Senin, 09 Maret 2015

Penyertaan dalam Sumpah Palsu

Penyertaan dalam Sumpah Palsu

Eddy OS Hiariej  ;  Guru Besar Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
KOMPAS, 09 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Istilah "kriminalisasi KPK" kembali mengemuka menyusul ditangkapnya Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) oleh Bareskrim Polri atas sangkaan penyertaan dalam sumpah palsu sebagaimana diancam dalam Pasal 242 Ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 KUHP.

Kendatipun demikian, istilah kriminalisasi tidaklah tepat secara teoretis. Kriminalisasi adalah bagian dari kebijakan hukum pidana berupa proses penetapan suatu perbuatan yang tadinya bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana. Tulisan singkat ini akan mengulas dua hal. Pertama, terkait hal ihwal penangkapan dan penahanan itu sendiri. Kedua, mengenai pasal yang disangkakan.

Rambu-rambu

Pasal 17 KUHAP membolehkan upaya paksa berupa penangkapan jika berdasarkan bukti permulaan yang cukup tersangka diduga keras telah melakukan suatu tindak pidana. Namun, untuk menghindari kesewenang-wenangan dalam hal penangkapan, KUHAP pun memberikan rambu-rambu bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan dengan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.

Penangkapan pun dapat dilakukan ketika tersangka dipanggil, tetapi tak hadir tanpa alasan yang sah menurut hukum. Rambu-rambu ini hanya dapat dikecualikan dalam hal tertangkap tangan. Demikian pula upaya paksa berupa penahanan yang dapat dilakukan menurut Pasal 21 KUHAP. Adapun rambu-rambu dalam rangka penahanan adalah syarat subyektif, syarat obyektif, dan syarat kelengkapan formal. Apabila rambu-rambu penangkapan dan atau penahanan ini tak diindahkan, satu-satunya upaya hukum yang dapat dilakukan adalah praperadilan sesuai mekanisme yang diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP.

Lebih substansi untuk diulas adalah pasal yang disangkakan kepada BW mengenai penyertaan dalam sumpah palsu. BW disangkakan menyuruh lakukan atau menggerakkan orang lain untuk memberikan keterangan palsu sebagai saksi di hadapan MK. Secara eksplisit, Pasal 242 Ayat (1) KUHP yang menyatakan, "Barangsiapa dalam hal-hal di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah, atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, olehnya sendiri maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun".

Penyertaan menurut KUHP diatur dalam Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 dan Ke-2. Berdasarkan pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa siapa saja yang dapat dipidana sebagai pelaku adalah 1) Pleger atau pelaku, 2) Doenpleger atau orang yang menyuruh lakukan, 3) Medepleger atau orang yang turut serta, dan 4) Uitlokker atau orang yang menganjurkan atau menggerakkan. Dalam kasus yang disangkakan kepadanya, BW tidak mungkin dikualifikasikan sebagai pleger atau medepleger karena yang memberi keterangan tersebut di hadapan sidang MK bukanlah BW, melainkan orang lain yang bertindak sebagai saksi. Dengan demikian, hanya ada dua kemungkinan kualifikasi BW, yaitu doenpleger ataukah uitlokker.

Dalam bentuk penyertaan doenpleger, paling tidak dua orang atau lebih yang terlibat dalam suatu perbuatan pidana dengan kedudukan yang berbeda. Orang yang menyuruh lakukan disebut sebagai manus domina atau middellijke dader dan orang yang disuruh disebut sebagai onmiddellijke dader atau manus ministra. Doenpleger juga disebut sebagai middellijk daderschap yang berarti seseorang mempunyai kehendak melakukan suatu perbuatan pidana, tetapi ia tidak mau melakukannya sendiri dan mempergunakan orang lain yang disuruh melakukan perbuatan pidana tersebut.

Paling tidak ada tiga syarat penting dalam bentuk penyertaan ini. Pertama, alat yang dipakai untuk melakukan suatu perbuatan pidana adalah orang. Kedua, orang yang disuruh tidak mempunyai kesengajaan, kealpaan, atau kemampuan bertanggung jawab. Ketiga, sebagai konsekuensi syarat kedua adalah bahwa orang yang disuruh melakukan tidaklah dapat dijatuhi pidana.

Dalam kasus ini, BW tidak dapat dikualifikasikan sebagai doenpleger karena orang yang disuruh untuk memberikan keterangan palsu mempunyai kesengajaan dan mampu bertanggung jawab sehingga kualitas manus domina dan manus ministra tidaklah terpenuhi. Tegasnya, BW tidak dapat dikualifikasikan sebagai orang yang menyuruh lakukan.

Lima syarat

Kemungkinan terakhir yang dapat disangkakan terhadap BW adalah sebagai orang yang menggerakkan atau menganjurkan (uitlokker) melakukan sumpah palsu. Bentuk penyertaan menggerakkan atau menganjurkan ini terdapat dua orang atau lebih yang masing-masing berkedudukan sebagai orang yang menganjurkan atau auctor intellectualis dan orang yang dianjurkan atau auctor materialis atau materieele dader. Berdasarkan Pasal 55 Ayat (1) Ke-2 KUHP telah ditentukan secara limitatif upaya untuk menganjurkan atau menggerakkan orang lain melakukan perbuatan pidana, masing-masing: Pertama, memberi atau menjanjikan sesuatu. Kedua, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat. Ketiga, dengan kekerasan. Keempat, dengan ancaman atau penyesatan. Kelima, memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.

Ada lima syarat yang harus dipenuhi dalam bentuk penyertaan menggerakkan atau menganjurkan. Pertama, kesengajaan untuk menggerakkan atau menganjurkan orang lain melakukan suatu perbuatan pidana. Kedua, ada orang lain yang dapat melakukan perbuatan yang digerakkan atau dianjurkan. Artinya, kehendak tersebut juga ada pada orang yang digerakkan atau dianjurkan. Hal ini berkaitan dengan kausalitas psikis. Ketiga, orang yang digerakkan atau dianjurkan benar-benar mewujudkan perbuatan pidana atau percobaan perbuatan pidana yang dikehendaki oleh penggerak atau penganjur. Keempat, menganjurkan atau menggerakkan harus dengan cara-cara yang telah ditentukan secara limitatif sebagaimana disebut di atas. Kelima, orang yang digerakkan atau dianjurkan harus dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Dalam kasus ini, jika BW dikualifikasikan sebagai orang yang menggerakkan atau menganjurkan orang lain untuk melakukan sumpah palsu, ada beberapa catatan. Pertama, jika auctor materialis yang dimaksud adalah Ratna Mutiara yang telah divonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 5 bulan penjara karena memberikan keterangan palsu di hadapan sidang MK, maka hubungan kausalitas antara Ratna dan BW harus termuat dalam vonis Ratna, atau dalam dakwaan, atau setidak-tidaknya Ratnalah yang melaporkan kasus ini.

Kedua, jika auctor materialis yang dimaksud bukanlah Ratna, penetapan BW sebagai tersangka terdapat kejanggalan secara teoretis. Sebelum menetapkan BW sebagai auctor intellectualis, terlebih dahulu haruslah menetapkan auctor materialis sebagai tersangka. Hal ini mengingat bentuk penyertaan menggerakkan atau menganjurkan adalah onzelfstandige deelneming atau penyertaan yang tak berdiri sendiri. Artinya, dapat tidaknya seorang peserta dihukum tergantung dari peranannya dalam tindak pidana yang telah dilakukan oleh seorang auctor materialis (lihat: Simons, 1937, halaman 306 dan Van Hamel, 1913, halaman 350-351). Tegasnya, harus ada orang lain yang dinyatakan sebagai tersangka auctor materialis terlebih dahulu, baru kemudian menetapkan BW sebagai auctor intellectualis.

Ketiga, jika hal yang pertama dan kedua tidak terpenuhi, penetapan BW sebagai tersangka adalah prematur. Keempat, pencabutan terhadap laporan yang telah dilakukan dalam perkara ini bukanlah halangan untuk mengungkap kasus ini kembali. Sumpah palsu bukanlah delik aduan yang mana ketika pengadu sudah mencabut aduan, maka hak penuntutan menjadi gugur. Selama belum kedaluwarsa, perkara ini masih tetap bisa diproses.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar