Begal
juga Manusia
Titik Firawati ; Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional UGM
Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Maret 2015
TIDAK ada toleransi untuk
kekerasan sekalipun ditujukan kepada seorang begal. Kasus vigilantisme atau
biasa kita kenal dengan istilah main hakim sendiri yang terus terjadi di
Indonesia membuktikan bahwa pendidikan gagal. Sebelum membicarakan kegagalan
dan tanggung jawab pendidikan dalam penanganan vigilantisme, sekiranya
penulis ingin berbagi sedikit pengetahuan, fakta, dan hipotesis seputar
vigilantisme.
Berbicara mengenai vigilantisme,
ada beberapa hal penting yang perlu diketahui bersama. Pertama, menurut
Rosenbaum dan Sederberg (1974), vigilantisme baik yang dilakukan individu
maupun kelompok dapat dikategorikan ke dalam tiga tipe. Pertama ialah crime control vigilantism yang
menyasar mereka yang dianggap melakukan tindakan melanggar hukum. Biasanya
yang menjadi korban ialah mereka yang dituduh mencuri atau melakukan tindakan
kriminalitas lainnya. Pelakunya bisa berasal dari masyarakat atau pemegang
otoritas.
Kedua ialah social group control vigilantism, yaitu kekerasan yang menyasar
kelompok-kelompok yang memperebutkan atau menuntut redistribusi nilai dalam
sebuah sistem. Korbannya didasarkan pada karakteristik agama, etnik, suku,
ras, kasta, orientasi seksual, ekonomi, politik, dan lain-lain. Pelakunya
bisa berasal dari masyarakat atau pemegang otoritas. Ketiga ialah regime control vigilantism, yaitu
kekerasan yang menyasar rezim melalui aksi pembunuhan politik dan kudeta.
Pelaku bisa berasal dari masyarakat atau pemegang otoritas. Dengan
mendasarkan pada pemahaman ketiga tipe vigilantisme ini, maka kasus begal
termasuk tipe crime control vigilantism.
Apa penyebab
munculnya perilaku main hakim sendiri? Dari studi-studi mengenai vigilantisme di Indonesia yang
masih terbatas, ada yang mengatakan bahwa seseorang atau sekelompok orang
melakukan aksi main hakim sendiri disebabkan krisis kepercayaan terhadap
aparat penegak hukum dalam menjalankan kewajibannya menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat (Mee, Sairin, dan
Abdullah 2005). Ada juga peneliti lain (Jaffrey 2015) menduga bahwa frekuensi insiden vigilantisme
berkorelasi positif dengan kapasitas koersif negara yang kuat, level
ketidakamanan yang meningkat, serta pengabaian kondisi sosial-ekonomi
kelompok tertentu.
Fakta dan hipotesis
Kita semua tahu bahwa fakta
mengenai vigilantisme selama ini ialah berita buruk daripada berita gembira.
Pertama, jarang sekali pelaku main hakim sendiri diproses secara hukum dengan
berbagai alasan, seperti jumlah pelaku banyak sehingga polisi sulit
mengidentifi kasi atau kurang bukti. Bisa juga karena tidak ada pihak (yang
ada di tempat kejadian) berbuat sesuatu untuk menghentikan perilaku main
hakim sendiri karena banyak alasan, seperti takut, tidak tahu bahwa
vigilantisme itu tindakan yang salah, atau lebih buruk lagi tidak peduli yang
kesemua sikap ini pada gilirannya dapat melanggengkan kekerasan itu sendiri.
Di samping itu, perkenankan
penulis berhipotesis di sini. Apa justifikasi menghakimi begal hingga tewas?
Berdasarkan berita-berita yang sering kita dengar belakangan ini, latar
belakang sosial-ekonomi begal tidak selalu beruntung. Banyak di antara mereka
putus sekolah, miskin, dan menganggur. Kondisi sosial-ekonomi yang tidak
menguntungkan ini sangat mungkin memaksa sese orang menjadi begal. Penulis
yakin tidak ada satu pun murid yang akan menjawab, “Saya ingin menjadi begal
jika besar nanti, Bu Guru,” setiap kali ditanya guru, apa cita-cita mereka setelah
beranjak dewasa.
Seseorang menjadi begal dan lalu
mati disiksa beramai-ramai sangat mungkin disebabkan kita yang tidak becus
mencegahnya jauh-jauh hari. Bagaimana bisa? Ambil satu contoh korupsi dana
BOS. Uang miliaran rupiah yang menjadi hak anak-anak supaya tidak putus
sekolah, tidak miskin, dan tidak menganggur sehingga tidak menjadi begal
dicuri orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mungkin kita menjadi bagian
dari pencuri itu, mungkin kita acuh tak acuh terhadap masalah korupsi, atau
mungkin juga kita termasuk pihak yang melawan korupsi mati-matian. Apabila
hipotesis penulis benar, mereka yang mencuri dan acuh tak acuh sama buruknya
dengan pelaku main hakim sendiri sehingga menghilangkan nyawa orang yang
belum tentu bersalah.
Gagalnya pendidikan
Khususnya pendidikan dasar dan
menengah dengan serius didesain untuk membentuk sikap murid yang berbasis
pada nilai-nilai ‘memanusiakan manusia’ selain untuk tujuan mengoptimalkan
kemampuan kognisi dan emosi mereka.
pendidikan semacam ini terlalu jelas
sehingga kita tidak perlu bersusah payah menganalisis dan menyimpulkan hubungan
antara pendidikan dan kekerasan yang berasal dari aksi main hakim sendiri.
Karena itu, sudah dapat dipastikan
pendidikan gagal ketika seseorang tewas dianiaya karena perbuatan
‘kriminal’nya. Bahkan, pelaku main hakim sendiri membayangkan bahwa korban
merupakan ‘sampah masyarakat’ sehingga layak disingkirkan. Hal itu
menunjukkan pendidikan sudah gagal dengan sendirinya. Di level kognisi ini
terlihat dengan jelas ada proses dehumanisasi, yaitu proses menurunkan
derajat manusia dan kemudian menyamakannya dengan binatang sehingga pantas
dibinasakan. Pada pendidikan dasar dan menengah tidak ada untuk
mendehumanisasikan, tapi memanusiakan orang lain.
Sayangnya, selama ini kebanyakan dari
kita menjadi generasi ‘jangan main hakim sendiri’—maksudnya generasi ‘korban
imbauan’ guru. Setidaknya, pengalaman penulis di sekolah dulu, yakni guru
tidak pernah mengajak murid membicarakan persoalan main hakim sendiri dengan
lebih serius sehingga menantang akal pikiran dan hati kita yang kemudian
mempraktikkan sikap kita secara nyata bagaimana merespons persoalan tersebut
dengan sebaikbaiknya. Imbauan bukanlah kekuatan yang bisa diandalkan untuk
menciptakan perubahan positif pada diri anak.
Solusinya pendidikan
Pendidikan yang mendasarkan pada
manajemen konflik berbasis sekolah (yang disokong komponen budaya perdamaian,
kelas yang damai, kurikulum yang damai, mediasi sejawat, dan partisipasi
masyarakat) sekiranya bisa dijadikan sebagai pintu masuk untuk mengubah
perilaku merendahkan orang lain dengan cara main hakim sendiri menjadi
perilaku yang memanusiakan manusia, sekalipun dia terbukti telah melanggar
norma sosial, agama, atau hukum. Karena keterbatasan tempat, penulis secara
ringkas hanya akan menguraikan budaya perdamaian sebagai ilustrasi bagaimana
membentuk sikap anak yang menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian.
Komponen budaya perdamaian di
sekolah menitikberatkan pada arti penting pembiasaan yang menghargai
perdamaian. Misalnya, pihak sekolah memilih secara spesifik pembiasaan apa
yang hendak ditanamkan pada setiap warga sekolah, contohnya memperlakukan
sesama dan alam sesuai dengan harkat dan martabatnya. Kemudian, pilihan ini
ditanamkan melalui berbagai macam strategi pembiasaan, seperti harus membuang
sampah pada tempatnya atau menjenguk teman yang sakit, tidak peduli latar
belakang keluarganya. Supaya strategi pembiasaan ini berjalan berkelanjutan
diperlukan keteladanan orang dewasa atau bisa juga sanksi yang sifatnya
edukatif (hindari kekerasan termasuk hukuman fisik).
Sebagai penutup, penulis ingin mengingatkan bahwa kegagalan pendidikan
yang berkontribusi terhadap terpeliharanya perilaku kekerasan main hakim
sendiri bukanlah akhir dari segalanya. Dari pendidikan pula, peluang mencegah
perilaku kekerasan tersebut selalu terbuka lebar. Bukankah pendidikan ialah
pencegahan kekerasan yang terbaik? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar