Hakim
Sarpin Selamatkan KPK
Romli Atmasasmita ; Guru
Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
|
KORAN
SINDO, 05 Maret 2015
Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) adalah undang-undang khusus pembentukan lembaga negara di luar
lembagalembaga negara yang telah dicantumkan dalam UUD 1945.
Pembentukan KPK dilatarbelakangi oleh lahirnya TAP MPRS
Nomor XI/1998 yang menuntut penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
Pada masa itu ada kebutuhan mendesak untuk melengkapi reformasi di bidang
ekonomi, politik, dan di bidang HAM. UU KPK 2002 telah memuat rambu-rambu
hukum pembatas kewenangan pimpinan dan pegawai KPK dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya.
KPK diposisikan sebagai lembaga adhoc yang memiliki tugas
dan wewenang yang luar biasa (extra-ordinary)
karena korupsi telah diakui di Indonesia sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Rambu-rambu
hukum pembatas dalam UU KPK bertujuan agar KPK dalam melakukan tugas dan
wewenangnya tidak melakukan penyalahgunaan wewenang. Ada beberapa rambu
pembatas bagi KPK.
Pertama, KPK merupakan lembaga negara independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana
pun. Kedua, KPK dalam melakukan tugas dan wewenangnya berdasarkan lima asas:
kepastian hukum yang harus diartikan bukan hanya menaati peraturan
perundang-undangan, akan tetapi juga kepatutan dan keadilan dalam setiap
kebijakan menjalankan tugas dan wewenangnya; asas keterbukaan, asas
akuntabilitas, asas kepentingan umum, dan asas proporsionalitas dan harus
dapat memahami penjelasannya.
Ketiga, pimpinan KPK yaitu lima orang, satu ketua
merangkap anggota dan empat wakil ketua merangkap anggota; harus bekerja secara
kolektif; dalammengambil keputusan yaitu harus disepakati bersama dan
disetujui bersama. Keempat, ada beberapa larangan terhadap pimpinan KPK dan
pegawai KPK, yaitu dilarang langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan
tersangka atau pihak lain yang ada hubungannya dengan perkara tindak pidana
korupsi dengan alasan apa pun.
Mereka juga dilarang menangani perkara tindak pidana
korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam
garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan anggota KPK.
Juga ada larangan menjabat sebagai komisaris atau direksi
suatu perseroan, organ yayasan, pengawas, atau pengurus koperasi dan jabatan
profesi lain atau kegiatan lain yang berhubungan dengan jabatan tersebut.
Kelima, KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3. Selain larangan-larangan
tersebut UU KPK juga memandatkan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi
pimpinan KPK, antara lain menegakkan sumpah jabatan.
Merujuk pada sejumlah larangan dan kewajiban sebagaimana
disebut di dalam UU KPK, tentu tidaklah mudah menjalankan tugas dan wewenang
sebagai pimpinan dan pegawai KPK. Apalagi sanksi melanggar larangan atau
kewajiban tersebut adalah pemberhentian sementara jika ditetapkan sebagai
tersangka, dan jika terbukti melanggar ketentuan mengenai larangan diancam
pidana paling lama lima tahun dan diperberat dengan sepertiga dari ancaman
pidana pokok.
Rambu-rambu yang sering luput dari perhatian pimpinan KPK
pada umumnya dan juga masyarakat adalah status penyelidik, penyidik, dan
penuntut pada KPK. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (3) dihubungkan dengan
Pasal 43 sampai Pasal 52 UU KPK, maka penyelidik, penyidik, dan penuntut
tetap harus didasarkan UU KUHAP Tahun 1981 sebagai payung hukumnya.
Kekecualian yang dibolehkan berdasarkan UU KPK (Pasal 39 )
adalah terbatas hanya pada kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
saja serta kewenangan memerintah terhadap penyelidik, penyidik, dan penuntut
hanya pada pimpinan KPK, bukan lagi atasan mereka di instansi asalnya.
Penyidik dan penuntut pada KPK adalah mereka yang harus telah diberhentikan
sementara dari instansi asalnya, kemudian diangkat oleh pimpinan KPK.
Jika pimpinan KPK hendak mengangkat penyidik sendiri pada
KPK maka mereka yang diangkat harus seorang PNS yang telah memiliki
sertifikat lulus sebagai penyidik dari Mabes Polri yang disahkan oleh Dirjen
Administrasi Hukum Umum atas nama Menteri Hukum dan HAM. Jika syarat-syarat
penyidik dan atau penuntut harus seorang jaksa tidak dipenuhi oleh pimpinan
KPK, seluruh hasil kinerja yang telah dilakukan oleh ”penyidik” atau
”penuntut” adalah batal demi hukum sehingga hasil penyidikan dan pembuatan
surat dakwaan menjadi tidak mengikat lagi.
Dalam konteks uraian di atas, maka putusan hakim Sarpin
dalam pertimbangannya tidak mempertimbangkan semua uraian ketentuan normatif
yang telah diuraikan di atas. Hakim Sarpin hanya fokus pada tugas dan wewenang
KPK (Pasal 6 huruf c) dihubungkan dengan ketentuan mengenai subjek hukum dan
objek hukum yang merupakan kewenangan KPK (Pasal 11).
Sidang praperadilan perkara BG menguji apakah KPK
berwenang melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap BG, seorang anggota
Polri dan pejabat Polri dengan pangkat/jabatan eselon II berdasarkan
keputusan presiden, dan apakah perkara BG terkait nilai kerugian negara
sebesar di atas Rp1 miliar, dan apakah perkara BG adalah perkara korupsi yang
telah menarik perhatian masyarakat.
Kuasa hukum KPK dalam sidang praperadilan tidak dapat
menunjukkan (bukan membuktikan) bahwa dengan alatalat bukti yang telah diperoleh,
KPK berwenang memeriksa subjek hukum dan objek hukum sebagaimana telah
ditentukan dalam Pasal 11 UU KPK.
Hakim Sarpin tidak mempertimbangkan tentang status hukum
penyidik KPK dan tentang asas kolektif pimpinan KPK. Seandainya hakim Sarpin
berperilaku sama agresifnya dengan pimpinan KPK Jilid III dan menempatkan
status penyidik KPK yang memeriksa perkara BG serta tentang asas kolektif
pimpinan KPK dalam pertimbangan putusannya maka dapat dibayangkan semua hasil
kerja KPK Jilid III yang telah bertentangan dengan ketentuan tersebut menjadi
tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Alhasil KPK akan kebanjiran gugatan TUN dan perdata
melebihi gugatan praperadilan yang kini tengah dihadapi bukan saja oleh KPK,
melainkan juga oleh penyidik Polri dan kejaksaan. Berdasarkan
uraian di atas, saya berkesimpulan bahwa hakim Sarpin telah menyelamatkan
KPK! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar