Senin, 09 Maret 2015

Inflasi, Pangan, dan Kurang Gizi

Inflasi, Pangan, dan Kurang Gizi

Khudori  ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
MEDIA INDONESIA, 06 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

DALAM beberapa tahun terakhir, ada kecenderungan inflasi didorong fenomena nonmoneter. Ditilik dari sumbernya, inflasi lebih didorong sektor pangan (volatile foods) dan barang-barang yang harganya diatur pemerintah (administered goods). Sementara inflasi inti relatif stabil. Pada 2014, infl asi ditutup cukup tinggi, yakni 8,36%. Dari nilai itu, sekitar 2,06% dari kontribusi bahan pangan dan 1,31% oleh pangan olahan dan tembakau. Jadi, secara keseluruhan pangan memegang peranan 40,31% inflasi nasional.

Dari rata-rata inflasi bulanan tahun lalu, pada November dan Desember nilainya amat besar, yakni masing-masing 1,5% dan 2,46%. Pada Desember 2014, kelompok makanan menyumbang inflasi 0,64%. Sebanyak lima komoditas dominan penyumbang inflasi, yakni beras 0,17%, cabai merah 0,16%, cabai rawit 0,09%, ikan segar 0,06%, dan telur ayam ras 0,04%. Pada November 2014, kelompok makanan menyumbang inflasi 0,45%. Tiga penyumbang inflasi terbesar, yaitu cabai merah 0,26%, cabai rawit 0,09%, dan beras 0,06%.

Selain itu, ada kecenderungan inflasi lebih disebabkan sisi penawaran ketimbang sisi permintaan. Hal ini mengindikasikan perlunya penanganan yang tepat sisi suplai (pangan). Masalah ini tidak akan selesai hanya dengan membuka lebar-lebar pintu keran impor, seperti yang rutin ditempuh pemerintah. Perlu usaha ekstra meningkatkan produksi, produktivitas pangan, efi siensi usaha tani dan tata niaga komoditas pangan di hulu. Kinerja produksi pangan yang baik akan menekan dampak buruk dari inefi siensi perdagangan.

Masalahnya, meningkatkan produksi dan produktivitas bukan pekerjaan mudah. Langkah itu tidak bisa dilakukan dengan cara instan, ad hoc, dan reaktif, perlu kerja tekun dan bersinambungan. Pemerintah juga harus mengerem syahwat politik untuk bisa segera melihat dan memamerkan hasil usahanya itu sebagai bagian perwujudan janji kampanye kepada publik. Langkah meningkatkan produksi dan produktivitas tidak bisa segera dilihat dan dituai, bahkan mungkin dalam satu periode pemerintahan. Karena itu, pokok soal ini yang membuka kecenderungan pemerintah selalu mengambil jalan pintas, yakni impor saja.

Cara-cara gampangan itu yang membuat Indonesia kian tergantung pada pangan impor. Tidak saja gula, daging, kedelai, dan jagung, tapi juga beras, garam, ikan, buahbuahan, dan aneka sayuran. Ketika harga aneka pangan di pasar dunia naik, harganya segera ditransmisikan ke dalam negeri. Demikian pula ketika nilai tukar rupiah jatuh seperti saat ini, serta-merta harga pangan terasa amat mahal. Bagi warga miskin, dampak keduanya, termasuk infl asi amat berat. Warga miskin yang 60-70% pendapatannya untuk pangan harus merealokasikan keranjang belanja mereka dengan menekan pos nonpangan, guna mengamankan isi perut. Mereka harus mengatur ulang keranjang pengeluaran. Pertama, dana untuk pendidikan dan kesehatan dipangkas, lalu dialihkan ke pangan. Kedua, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jadi, jenis pangan inferior menjadi pilihan.

Dampaknya ialah konsumsi energi dan protein menurun. Rendahnya kualitas asupan gizi memiliki dampak panjang. Bukan hanya pada persoalan kesehatan, melainkan juga soal produktivitas dan kualitas sumber daya manusia. Anak balita, ibu hamil, dan orang lanjut usia atau lansia merupakan tiga kelompok yang paling rentan terhadap kekurangan gizi. Anak balita memiliki kebutuhan gizi yang jumlah dan jenisnya tidak bisa ditawar. Jika asupan gizinya kurang, pertumbuhan mereka terganggu. Anak tumbuh menjadi pendek, kecerdasannya rendah, dan rentan menderita penyakit degeneratif saat mereka dewasa.

Seribu hari pertama kehidupan manusia merupakan fondasi awal yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan berikutnya. Periode ini sering dinamai periode emas (golden periode). Asupan balita harus mendapat prioritas karena saat itu 80% perkembangan otak manusia berlangsung. Fase ini tidak dapat diputar kembali (the point of no return). Pada saat itu, fondasi tumbuh kembang anak sedang diletakkan sehingga pemenuhan gizi tidak boleh diabaikan, bahkan sejak janin masih dalam kandungan.

Beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi mampu dipacu cukup tinggi. Namun, pertumbuhan ekonomi yang baik, tidak berbanding lurus dengan perbaikan gizi masyarakat. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 mengungkap potret buram dunia pergizian di negeri ini, yakni prevalensi gizi buruk meningkat menjadi 5,7% dari 4,9% di 2010. Adapun prevalensi gizi kurang naik, dari 13% pada 2010 menjadi 13,9% di 2013. Anak stunting (bertubuh pendek) juga meningkat menjadi 37,2% (2013), dari sebelumnya 35,6% (2010).

Kekurangan gizi pada anak berakibat permanen pada fi sik dan kecerdasan. Itu seperti lingkaran setan yang sulit diputus karena miskin, asupan gizi kurang memadai. Tidak hanya pertumbuhan terganggu, IQnya pun jongkok. Output-nya, produktivitas rendah, sakit-sakitan, dan terjerat dalam kubangan kemiskinan. Bagi ibu hamil, kekurangan gizi bakal mengganggu pertumbuhan janin, meningkatkan risiko gangguan saraf pada bayi, bayi lahir dengan berat badan kurang 2,5 kg hingga risiko persalinan.

Adapun orang lansia seringkali menjadi kelompok yang paling terabaikan hakhaknya dalam pemenuhan gizi. Seiring bertambahnya usia, selera makan lansia umum nya menurun. Sebagian lansia bahkan mengalami demensia yang membuat mereka tak i ngat apakah sudah makan atau belum. Dua faktor itu membuat mereka terancam kekurangan asupan gizi. Apabila kita bangga karena memiliki bonus demografi yang akan membawa Indonesia jadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh tahun 2030, itu mensyaratkan sumber daya manusia unggul. Sumber manusia unggul mustahil dicetak jika kurang gizi.

Dampak merosotnya kualitas asupan gizi tidak segera terlihat. Hilangnya isu gizi dalam pembangunan harus dicegah dengan menjadikan gizi sebagai isu politik. Caranya, yaitu pemerintah wajib memastikan anak balita, ibu hamil, dan lansia memiliki akses pada gizi yang baik serta cukup. Negara harus hadir sebagai agen stabilisasi pangan, seperti amanat UU No 18/2012 tentang Pangan. Di UU itu, stabilisasi pasokan dan harga pangan, pengelolaan cadangan serta distribusi pangan pokok jadi tugas pemerintah. Ada tiga hal yang bisa dilakukan.

Pertama, menentukan komoditas pangan pokok, bisa dipakai tiga kriteria, yaitu besar kecilnya peran komoditas itu bagi perekonomian, sumbangan pada inflasi, dan seberapa besar menyedot belanja rumah tangga. Soal jumlah komoditas, barangkali cukup 4-5. Kedua, instrumen harus komplet. Mulai dari harga, cadangan, pengendalian ekspor impor, dan jaminan sosial dalam bentuk pangan bersubsidi. Ketiga, sistem distribusi harus lancar dan tidak ada pelaku dominan yang bisa mengeksploitasi pasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar