Inpres
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
Saldi Isra ; Guru
Besar Hukum Tata Negara Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas
Hukum Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Maret 2015
DI tengah pusaran gelombang badai
kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI, pemerintahan
Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla merilis rancangan (draf) Instruksi
Presiden (Inpres) tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (APPK).
Sekalipun perhatian berbagai pihak concern
terhadap nasib KPK, rancangan Inpres APPK tetap saja mampu `mencuri' sedikit
fokus di tengah situasi yang benar-benar mengancam masa depan salah satu
agenda sentral reformasi. Bahkan, begitu membaca rancangan itu, sebagian di
antara mereka kian ragu dengan masa depan agenda pemberantasan korupsi.
Salah satu fokus kekhawatiran yang muncul ialah rancangan
Inpres APPK mengabaikan makna penting aspek penindakan dalam memberantas
tindak pidana korupsi. Pendapat demikian muncul karena rancangan Inpres APPK
sangat menempatkan unsur pencegahan sebagai fokus di antara beberapa strategi
pemberantasan korupsi.
Sebagaimana diketahui selama ini, pemberantasan korupsi dilakukan dengan
desain bangun trisula, yaitu pencegahan, pemberantasan, dan pengembalian uang
negara. Paling tidak, kecenderungan masuk pada pengarusutamaan pencegahan
jika dibandingkan dengan yang lainnya bisa dibaca dari nama Inpres APPK.
Dalam posisi sebagai pemerintah,
pilihan memberi fokus pada unsur pencegahan tidaklah dapat dikatakan sebagai
sebuah kesalahan besar. Namun, masyarakat yang fokus dengan perjalanan agenda
pemberantasan korupsi selama era reformasi dengan mudah dapat melacak
perbedaan dengan Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Saat itu, kehadiran Inpres No 5/2004 benar-benar menimbulkan harapan besar
dalam mempercepat pemberantasan korupsi sehingga laju perilaku praktik
menyimpang dalam pengelolaan keuangan negara bisa diminimalkan.
Bahkan meskipun memakai nama yang
sama dengan Inpres No 1/2013, rancangan Inpres APPK tetap menghadirkan banyak
pertanyaan dan sekaligus sejumlah keraguan. Pusaran pertanyaan dan keraguan
itu di antaranya disebabkan rancangan Inpres APPK tidak menyangkutkan atau
memutus ketersambungan langkah pencegahan dengan institusi penegak hukum lain
di luar ranah eksekutif yang memiliki otoritas memberantas tindak pidana
korupsi. Dalam hal ini, masyarakat dengan mudah dapat membaca betapa minimnya
ketersambungan upaya pencegahan tindak pidana korupsi dengan KPK.
Di bawah kuasa presiden
Sama halnya dengan Inpres No
5/2004 dan Inpres No 1/2013, rancangan Inpres APPK dengan jelas menunjukkan
tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi dimaksudkan dan ditujukan
kepada semua penyelenggara negara di bawah kuasa presiden. Karena itu, secara
eksplisit rancangan Inpres APPK dialamatkan kepada semua menteri Kabinet
Kerja, sekretaris kabinet, jaksa agung, Kapolri, sekretaris jenderal pada
lembaga tinggi negara, para gubernur dan bupati/wali kota. Apabila dilacak
lebih jauh, rancangan Inpres APPK itu berasal dari Peraturan Presiden No
55/2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka
Panjang 2012-2015 dan Jangka Menengah 2012-2014.
Sebagai pemegang kuasa tertinggi
di jajaran eksekutif, Presiden Joko Widodo (Jokowi) seharusnya memang memiliki
perintah yang jelas kepada semua jajaran yang berada di bawah kuasa sebagai
kepala pemerintahan. Apalagi, Presiden Jokowi telah mengemukakan secara tegas
komitmen dalam mencegah makin memprihatinkannya praktik korupsi pada jajaran
pemerintah pada saat kampanye. Dengan menempatkan pencegahan sebagai salah
satu strategi pemberantasan korupsi, langkah itu menjadi semacam keniscayaan
yang tak mungkin dielakkan. Apalagi, disadari, langkah penindakan sulit
mengurangi laju praktik tanpa adanya upaya pencegahan yang sistematis.
Misalnya, keluhan umum yang saban
waktu menyeruak ke ruang publik, mengapa langkah penindakan yang dilakukan
penegak hukum (seperti polisi, jaksa, dan KPK) tidak mampu menghadang laju
praktik korupsi? Sebagian menjawab, upaya penanganan kasus korupsi seringkali
menimbulkan praktik korupsi baru yang dilakukan sebagian penegak hukum yang
bekerja bukan untuk kepentingan penegakan hukum. Namun, tak jarang pula yang
berpendapat bahwa kesulitan menghentikan laju praktik korupsi disebabkan penindakan
tidak diikuti dengan langkah pencegahan. Padahal, bila diposisikan sebagai
sebuah siklus, penindakan berada di ujung dan pencegahan merupakan upaya di
tingkat hulu. Keduanya harus menyatu dan saling mendukung untuk segera keluar
dari gurita praktik korupsi.
Apabila hendak di letakkan dalam
konteks yang sesungguhnya, presiden memang menjadi pihak yang harus menjadi
penggerak utama dalam melakukan upaya pencegahan dalam trilogi pemberantasan
korupsi. Pandangan begitu muncul karena lingkar eksekutif memang menjadi
wilayah kuasa negara yang sangat rawan membiaknya praktik korupsi. Kesadaran
itulah yang sesungguhnya hadir dalam rancangan Inpres APPK serta Inpres No
5/2004 dan Inpres No 1/2013. Itu sama sekali tidak berarti bahwa praktik
korupsi tidak terjadi sama sekali di pemegang kuasa legislatif dan yudikatif.
Namun, bagai manapun, bila pencegahan di jajaran eksekutif dapat dilakukan,
besar harapan bahwa meluasnya prakik korupsi
dapat ditekan secara signifikan.
Di sini lah masalah sesungguhnya,
instruksi presiden semacam ini sering tidak memiliki kekuatan memaksa yang
dapat memberikan implikasi serius semua pihak yang diperintahkan
(diinstruksikan). Misalnya, di dalam pelaksanaannya diperintahkan kepada
semua menteri koordinator untuk menyusun prioritas dan strategi pencegahan.
Lalu kepada semua jajaran eksekutif diperintahkan untuk melaksanakan
pencegahan dan pemberantasan korupsi. Pertanyaannya, bagaimana kalau dalam
perjalanannya tidak terlihat hasil nyata sehingga praktik korupsi tetap tidak
terkendali?
Pertanyaan tersebut pantas
dimunculkan karena banyak pengalaman menunjukkan instruksi terutama dalam
pemberantasan korupsi lebih banyak berubah menjadi macan kertas. Selama ini,
belum pernah kita mendengar ada anggota kabinet yang dinilai gagal karena
tidak menjalankan instruksi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Tidak hanya
itu, perintah yang diberikan kepada kepala daerah akan jauh lebih tidak
bergigi lagi karena sebagian mereka merasa tidak terikat dengan instruksi
presiden. Bahkan, kepala daerah yang satu partai politik dengan presiden pun
tak mudah memaksakan berlakunya instruksi dalam memberantas korupsi.
Oleh karena itu, yang diharapkan
masyarakat, Presiden Jokowi mampu mengatasi persoalan instruksi yang lebih
banyak menjadi macan kertas itu dalam rancangan Inpres APPK. Sayang, pola
pemberian instruksi dalam rancangan Inpres APPK hanya merupakan pengulangan
dari instruksi yang pernah ada sebelumnya. Padahal, dengan adanya tenggat
yang cukup untuk mempersiapkannya, Presiden Jokowi berpeluang menerbitkan
instruksi yang dapat menutup kelemahan dalam Inpres No 5/2004 dan Inpres No
1/2013. Makanya, dalam batas-batas tertentu, tidaklah terlalu berlebihan bila
sebagian kalangan menilai rancangan Inpres APPK lebih banyak pengulangan dari
Inpres No 1/2013.
Karena masih merupakan rancangan,
alangkah baiknya dilakukan perubahan dan penekanan. Misalnya, melakukan
pengelompokan berdasar pada fokus pencegahan yang dapat meneruskan semua
langkah yang pernah dilakukan sebelumnya. Melakukan langkah penge lompokan
pada jajaran kejaksaan dan jajaran kepolisian yang tak perlu disamakan dengan
jajaran lain di bawah presiden. Bagi kedua lembaga itu, tun tutan pence gahan
dan pemberantasan seharusnya dibangun dengan cara yang berbeda. Bahkan, jika
diperlukan, kedua institusi penegak hukum yang berada di bawah presiden itu
dibuatkan inpres yang terpisah sehingga lebih mudah untuk melakukan
penilaian.
Keterkaitan dengan KPK
Salah satu yang menjadi catatan
kritis dalam rancangan Inpres APPK ialah kian pudarnya keterkaitan upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan KPK. Padahal, secara umum jamak
dipahami, menjaga ketersambungan dengan lembaga antirasywah
itu menjadi salah satu kunci utama dalam menentukan keberhasilan
pemberantasan korupsi. Dalam soal ini, mungkin bisa dirujuk lagi substansi
Inpres No 5/2004 yang sebagian besarnya membangun ketersambungan KPK.
Misalnya, secara eksplisit diperintahkan bagi semua pejabat pemerintah yang
termasuk kategori penyelenggara negara sesuai dengan UU No 28/2009 yang belum
melaporkan harta kekayaan mereka segera melaporkannya kepada KPK.
Tidak hanya itu, demi membangun
ketersambungan dengan KPK, diperintahkan pula bagi semua jajaran pemerintah
memberikan dukungan maksimal terhadap upaya-upaya penindakan korupsi yang
dilakukan KPK dengan cara mempercepat pemberian informasi yang berkaitan
dengan perkara korupsi. Selain itu, diperintahkan menjalin kerja sama dengan
KPK untuk menelaah dan pengkajian terhadap sistem-sistem yang berpotensi
menimbulkan korupsi dalam ruang lingkup wewenang dan tanggung jawab
masing-masing. Perintah tegas itu membuktikan satu hal penting; langkah
pencegahan didesain dengan membangun ketersambungan dengan KPK.
Sebagaimana dikemukakan di awal
tulisan ini, rancangan Inpres APPK memang tak menghapus sama sekali
ketersambungan dengan KPK. Namun, dalam pembacaan terbuka, ketersambungan
tersebut semakin samar. Padahal, sekiranya dibaca keterkaitan agenda
pemberantasan korupsi dengan KPK, adalah tidak tepat mengurangi peran KPK di
tengah desain besar perang melawan korupsi.
Bahkan, apabila dibaca semangat
pemberantasan korupsi sejak era reformasi, mengurangi peran KPK dalam
memberantas korupsi berarti kian menjauh dari roh pemberantasan korupsi yang
muncul di awal era reformasi.
Bagi kita dan tentunya juga mereka
yang concern dengan agenda
pemberantasan korupsi, instruksi sebagaimana tertuang dalam rancangan Inpres
APPK amat diperlukan. Namun demikian, mengurangi peran KPK dalam desain besar
tersebut tentu menyisakan tanda tanya besar; apakah ini menjadi pertanda bahwa
KPK akan makin tersisih dalam memberantas korupsi?
Dalam soal ini, pemerintahan
Jokowi-Kalla tentu saja tidak ingin tercatat sebagai era pemerintahan yang
menempatkan KPK di luar gelanggang langkah langkah besar melawan praktik
korupsi. Karena itu, karena masih dalam status rancangan, sebaiknya dilakukan
beberapa perbaikan. Selain menghindari kesan hanya pengulangan dari inpres
sebelumnya, KPK pun harus terus dipertahankan sebagai pilar utama dalam
memberantas korupsi. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar