Kriminalisasi
dalam Pemberantasan Korupsi
Romli Atmasasmita ; Guru Besar
(Emeritus) Universitas Padjadjaran (Unpad)
|
KORAN
SINDO, 12 Maret 2015
Hiruk-pikuk jargon kriminalisasi terkait pimpinan KPK dan
pendukung KPK telah menyeruak di beberapa media nasional. Kriminalisasi dalam
doktrin hukum pidana adalah suatu perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan
tindak pidana kemudian merupakan tindak pidana berdasarkan UU yang berlaku.
Sebaliknya, ada dekriminalisasi yaitu perbuatan yang
semula diancam pidana kemudian menjadi tidak diancam pidana berdasarkan UU
yang berlaku. Mengikuti doktrin tersebut, tidak ada yang keliru tentang
kriminalisasi sepanjang dilaksanakan berdasarkan UU yang berlaku, bukan
kehendak penyidik semata.
Dalam konteks jargon kriminalisasi yang telanjur keliru
seharusnya sebagai warga negara yang baik menjunjung tinggi dan menghormati
asas persamaan di muka hukum (equality
before the law) dan di sisi lain penyidik harus mengedepankan asas
praduga tak bersalah (presumption of
innocence).
Asas hukum pidana pertama dan kedua tersebut dicantumkan
di dalam UUD 1945 selain konvensi internasional tentang hak sipil dan hak
politik. Dua asas hukum pidana tersebut harus berada dalam suatu keseimbangan
dan mencegah prinsip tujuan menghalalkan cara karena bertentangan dengan
prinsip proporsionalitas (Remmelink, 2003) yaitu harus sesuai antara tujuan
dan cara mencapai tujuan.
Prinsip hukum ini rambu-rambu bagi setiap langkah
penyidikan dan di sisi lain seharusnya menjadi pegangan bagi setiap orang
yang (akan) diperiksa penyidik. Jika ada orang yang menolak diperiksa
penyidik sepanjang dilaksanakan berdasarkan perintah UU, terhadapnya sesuai UU
dapat dilakukan upaya paksa untuk diperiksa.
Sebaliknya, penyidik dapat
dipraperadilankan jika terperiksa (tersangka) berpendapat bahwa langkah hukum
penyidikan, penahanan, penuntutan, atau penghentian penyidikan dan penuntutan
atau tuntutan ganti rugi/rehabilitasi telah melanggar ketentuan Pasal 77
KUHAP.
Selain alasan-alasan tersebut, mereka dapat merujuk
putusan hakim Sarpin Rizaldi, penetapan tersangka secara melawan hukum. Mekanisme hukum praperadilan adalah satu-satunya yang
dibenarkan berdasarkan UU yang berlaku di Indonesia ketika hak-hak asasi
setiap orang telah dilanggar atau dirampas dari diri kita, tidak ada lain lagi.
Cara-cara DI yang
mengaku pendukung KPK dari sudut hukum justru tindakan melawan UU yang
berlaku. Di dalam KUHAP kepatuhan untuk memenuhi panggilan penyidik merupakan
kewajiban setiap orang. Saat ini yang kita saksikan telah di luar akal sehat
kita sebagai ahli hukum (pidana) karena telah terjadi perlawanan terhadap
asas persamaan di muka hukum yang telah dicantumkan di dalam UUD 1945, bukan
hanya UU KUHAP; dan itu hanya dapat dibenarkan jika asas praduga tak bersalah
telah dilanggar penyidik; tapi harus melalui mekanisme praperadilan. Cara-cara aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM)
antikorupsi khususnya DI, BW, dan YH mengadu ke Istana bukan cara-cara berdasarkan hukum
yang berlaku.
Langkah itu cara-cara politis untuk ”memaksa” Presiden
selaku kekuasaan eksekutif memengaruhi atau mengintervensi proses penyidikan
terhadap mereka. Langkah dan tindakan mereka justru tidak dapat diterima dari
sudut etika pengampu ilmu hukum dan bertentangan sama sekali dengan asas-asas
dan kaidah yang berlaku dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Cara tersebut bahkan bertentangan dengan
sistem ketatanegaraan yang diakui UUD 1945 di mana telah diakui pemisahan
kekuasaan eksekutif dari kekuasaan yudikatif dan kekuasaan legislatif. Merujuk pada uraian ini saya mendukung sepenuhnya kebijakan Presiden Joko
Widodo yang telah menyatakan tidak akan ikut campur dengan proses hukum yang
tengah dilakukan oleh Bareskrim.
Adapun yang dinyatakan oleh Presiden untuk hentikan
kriminalisasi adalah jika proses penyidikan dilakukan tanpa dasar fakta dan
ketentuan hukum yang berlaku. Penyalahgunaan wewenang dimaksud adalah
tindakan yang telah melampaui batas kewenangan, tindakan yang telah
mencampuradukkan wewenang atau penyidik bertindak sewenang-wenang (tanpa
dasar hukum yang berlaku) sebagaimana telah dicantumkan dalam Pasal 17
tentang Larangan Penyalahgunaan Wewenang (UU RI Nomor 30 Tahun 2014).
Jika kita bandingkan tindakan hukum yang
telah dilakukan oleh KPK terhadap setiap tersangka korupsi yang juga
berdasarkan UU yang berlaku, penulis melihat tidak ada bedanya dengan
tindakan hukum yang telah dilakukan Bareskrim Polri misalnya pemborgolan. Sedangkan penyidik KPK adalah
anggota Polri juga sehingga tidak ada alasan apa pun untuk memojokkan
penyidik Bareskrim telah melakukan kriminalisasi.
Justru ”kriminalisasi” yang
kasatmata adalah ketika KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa yang
bersangkutan memperoleh informasi pertama dari penyidik KPK dan tanpa
sprindik (kasus MSG) atau tidak semua pimpinan membubuhkan tanda tangan
menyepakati dan menyetujui penetapan dimaksud atau penetapan tersangka karena
alasan-alasan pribadi atau untuk kepentingan politik.
Saya mengimbau mereka yang telah ditetapkan tersangka atau
calon tersangka oleh Bareskrim bersikap ikhlas dan melawan melalui mekanisme
praperadilan atau menyiapkan diri untuk membela diri di sidang pengadilan
tipikor dengan penasihat hukum dan ahli-ahli yang tepercaya. Di dalam sidang pengadilan yang terbuka dan dibuka
untuk umum itulah, kita semua dapat menyaksikan kebenaran ”kriminalisasi”
yang telah Anda tuduhkan kepada Bareskrim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar