Senin, 09 Maret 2015

Begal Cermin Gagal Budaya Mengajar

Begal Cermin Gagal Budaya Mengajar

Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 09 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

FENOMENA begal yang dilakukan oleh lebih banyak anak-anak usia sekolah di beberapa kota besar menyebabkan Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai ada yang salah dengan sistem pendidikan Indonesia. Sontak Mendikbud dihubungi JK agar memerhatikan sistem pendidikan di Tanah Air yang nampaknya memiliki masalah besar. Entah apa yang menyebabkan JK mengambil kesimpulan ada yang salah dengan sistem pendidikan kita.
Menyebut kata `sistem', seolah-olah pendidikan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Padahal, dalam pendidikan setidaknya ada tiga aspek yang memiliki peran besar dalam sebuah sistem, yaitu sekolah, keluarga atau orangtua, dan lingkungan. Karena itu, tak mudah memang menyelesaikan fenomena begal ini sebagai masalah sekolah semata, tetapi harus disambung dalam satu tarikan napas dengan memperbaiki juga peran keluarga dan lingkungan.
Segitiga emas
Hubungan sekolah, keluarga, dan masyarakat atau lingkungan ialah laksana segitiga emas dalam dunia pendidikan. Keberhasilan dan kegagalan dari ketiganya akan menyebabkan masyarakat menjadi tenteram atau sebaliknya. Jika gagal, masyarakat akan merasa tidak nyaman seperti yang kita temukan dalam fenomena begal ini. Di tingkat sekolah harus diakui telah banyak usaha dilakukan oleh para guru dan kepala sekolah agar para siswa mereka tidak terjerumus ke dalam kekerasan, narkoba, dan seks bebas. Upaya sekolah sangatlah beragam. Mulai dari memperbanyak kegiatan keagamaan, membuat community services program agar para siswa memiliki kepekaan terhadap lingkungannya, serta usaha-usaha melatihkan manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS).
Ada beberapa sekolah yang telah dilatih dengan MKBS merasa bahwa tingkat bullying dan kekerasan di sekolah menurun karena para siswa memiliki keterampilan dasar dalam memediasi konflik, membuat resolusi yang positif, serta membiasakan diri siswa untuk mencari solusi terhadap suatu masalah tanpa harus melakukan tindak kekerasan. Sayangnya, MKBS tak pernah dianggap penting sebagai bagian dari usaha manajemen sekolah, guru, dan orangtua dalam rangka menurunkan angka kekerasan di sekolah.
Pada tingkat keluarga, menurut saya tak jauh berbeda dengan gambaran lingkungan yang ada saat ini. Jika kondisi masyarakat di jalan raya, misalnya dijadikan sebagai tolok ukur bagaimana norma sebuah keluarga seharusnya berlaku. Sangat boleh jadi, hampir seluruh peta psikologis keluarga masyarakat Indonesia terwakili oleh sikap dan sifat saling sikut, tidak menghargai sesama, ingin cepat menang, serta tak taat aturan sebagaimana terlihat dari perilaku keseharian kita dalam berlalu-lintas. Bayangkan, begitu banyak orangtua yang tega membiarkan anak-anak mereka yang masih di bangku SD dan SMP sudah berkeliaran mengendarai sepeda motor di jalan raya. Lihatlah anak-anak sekolah berseragam SMP di seluruh Indonesia luput dari perhatian orangtua, polisi, dan para guru mereka yang secara sengaja sedang mengajarkan pelanggaran kepada anak anak mereka. Tanpa pengaman (helm), tak jarang kita lihat siswa SMP dan SMA bebas mengendarai motor, bahkan hingga 3-4 orang.
Tanggung jawab media
Di samping itu, tantangan pendidikan kita saat ini, selain ketidakmampuan birokrasi dan ketidakberdayaan masyarakat ialah pesatnya arus informasi melalui media massa, seperti televisi dan internet yang menawarkan gaya hidup (life style) dan budaya populer. Keduanya menyediakan peluang sekaligus tantangan bagi masa depan dunia pendidikan kita, baik berupa pengaruh terhadap proses belajar mengajar di kelas maupun pola asuh orangtua di rumah (Gupta, 2000). Seperti diketahui, pendidikan merupakan sebuah cara paling kuat untuk mengubah struktur budaya masyarakat.
Pendidikan massal melalui media massa, seperti televisi, internet, dan surat kabar atau majalah merupakan bentuk lain dari transplantasi budaya, yakni proses infi ltrasi budaya satu ke budaya lainnya berlangsung secara intensif dan dapat menyebabkan terjadinya penghapusan budaya (cultural genocide) secara perlahanlahan (Nandy: 2000).
Sebagai bangsa yang menghargai nilai-nilai kebersamaan dan kegotong-royongan dalam masyarakat, bentuk tayangan yang tersaji di depan kita saat ini sangat mengganggu perkembangan kepribadian anak.
Selain televisi, patut juga diperhatikan regulasi tayangan dalam bentuk permainan (game) yang merambah hingga ke telepon seluler. Jenis pendidikan massal seperti ini pasti akan meningkatkan ‘egoisme’ siswa secara negatif dan men jurus ke individualisme anak yang akan berakibat serius pada keterpecahan keluarga dan struktur sosial sehingga pada akhirnya akan meruntuhkan akar-akar budaya lokal yang solid dan alami. Dapat dibayangkan betapa berat dan sulitnya para guru untuk berlomba kreativitas dengan tayangan elektronik ini.
Efek lain dari berkembangnya jenis tayangan televisi, DVD, dan video game terhadap perilaku siswa ialah berubahnya imajinasi siswa dari tradisi bercerita dan bertutur kepada mimpi buruk interaksi anak dengan dunia elektrik yang meracuni pikiran dan harapan anak. Padahal, dalam sejarahnya, jenis video game yang dikonsumsi anak-anak kita saat ini berasal dan didesain untuk kebutuhan pelatihan tentara sebelum diterjunkan ke medan perang.
Dalam konteks ini, industri elektronik untuk kebutuhan teknologi informasi pendidikan dapat menjadi akses untuk menurunkan daya kritis siswa sehingga kebanyakan sistem pendidikan yang dikembangkan negara-negara dunia ketiga tidak akan berhasil mengembangkan mutu pendidikan mereka (Gidley and Wildman: 1996).
Karena itulah, beberapa hasil riset tentang kekhawatiran pengaruh tayangan berbasis teknologi informasi terhadap pendidikan merekomendasikan langkah-langkah metodologis proses belajar mengajar agar menggunakan pendekatan holistis, proactive social skills, seperti resolusi konflik dan metode cooperative learning. Selain itu, di tengah keragaman budaya dan arus globalisasi yang tidak mungkin kita hindari, kemampuan guru dan orangtua secara emosional tentang budaya mengajar berbasis perkembangan mental anak ialah imperatif.
Jika guru dan orangtua secara emosional tidak mampu mendeteksi antusiasme anak-anak mereka dalam mengikuti pelajaran, yang biasa terjadi di dalam kelas dan rumah ialah terjadinya ‘tekanan sosial’ guru dan orangtua terhadap anaknya agar lebih taat karena posisi guru dan orangtua secara sosial pasti lebih tinggi dari siswanya. Karena itu, menyatukan kembali sekolah, keluarga, dan masyarakat atau lingkungan ialah tugas berat Kementerian Pendidikan sekarang dan akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar