Antara
Pahlawan dan Pecundang
Brigjen Pol DR BAMBANG USADI MM ; Analis Kebijakan Utama (Anjak) Utama Lemdikpol
|
KORAN
SINDO, 12 Maret 2015
Sebagian masyarakat dan pemerhati permasalahan Polri-KPK
menunjukkan respons yang sudah tidak rasional. Seberapa pun penjelasan yang
diberikan Polri tentang keterlibatan komisioner
KPK sulit dipercaya sebagai bentuk proses penegakan hukum.
Sebaliknya, komisioner KPK tetap dipercaya tidak bersalah
meski fakta yang didukung beberapa alat bukti mengarahkannya sebagai
tersangka, atau paling tidak menjadi pembenar dengan mengatakan tidak
sebanding kasus yang disangkakan komisioner KPK nonaktif dengan kasus yang
sedang ditangani KPK.
Tampaknya pesan Ali bin Abi Thalib yang cukup terkenal, ”Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada
siapa pun karena yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang membencimu tidak
percaya itu” menemukan relevansinya. Sangat jarang yang melihat proses
penegakan hukum yang dilakukan Polri terhadap komisioner KPK nonaktif
diterima sebagai salah satu mekanisme yang dapat dinilai sebagai bentuk
konkret dari mekanisme kontrol terhadap kinerja KPK, termasuk kinerja
komisioner KPK.
Power tends to
corrupt, and absolute power corrupts absolutely, kekuasaan
cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup, demikian juga KPK
tanpa kontrol (berarti kekuasaan absolut) akan melahirkan potensi
penyimpangan penegakan hukum di KPK. Penguatan KPK seharusnya dilakukan dengan dua pendekatan
yakni pendekatan penguatan secara internal dan penguatan secara eksternal.
Penguatan internal mengharuskan
KPK menerima, berlapang dada, dan bahkan
membuka diri ketika siapa saja personelnya termasuk komisioner KPK yang
diduga bermasalah dengan pidana kemudian diproses secara hukum sehingga
menghindarkan segala putusan hukum KPK bisa menjadi bias dan tidak kredibel
karena melibatkan personel yang cacat hukum.
Pendekatan penguatan KPK
secara eksternal dapat dilakukan dengan meningkatkan intensitas proses
penegakan hukum di KPK dalam kasus tindak pidana korupsi. Namun, harus
dipastikan penegakan hukum itu dilakukan secara profesional dan proporsional
dengan mengedepankan kepastian hukum dan rasa keadilan, asas, kaidah dan
hak-hak hukum terperiksa/ tersangka.
Harus disadari bahwa upaya
praperadilan terhadap proses penegakan hukum di KPK yang dilayangkan beberapa
pihak seyogianya dinilai sebagai bentuk nyata dari mekanisme kontrol untuk
memperkuat KPK agar lebih berhati-hati dan profesional dalam menangani
perkara hukum.
Di samping itu, penegakan hukum yang dilakukan lembaga
eksternal seperti Polri terhadap komisioner KPK harus dinilai sebagai
mekanisme kontrol untuk memperkuat internal KPK. KPK harus menunjukkan sisi
kenegarawanan dengan berperilaku sebagai lembaga negara yang
menjunjung tinggi hukum dan kewibawaan negara salah satunya menghormati
putusan praperadilan.
KPK
harus tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah dan seharusnya tidak lagi
melakukan pembangkangan terhadap putusan praperadilan, baik dalam bentuk demo
pegawai maupun perilaku lain sebagai bentuk perbuatan melawan hukum.
Konsekuensi dari putusan praperadilan dengan pembatalan status tersangka
pemohon dan penetapan bahwa KPK tidak berwenang menangani perkara pemohon
memiliki konsekuensi bahwa KPK harus menghentikan penyidikan dan tidak lagi
menangani perkara pemohon.
Tetapi, disebabkan KPK tidak
diperkenankan menghentikan penyidikan dan tidak memiliki kewenangan penanganan
perkara pemohon, mengharuskan perkara
pemohon harus dilimpahkan ke kejaksaan atau kepolisian untuk dihentikan
penyidikannya (dikeluarkan SP3). Penyerahan penanganan perkara pemohon
oleh KPK kepada kejaksaan harus disertai penyerahan berkas perkara secara
lengkap tidak hanya dalam bentuk surat pengantar.
Di sinilah pentingnya KPK mendefinisikan posisinya sebagai
pahlawan sesungguhnya dalam pemberantasan korupsi atau sekadar ”pecundang”
yang menampilkan diri bak pahlawan dengan sengaja menggiring opini publik
secara tidak proporsional ketika komisioner KPK berhadapan dengan masalah
hukum yang diproses Polri atau keharusan KPK melimpahkan perkara pemohon
praperadilan.
Modal sosial yang cukup dimiliki KPK saat ini memberikan
kesempatan kepada KPK untuk menjelaskan kepada publik tentang pendidikan
kesadaran taat hukum dan mengikuti prosedur hukum secara benar. Pada saat
yang sama, KPK harus menunjukkan sinergi dengan lembaga penegak hukum lain
dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Di lain pihak, Polri secara institusional harus mampu
menampilkan diri secara elegan dalam menanggapi berbagai isu yang berkembang.
Termasuk di dalamnya tentang profesionalitas penegakan hukum terhadap
komisioner KPK nonaktif, membangun komunikasi massa yang baik dan profesional,
serta menegaskan dan memublikasikan proses penegakan hukum yang sudah
dilakukan Polri secara internal terhadap anggotanya yang terbukti melakukan
pelanggaran kode etik dan tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi.
Polri pada 2012 menjelaskan ke publik bahwa sekitar 200-an
personel Polri dipecat dan diproses hukum karena terbukti melakukan tindak
pidana, mulai dari kekerasan sampai tindak pidana korupsi. Polri harus
cukup ”firm” menjawab semua isu yang berkembang soal penegakan hukum terhadap
komisioner KPK nonaktif untuk memastikan publik, akademisi, dan aktivitas
antikorupsi mendapatkan penjelasan yang masuk akal dan dapat diterima.
Keterlibatan Kombes Victor Simanjuntak dalam penangkapan
BW semestinya dijawab dengan proporsional sesuai kewenangan yang diberikan UU No 2 Tahun 2002. Aturan
tersebut tidak melarang polisi non-penyidik (bukan penegak hukum) terlibat
dalam penangkapan karena berdasarkan Pasal 16 sebagai penegas Pasal 13 UU No
2 Tahun 2002, baik sebagai penegak hukum maupun sebagai aparat keamanan,
polisi sebagai personel Polri diberi wewenang terlibat dalam penangkapan sebagaimana Polri nonpenyidik juga pernah dimintai
bantuan untuk mendukung penegakan hukum seperti penggeledahan oleh KPK.
Toh pun, penangkapan BW tetap melibatkan penyidik yang sah dan diberi
wewenang oleh undang-undang serta ditunjuk dan ditetapkan pimpinan Polri.
Keputusan ada di KPK untuk memastikan diri menjadi
pahlawan sesungguhnya dalam penegakan hukum sekaligus sebagai negarawan, atau
sebaliknya pada akhirnya akan menjadi pecundang dengan membela mati-matian
komisioner KPK nonaktif yang bermasalah dengan hukum dan melakukan
pembangkangan dengan menolak putusan praperadilan.
KPK harus memastikan berperan dalam pembangunan kesadaran hukum di
Indonesia dengan melakukan tugas penegakan hukum di bidang pemberantasan
tindak pidana korupsi secara proporsional, profesional, dan menghindarkan
potensi keterlibatan campur tangan politik dan vested interest dalam proses penegakan hukum.
Polri dituntut mampu bermain cantik mengelola isu
dengan cara ”menumpangi” opini publik yang sedang berkembang dan meluruskan
isu yang tak berdasar secara elegan seiring semangat opini publik yang
terbentuk. Penegakan hukum terhadap komisioner KPK oleh Polri harus mampu
meyakinkan publik bahwa dampaknya justru memberikan penguatan internal
terhadap institusi KPK dalam melakukan penegakan hukum di bidang
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hal yang harus disyukuri saat ini adalah daya kritis
masyarakat menunjukkan telah menuju pada jalur yang benar setelah beberapa
kali dalam periode kepemimpinan presiden yang berbeda, komisioner KPK harus
berhadapan dengan proses penegakan hukum di Polri. Setidaknya ini dapat
diindikasikan dengan dukungan masyarakat (netizen), melalui sosial media
seperti Facebook dan Twitter terhadap KPK.
Apabila pada kasus Bibit-Chandra dukungan
mencapai 2 juta lebih pengguna Facebook dan Twitter, sampai saat ini dukungan
KPK di grup dan halaman (fanpage) Facebook hanya mencapai paling tinggi
sekitar 30.000 lebih pengguna, demikian juga di Twitter justru hashtag
#SaveKPK#SavePolri pengikutnya lebih banyak (5.000 lebih follower) dibanding
hanya hashtag #SaveKPK yang paling banyak memiliki 3.000 lebih follower.
Namun, perlawanan masif terhadap proses penegakan hukum yang masih cenderung berpihak pada KPK bukan
berpihak terhadap kepastian hukum itu sendiri. Perlawanan ini lebih nyaring
dilakukan oleh akademisi, aktivis antikorupsi, dan pihak-pihak yang
berkepentingan lainnya yang secara sosiologis berada di kelompok
intelektual.
Ini mengharuskan Polri meresponsnya dengan membangun
argumentasi proses penegakan hukum berbasis kepastian hukum yang rasional dan
mampu mematahkan argumentasi yang berkembang, serta menjaga dari
pernyataan-pernyataan yang berakibat blunder, serta berusaha terus-menerus
membangun komunikasi massa yang simpatik dan empatik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar