Kamis, 19 Maret 2015

Memudarnya Imaji Anti Korupsi

Memudarnya Imaji Anti Korupsi

Saldi Isra  ;  Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
KOMPAS, 19 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Dalam diskusi harian Kompas (27/2) dengan tema "KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi", saya mengemukakan, agenda pemberantasan korupsi hanya berpeluang bertahan selama pemimpin politik masih memiliki imaji anti korupsi. Ketika bayangan dalam pikiran (imaji) tersebut meleleh, agenda pemberantasan korupsi segera berubah menjadi bangkai dan semua akan bermuara pada monumen kegagalan.

Ilustrasi demikian dikemukakan ketika menjelaskan bentangan fakta yang tengah dihadapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sebagian personel pendukungnya dalam menghadapi ancaman kriminalisasi. Ibarat kapal besar yang sedang dalam empasan gelombang badai mahadahsyat, KPK hanya mungkin diselamatkan apabila imaji anti korupsi masih dominan dan menggelora dalam pikiran sekaligus keinginan para pemimpin politik.

Sebagaimana diketahui, pusaran ketegangan di antara KPK dan kepolisian tidak hanya menghadirkan keraguan sekitar masa depan komisi anti rasuah ini, tetapi lebih jauh dari itu memunculkan pertanyaan lain: bagaimanakah nasib dan masa depan agenda pemberantasan korupsi? Dalam batas penalaran yang wajar, pertanyaan tersebut memiliki alasan mendasar karena agenda anti korupsi merupakan salah satu amanah sekaligus imaji utama gerakan reformasi.

Tidak hanya ancaman terhadap KPK, melelehnya imaji anti korupsi bisa pula dilacak dari berbagai fakta lain yang terjadi belakangan. Misalnya, keinginan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menghidupkan lagi remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi. Padahal, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, kedua fasilitas bagi koruptor tersebut sempat dimoratorium pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Imaji reformasi

Dari enam tuntutan reformasi 1998, salah satunya keharusan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Langkah konkret merealisasikan tuntutan tersebut disahkan lewat Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Selanjutnya, gagasan di balik ide produk hukum MPR ini dielaborasi lebih jauh dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Imaji dasar dari kedua produk hukum ini amat jelas: memberantas KKN harus dimulai dengan pembenahan lingkungan penyelenggara negara.

Selain membidik penyelenggara negara, perubahan mendasar juga dilakukan ihwal tindak pidana korupsi dan dilanjutkan dengan membentuk undang-undang baru, yaitu UU No 31/1999 (kemudian diubah dengan UU No 20/2001) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai pengganti UU No 3/1971, UU No 31/1999 merumuskan tindak pidana korupsi jauh lebih komprehensif, termasuk pengaturan soal gratifikasi yang amat mungkin dilakukan penyelenggara negara. Bahkan, perbuatan yang berpotensi merugikan keuangan negara pun menjadi unsur tindak pidana korupsi.

Selain memperluas pengertian perbuatan yang dapat dikualifikasi sebagai korupsi, UU No 31/1999 juga mengatur pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana korupsi. Meskipun berlebihan, penegasan ini penting karena kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur esensial dalam perbuatan pidana korupsi. Dengan ketentuan itu, perbuatan pidana korupsi tidak dihapuskan meskipun kemudian unsur kerugian negara tidak terbukti di pengadilan karena telah dikembalikan tersangka (Isra dan Hiariej, 2009).

Sekalipun perluasan tersebut sebagiannya masih menimbulkan perdebatan sampai saat ini, perumusan demikian tidak terlepas dari imaji dan pemahaman kolektif pembentuk undang-undang bahwa praktik korupsi merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, menghambat pembangunan dan pertumbuhan serta kelangsungan pembangunan nasional. Korupsi mengancam pertumbuhan demokrasi dengan masifnya praktik politik uang dan jual-beli pengaruh (trading influence). Bahkan, perilaku menyimpang ini bergerak jauh hingga mengeroposkan lembaga-lembaga penegak hukum.

Melanjutkan perluasan cakupan tindak pidana korupsi tersebut, imaji anti korupsi bergerak pada keniscayaan melakukan pemberantasan secara extraordinary. Untuk itu, UU No 31/1999 mengamanatkan pembentukan lembaga extraordinary body bernama KPK dalam memberantas korupsi. Dalam aturan itu, dibuat limitasi waktu pembentukan KPK dengan tugas dan wewenang menyelidik, menyidik, dan menuntut tindak pidana korupsi, termasuk tugas lintas institusi guna melakukan koordinasi dan supervisi dengan lembaga penegak hukum lain.

Menelusuri berbagai pengaturan di awal reformasi tersebut, semangat pembentuk undang-undang menjadikan agenda pemberantasan korupsi sebagai agenda kolektif yang berada dalam posisi niscaya. Sebagai sebuah keniscayaan, agenda ini berkelindan dengan langkah membentuk KPK sebagai sebuah lembaga khusus. Posisi KPK menjadi kian penting karena UU No 30/2002 tentang KPK mengakui kepolisian dan kejaksaan yang sebelumnya menangani perkara tindak pidana korupsi belum efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Artinya, KPK merupakan imaji kolektif dalam desain besar agenda pemberantasan korupsi.

Karena itu, dalam batas penalaran yang wajar, memberikan perlindungan terhadap KPK dari segala macam bidikan atau serangan yang berpotensi melumpuhkan lembaga ini wajib hukumnya. Bagaimanapun, sebagai sebuah imaji yang berkelindan dengan kemestian agenda pemberantasan korupsi, sulit membayangkan masa depan pemberantasan korupsi minus kehadiran KPK. Bahkan, kalaupun tetap bertahan, tetapi membiarkan KPK dalam posisi "seperti kerakap tumbuh di batu", tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa imaji anti korupsi pemimpin politik sedang bergerak pasti menuju titik terendah.

Berkaca dari kondisi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir, apabila Jon ST Quah dalam buku Curbing Corruption in Asian Countries, An Impossible Dream (2013) menyitir kalau pemimpin politik suatu negara tidak memiliki kemauan politik, pemberantasan korupsi sulit meraih hasil. Bisa jadi, yang sedang kita hadapi dalam bulan-bulan terakhir lebih jauh daripada itu: meleleh dan memudarnya imaji anti korupsi para pemimpin politik. Karena itu, tak terlalu berlebihan pula apabila harian ini sampai pada posisi bahwa KPK terancam berakhir di era Jokowi-Kalla (Kompas, 18/2).

Padahal, jika ditelusuri sedikit ke belakang, kekhawatiran yang teramat sangat atas pemudaran imaji anti korupsi tak pernah dibayangkan. Alasannya, dalam Nawacita Jokowi-Kalla secara tegas pasangan ini menyatakan mendukung penguatan KPK dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Menguatkan itu, mereka berkomitmen menolak segala bentuk pelemahan KPK. Setelah melihat kondisi KPK, pertanyaan elementer yang lebih dari patut untuk diajukan: adakah pohon janji dalam Nawacita tersebut merupakan imaji yang genuine?

Memanjakan koruptor

Memudarnya imaji agenda pemberantasan korupsi tidak hanya dapat dilacak dari kondisi di atas, tetapi juga bisa ditelusuri dari rencana pemerintah untuk meninjau kembali aturan ihwal pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat. Rencana ini tentu saja mengulang lagi perdebatan 3-4 tahun lalu ketika terjadi obral remisi kepada narapidana korupsi. Untuk ini perlu dicatat, pengesahan PP No 99/2012 yang merupakan revisi PP No 32/1999 adalah jawaban terhadap penolakan berbagai kalangan yang concern terhadap pemberantasan korupsi ketika para koruptor berupaya mempersingkat masa pemidanaan melalui fasilitas remisi dan pembebasan bersyarat.

Sekiranya hendak diletakkan pada konsep efek penjeraan (deterrence effect) dalam desain besar pemberantasan korupsi, pemberian remisi dan pembebasan bersyarat tanpa pengetatan dapat dikatakan sebagai bentuk kemewahan bagi para koruptor. Padahal, dari awal proses hukum, sebagian mereka yang tersangkut korupsi mendapat kemudahan. Barangkali kemewahan sedikit berkurang jika proses penanganan kasus korupsi dilakukan KPK. Beberapa kali pernah dikemukakan, kemewahan dinikmati mereka yang tersangkut kasus korupsi bukan hanya terjadi pada bagian hilir, yaitu dengan begitu mudahnya mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat, melainkan juga sampai ke tingkat hulu. Paling tidak, kasus Artalyta Suryani lebih dari cukup untuk mengurai bentangan fakta ini.

Terkait dengan ini, dalam "Pangkas Kemewahan Koruptor" (Kompas, 6/11/2011), saya kemukakan, di tingkat hulu masalah yang terjadi bukan hanya semakin masifnya vonis atau hukuman di bawah 5 tahun, melainkan juga kemewahan sejak dari proses penyidikan sampai vonis hakim. Dalam proses penyidikan, penyidik masih terbatas menahan para pelaku tindak pidana korupsi. Padahal, alasan subyektif dan obyektif telah terpenuhi untuk menahan tersangka. Bahkan, ketika menjalani hukuman, lembaga pemasyarakatan memberikan banyak kemewahan yang mungkin tidak bisa dinikmati narapidana biasa.

Di tengah kritik terhadap segala macam kemewahan ini, misalnya, pengadilan berupaya melakukan perubahan dengan berkurangnya vonis ringan. Andai terdapat hakim tingkat pertama yang memberikan hukuman ringan, hakim tingkat banding atau kasasi akan melakukan koreksi. Bahkan, perkembangan tahun-tahun terakhir, hakim sudah mulai membuat putusan yang berpotensi memiskinkan dan mencabut hak politik koruptor. Sekalipun masih dengan jumlah terbatas, perkembangan ini tetap harus dimaknai sebagai respons positif sebagian hakim dan pengadilan ihwal pentingnya efek jera dalam memberantas korupsi.

Namun, ketika pengadilan bergerak ke arah itu, pemerintah seperti memilih langkah berbeda. Sebagaimana dikhawatirkan Choky Ramadhan, gelagat mencabut pengetatan ini sudah dapat dilacak dari pemberian remisi kepada Urip Tri Gunawan, Anggodo Widjojo, Sumadi Singaribun, dan Haposan Hutagalung pada Desember 2014 (Kompas, 16/2). Ketika pemberian remisi tersebut diikuti dengan upaya merevisi PP No 99/2012, publik memiliki alasan kuat untuk curiga dengan langkah Menteri Hukum dan HAM.

Perlu dicatat, desakan melakukan pengetatan terhadap narapidana korupsi salah satunya didorong sejumlah bentangan empirik bahwa lembaga pemasyarakatan lebih banyak menjadi tempat persinggahan sementara bagi koruptor. Karena itu, langkah pengetatan ini harus ditempatkan sebagai point of no return dalam agenda pemberantasan korupsi. Karena itu, sekiranya memang ingin memberikan efek jera, yang harus dipikirkan, misalnya, langkah efektif memiskinkan koruptor dan semua jejaring yang ikut menikmati hasil jarahan uang negara.

Terlepas dari semua itu, hal terpenting yang perlu disampaikan, pemerintah harus hati-hati betul dalam mengambil kebijakan yang potensial kontraproduktif dengan agenda pemberantasan korupsi. Jangan pernah gagap mendukung agenda pemberantasan korupsi, termasuk mendukung KPK. Keliru memilih langkah, publik akan semakin mudah menilai bahwa pemimpin politik semakin menjauh dari imaji anti korupsi. Bilamana pemudaran ini tak bisa dihentikan, bersiaplah menanti datangnya bola liar krisis kepercayaan publik yang antara lain dipicu memudarnya imaji anti korupsi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar