah di Makassar, 3–7 Agustus 2015. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar