Selasa, 03 Maret 2015

Peringatan untuk Masyarakat Madani

Peringatan untuk Masyarakat Madani

Achmad Soetjipto  ;  Ketua Umum  Persatuan Purnawirawan AL; Mantan KSAL
KOMPAS, 02 Maret 2015

                                                                                                                       
                                                

TNI siagakan pasukan untuk antisipasi konflik KPK vs Polri. Demikian berita berbagai media massa, beberapa waktu lalu. Klarifikasi Kapuspen TNI bahwa kesiagaan ini sesuai prosedur tetap operasional TNI tak mengurangi kewaspadaan politik.

Pernyataan itu muncul di tengah memanasnya situasi politik, terutama konflik antara KPK dan Polri. TNI dapat berkilah bahwa respons itu masih dalam lingkup tugas pokok, yaitu operasi militer selain perang (OMSP). Namun, apakah kesiagaan tersebut memenuhi sasaran, terutama menyangkut situasi yang melatarbelakanginya? Tentu perlu dicermati lebih lanjut.

Mewaspadai OMSP

Dalam Pasal 7 Ayat (2) UU No 34/2004 tentang TNI memang tertera tugas pokok TNI untuk melakukan operasi militer selain perang. Setidaknya ada 14 jenis OMSP, di antaranya mengatasi terorisme, mengamankan obyek vital, menjadi pasukan perdamaian, memberdayakan wilayah pertahanan, dan membantu penanganan bencana alam.

Namun, pada ayat selanjutnya (3) juga diatur  bahwa pelaksanaan  OMSP harus berdasarkan kebijakan  dan  keputusan  politik negara. Rambu keharusan berpijak pada politik negara sudah barang tentu tidak memudahkan pelaksanaan OMSP. Keputusan presiden dengan persetujuan DPR adalah bentuk politik negara. Proses lahirnya kebijakan ini selain tidak mudah biasanya juga makan waktu.

Beda halnya dengan operasi TNI yang diperbantukan dalam penanggulangan bencana, seperti operasi pencarian dan evakuasi korban pesawat AirAsia, itu sudah jelas dasar aturan dan SOP-nya. Juga dengan bergabungnya TNI dalam berbagai kontingen pasukan perdamaian di bawah bendera PBB, hal ini telah diatur pula. Selebihnya banyak wilayah abu-abu yang dapat diklaim TNI sebagai bagian tugas OMSP. Inilah yang perlu mendapat perhatian serius berbagai pihak, terutama bagi internal TNI, supaya tidak ada keraguan dalam bertindak.

UU No 34/2004 sebenarnya merupakan jawaban atas tuntutan masyarakat madani (civil society) untuk mereposisi peran TNI. Tujuannya  mengakhiri dwifungsi ABRI yang dituding biang dan lahan subur tumbuhnya  fasisme militer.  Selanjutnya militer harus di bawah supremasi sipil dan dijauhkan dari ranah politik.

Peran operasi militer perang (OMP) dan OMSP yang dimisikan  pada  TNI sangat jelas bukan  metamorfosis atau bentuk baru dari dwifungsi. Perbedaan mendasar antara OMP dan OMSP militer AS dengan Indonesia, misalnya, sebenarnya bukan pada tingkat operasinya, melainkan pada landasan fundamentalnya, yaitu doktrin pertahanan.

AS ofensif aktif, Indonesia  dapat dikatakan defensif pasif. Proyeksi militer AS adalah keluar dalam rangka memperkuat positioning sebagai adikuasa dan polisi dunia.  OMP  yang dilakukan  menyerang negara lain diaku untuk melindungi kepentingan nasionalnya. Sementara OMSP dengan berbagai label seperti penjaga perdamaian, humanitarian asistensi, disaster relief atau operasi yang lain  sebenarnya tak lepas dari upaya menunjukkan kedigdayaan militernya.  Juga karena diyakini gelar OMSP  hanya akan sukses jika tetap memiliki dimensi  kemampuan tempur.

Sementara Indonesia dengan pertahanan defensif (Sishanta) pada dasarnya  tidak untuk diproyeksikan keluar, baik yang berlingkup OMP maupun OMSP. Ditambah dengan analisis bahwa situasi saat ini kecil kemungkinan  ada negara yang akan menyerang Indonesia, dapat mendorong dan menjadi jaminan militer untuk nganggur  atau terjauhkan dari tugas pokok OMP.

Untuk menyelenggarakan OMSP juga tidak bisa sembarangan karena harus merupakan produk politik negara. Banyak di antara lingkup OMSP juga belum memiliki aturan yang jelas. Beberapa di antaranya mengenai  gelar operasi mengatasi gerakan separatis, selama ini pemerintah menganggap polisi sudah cukup memadai.

Mengatasi aksi terorisme, pemerintah tampaknya sudah puas dengan kinerja Densus 88 sehingga tidak membutuhkan pelibatan militer. Untuk mengamankan wilayah perbatasan, kebijakan pemerintah juga belum jelas. Tugas mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis, sementara ini polisi dianggap sudah mampu. 

Di sisi lain, militer merasa memiliki energi melimpah yang bisa digerakkan untuk apa pun. Dari sinilah benih penyalahgunaan  bisa muncul.  Selama ini kita sering melihat personel militer yang ikut terjun mengamankan stasiun kereta, terminal, pusat keramaian, dan lain-lain. Apakah tugas ini merupakan produk kebijakan negara dalam rangka OMSP atau inisiatif sendiri, ataukah karena pesanan pihak  tertentu. Jika apa yang dilakukan tersebut, meskipun berlabel OMSP, tetapi tanpa dasar politik negara, tentu sangat membahayakan. Penyelewengan  kecil jika terakumulasi akan menjadi modal pembangkangan.

Memang banyak peran militer di sejumlah negara yang langsung bersentuhan dengan ranah sipil dalam rangka OMSP. Di AS, misalnya, dapat dilihat pada saat berperan meredakan kerusuhan rasial di Los Angeles pada Mei 1992, tetapi itu berdasarkan keputusan politik. Peran US Marine ketika itu adalah melindungi fasilitas vital dan melindungi polisi yang melakukan penertiban. Mereka hadir untuk mem-backup polisi jika polisi terancam mereka baru turun dengan prosedur yang jelas.  Intinya, operasi militer AS dalam kasus di atas karena perintah negara, bukan karena inisiatif sendiri, segenting apa pun situasinya.

Penguatan supremasi sipil

Thailand  yang selama ini dianggap negara terkemuka dalam berdemokrasi di kawasan, toh tak mampu mensterilkan militer dari politik. Setiap konflik sipil, terutama konflik di tingkat elite politik, senantiasa diakhiri dengan tampilnya militer. Aksi militer Thailand dapat pula terjadi di sini jika ada keadaan yang memungkinkan. Atas nama OSP yang bias aturan pelaksanaannya, TNI dapat sering berinisiatif unjuk kekuatan pada ranah  sipil.

Elite politik nasional bukan tidak menyadari potensi ancaman itu. Sayangnya kebijakan untuk mencegah hal tersebut terkesan absurd, yaitu dengan memperlemah militer.

Jika keadaan ini berlarut, negara pula yang akan rugi karena jika militer lemah, negara juga akan lemah. Tanpa punya kekuatan penggentar  sama artinya kita mengundang negara lain untuk intervensi. Ada memang upaya memberi "mainan" pada militer, seperti pada program MEF, tetapi sejujurnya semua itu masih jauh dari kebutuhan ideal.

Memperkuat masyarakat madani dan konsolidasi demokrasi adalah strategi fundamental untuk mencegah militer kembali ke politik. Sipil kuat yang hidup dalam sistem demokrasi yang sehat adalah modal dasar tegaknya supremasi sipil. Hal terpenting bagi masyarakat madani adalah kemampuan membangun sistem yang dibutuhkan sebagai solusi masalah bangsa. Berikutnya adalah kemampuan membangun manajemen konflik  dan perilaku kenegarawanan pada elite politik.

Sikap dan perilaku kenegarawanan adalah indikator kematangan  bernegara. Politik tanpa kedewasaan hanya akan menyuburkan konflik untuk menuntut kemenangan ego dan kepentingan primordial. Konflik yang sama dan berulang juga menunjukkan bagaimana lemahnya otoritas sipil dalam membangun politik dan demokrasi yang beradab.

Apabila elite politik masih saja sibuk berkonflik untuk hal yang remeh-temeh, peningkatan eskalasi konflik hanya soal waktu. Ini adalah sinyal bahaya bagi bangunan sistem demokrasi.

Terbukti bahwa dampak konflik tidak hanya memantik keresahan pada masyarakat luas, tetapi juga TNI. Kalangan militer tahu persis bahwa dinamika global saat ini sudah berbeda dari masa 10 tahun lalu.

Negara Barat tidak lagi menempatkan demokrasi dan HAM sebagai alat penekan sejak mereka menyatakan perang terhadap terorisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar