Jumat, 13 Maret 2015

Destruksi Situs Sejarah

Destruksi Situs Sejarah

Ismatillah A Nu’ad  ;  Praktisi Bisnis Energi-Pangan
SUARA MERDEKA, 13 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

’’THE  history of art, is the history of revivals,’’ kata Samuel Butler, Victorian Author (1835-1902). Pernyataan itu menjelaskan bahwa sejarah seni merupakan sejarah dari sebuah kebangkitan, itu mengingatkan tragedi pada pekan lalu ketika gerakan Negara Islam Irak dan Syam (IS, dulu ISIS) menguasai Hatra, sebuah kota yang sebelumnya dikuasai Suku Kurdi.

Kota bersejarah kaya dengan nilai seni situs sejarah itu dibuldoser oleh tentara IS. Tragedi tersebut tak hanya membuat khawatir arkeolog sedunia, namun juga merisaukan umat Islam yang selama ini takzim terhadap situs sejarah. Katakanlah dalam bahasa masyarakat muslim Indonesia: situs keramat.
Salah satu tempat favorit umat Islam Indonesia adalah makam Syekh Abdul Qodir Jaelani. Lokasinya di Babul Azajwafat, Baghdad. Umat Islam sangat merisaukan lokasi makam Tuan Syekh mengingat keganasan tentara IS yang sangat destruktif terhadap makam-makam keramat.

Situasi sosial dan politik di Irak, yang dikenal dengan sebutan Negeri 1001 Malam itu saat ini sangat tidak kondusif.

Dulu negara itu sangat terkenal karena banyak melahirkan  ulama besar, seperti Syekh Abdul Qodir Jaelani (1077-1166 M)  dan Imam al-Ghazali (1058-1111 M). Bagai negeri barbar, itulah mungkin yang pas untuk menggambarkan kondisi terkini negara itu.

Masyarakat terpecah-belah dalam sektarianisme politik, tribe dan golongan keagamaan. Hal ini sejalan dengan analisis Salah Hemeid dalam opini ’’Message of Fear in Irak’’  di al-Ahram, harian Timur Tengah yang terbit di London.
Menurutnya, instabilitas keamanan di Irak akhir-akhir ini karena ada kekuatan yang menentang pemerintah boneka AS, yakni IS, dan virus ideologi mereka menyebar di kalangan anak muda.

Terlepas dari analisis tersebut, sebenarnya pemerintah AS,  terutama mantan presiden Bush, harus bertanggung jawab, bahkan dibawa ke pengadilan internasional atas derita rakyat Irak sekarang ini. Sejak invasi AS di Irak kali pertama tahun 2003, negara itu berubah total jadi negara terburuk di dunia Islam, setelah Palestina.

Dia ambisius menumbangkan Saddam Hussein dengan alasan kepemilikan senjata pemusnah massal dan ingin membumikan demokrasi. Ia juga bercita-cita menciptakan masa depan ekonomi gemilang bagi AS melalui pembangunan industri minyak di Teluk. Meskipun yang terjadi sebaliknya,  dan Obama mengemban warisan berat untuk memulihkan keterpurukan ekonomi.

Perlambatan Ekonomi

Menurut peraih Nobel Ekonomi 2001 Joseph Stiglitz, perang Irak berkontribusi pada perlambatan ekonomi AS sekaligus menghalangi pemulihannya. Sewaktu Bush berkuasa, pemerintahnya menganggap enteng biaya perang tersebut. Padahal perang itu  menelan dana  845 miliar dolar AS, jumlah yang sangat fantastis. Dulu orang berpikir bahwa perang adalah baik untuk ekonomi AS, tapi kenyataannya berkebalikan.

Begitu pula, ideolog Necons AS Francis Fukuyama (1999), saat itu berargumen kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal yang diterapkan secara mentah-mentah oleh Bush, ditopang penguasaan teknologi militer yng canggih. Semua itu ternyata belum bisa merealisasikan masa depan gemilang AS. Malah sebaliknya, negara adidaya itu mengalami kebangkrutan akibat ulah Bush.

Kebangkrutan setidak-tidaknya bisa  dilihat dalam beberapa pandangan. Pertama; dari segi penerapan demokrasi yang selama ini dibangga-banggakan AS. Praktiknya, “bapak demokrasi dunia’’ itu justru menggerogoti nilai-nilai demokrasi  yang digambarkan melalui kedigdayaan dan otoritarianisme militernya.

Samuel Huntington (1997) dalam The Third Wave Democratization mengatakan, negara belum bisa dikatakan demokratis selagi militer masih mendominasi tatanan kebangsaannya.

Kedua; standar ganda politik luar negerinya. Masyarakat tahu bahwa politik luar negeri AS selalu bersayap. Bila Gedung Putih menyerukan counterterrorism itu berarti sama halnya dengan war against terrorism.

Dengan politik itu pulalah, AS mengebiri negara-negara dunia lewat jargon demokrasi. Di satu sisi AS mengaku sebagai penjaga demokrasi, namun di sisi lain melestarikan atau mendukung sistem politik monarki Arab Saudi.

Begitu pula yang terjadi di Irak, AS selalu mendengungkan berhasil membawa rakyat Irak dari kegelapan kediktatoran menuju alam demokratis. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Rakyat Irak bukannya bergerak ke arah yang lebih baik melainkan menuju keterpurukan, kegelapan, dan diaspora.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar