Antitesis
NIIS
Fajar Riza Ul Haq ; Direktur
Eksekutif Maarif Institute
|
KOMPAS,
06 Maret 2015
Pergerakan ribuan pendukung Negara Islam Irak dan Suriah
dari pelbagai negara menuju zona perang di Timur Tengah itu telah menimbulkan
kecemasan luar biasa. Potensi ancamannya akan jauh lebih eskalatif
dibandingkan dampak Perang Afganistan dan Irak.
Diperkirakan hingga kini ada 200.000 warga negara asing
yang telah bergabung dengan pasukan Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS). Di
antara mereka adalah warga negara Indonesia yang menurut Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme jumlahnya mencapai 300 orang. Sekadar perbandingan,
The Derwin Pereira Indonesia Initiative memperkirakan 200 orang.
Negara-negara Eropa, Amerika, Australia, dan Asia
merasakan ancaman serius seiring dengan peningkatan mobilitas ini. Hal ini
tecermin dalam pertemuan Global Counter-terrorism Forum (GCTF) di Washington
DC, 23-24 Februari 2015. Penulis yang berkesempatan dua kali hadir dalam
forum itu menangkap jelas pergeseran topik perbincangan dibandingkan tahun
2013.
Semua kasus yang dipresentasikan para pembicara merujuk
pada tantangan ekstremisme dan ancaman terorisme dari individu dan kelompok
yang mengidentifikasikan aksinya sebagai bentuk jihad. Yang sangat
mengkhawatirkan, mayoritas relawan asing pro NIIS masih muda, rata-rata di
bawah usia 24 tahun.
Dilaporkan, tiga remaja perempuan asal London telah
terbang menuju wilayah kekuasaan NIIS melalui Turki. Minggu lalu, otoritas
Amerika menangkap tiga orang yang diduga akan berangkat bergabung dengan
NIIS. Ini lampu merah untuk masa depan generasi muda. Semua negara peserta
GCTF sepakat, negara tidak bisa sendirian mengatasi, bahkan mengantisipasi
gelombang dukungan warga negara masing- masing terhadap NIIS.
Dibutuhkan sinergi dan pendekatan berbasis komunitas
dengan melibatkan partisipasi tokoh-tokoh kunci lintas sektoral di tingkat
lokal. Gerakan prakarsa lokal semacam ini bekerja memproduksi narasi-narasi
yang menegasikan diskursus kebencian dan kekerasan.
Berawal dari Afganistan
Fenomena ribuan orang menuju wilayah Irak dan Suriah demi
mendukung kelompok yang mengklaim sedang berjihad mendirikan khilafah
bukanlah hal baru. Perang Afganistan merupakan pendahulunya. Para pentolan
generasi awal Jemaah Islamiyah di Indonesia adalah didikan Akademi (Militer)
Mujahidin di Afganistan. Mereka lari meninggalkan Tanah Air karena direpresi
Orde Baru dan bertepatan gejolak di Afganistan di mana seruan berjihad
melawan Uni Soviet dikumandangkan.
Pasca Afganistan, rentetan teror bom menghantui banyak
kota Indonesia sepanjang 2000 hingga 2005, termasuk Bom Bali 1 dan 2. Aktor
utama dari aksi-aksi teror itu adalah mereka yang pernah pergi ke Afganistan
seperti diungkapkan Nasir Abas (2005).
Mobilitas ratusan ribu relawan perang ke daerah-daerah
konflik telah dipahami sebagai bentuk pengejawantahan semangat
"kepahlawanan" (mujahadah) yang berporos pada dua konsep kunci,
yaitu hijrah (secara fisik berarti berpindah ke tempat yang dianggap memenuhi
kondisi ideal perjuangan) dan jihad (berjuang sungguh-sungguh mewujudkan
kondisi ideal).
Pada level mikro, hijrah dipraktikkan dalam bentuk
mobilitas antarkota dan antarpulau. Kasus pengiriman Laskar Jihad dari
Yogyakarta ke Ambon saat konflik pecah tahun 2000 adalah contohnya.
Keberangkatan ratusan relawan Muslim Indonesia untuk ikut berperang bersama
NIIS mencerminkan mobilitas itu pada konteks makro. Roxanne Euben (2006)
menyebut fenomena pertama sebagai "mobile Muslim at home" dan
"mobile jihadist" untuk yang kedua.
Belajar dari pengalaman pasca Afganistan di atas, sangat
beralasan jika solidaritas dan dukungan terhadap NIIS dari warga Indonesia
merupakan bom waktu. Arus balik para mantan relawan perang nanti akan sangat
membahayakan stabilitas keamanan dan mengoyak kebinekaan negeri Pancasila ini.
Tindakan penyadaran dan pencegahan menjadi sangat
mendesak. Mereduksi kompleksitas NIIS dalam bingkai konflik sektarianisme
Sunni dan Syiah jelas menyesatkan. Namun, sudut pandang inilah yang terus
dipropagandakan kelompok-kelompok anti Syiah. Belakangan, gejala membenturkan
antar-kelompok keagamaan kian menggelisahkan.
Kebinekaan
Salah satu titik temu ideologi NIIS dengan gerakan-gerakan
garis keras lain adalah klaim monopoli tafsir atas Islam, termasuk dalam
memahami hukum dan sistem politik. Manifestasi ekstrem cara pandang
hitam-putih ini adalah budaya mengafirkan dan menyesatkan pihak lain yang
dipandang berbeda. Padahal, tradisi pemahaman hukum Islam berwatak
pluralistik. Ada banyak mazhab pemikiran dan hukum sepanjang sejarah
perkembangan Islam. Dalam membahas persoalan-persoalan hukum Islam yang lebih
operasional (fikih), biasanya akan disampaikan pandangan mayoritas dan
minoritas. Model ini mengisyaratkan bahwa sikap menghargai perbedaan sangat
dijunjung tinggi dalam tradisi kesarjanaan Islam.
Hemat penulis, mengaktualisasikan pandangan keagamaan
dalam kesadaran kebinekaan tidak hanya sejalan dengan tradisi pluralisme
hukum Islam. Lebih dari itu, langkah ini akan menjadi antitesis terhadap
monopoli tafsir dan kerentanan menyesatkan pihak lain yang selama ini menjadi
karakter ideologi NIIS dan sejenisnya. Reaktualisasi pemahaman keagamaan
dengan mempertimbangkan dimensi kebinekaan akan menguji relevansi bahkan
memperbarui pemaknaan atas konsep-konsep kunci seperti hijrah, jihad, dan
kepemimpinan.
NIIS telah sangat vulgar mempraktikkan ketiga konsepsi itu
secara hegemonik, ekstrem, dan eksklusif. Memperkuat narasi-narasi keagamaan
inklusif salah satu cara yang dapat menegasikan pandangan-pandangan
hegemonik.
Pentingnya memperkuat diskursus keagamaan dalam bingkai
kebinekaan guna membendung sektarianisme, ekstremisme, dan diskriminasi
terhadap minoritas menjadi perbincangan dalam Halaqoh Fikih Kebhinekaan pada
24-26 Februari lalu.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang hadir dalam
acara tersebut menggarisbawahi urgensi Fikih Kebhinekaan dalam konteks
masyarakat majemuk Indonesia yang mudah dilanda konflik, termasuk mengakui
kepemimpinan dari kalangan mana pun selama berintegritas, kapabel, dan adil.
Indonesia sudah seharusnya berada di garda depan
memproduksi diskursus-diskursus keagamaan yang akomodatif terhadap
kebinekaan. Kehadiran kelompok-kelompok yang menyetujui dan mendukung
praktik-praktik NIIS akan menjadi kanker ganas bagi kebinekaan bangsa. Ada
beban moral dan tuntutan sejarah di pundak masyarakat Muslim Indonesia
mengingat 1/6 populasi Muslim dunia hidup di Indonesia.
Tuntutan akan sulit terpenuhi jika bangsa terseret ke
dalam pusaran konflik-konflik politik keagamaan yang berketiak ular,
mengalami pendangkalan nasionalisme, dan menderita ketimpangan ekonomi luar
biasa. Inilah kondisi-kondisi yang menggerogoti bangunan kebangsaan kita.
Pemerintah sudah saatnya mengakhiri peran pemadam kebakaran yang sering
terlambat, bahkan gagal mengantisipasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar