Ihwal
Subsidi Partai
Donal Fariz ; Anggota
Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS,
13 Maret 2015
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo melempar wacana agar
setiap partai politik disubsidi Rp 1 triliun dari APBN. Wacana ini bisa
menimbulkan polemik baru di tengah maraknya resistensi publik terhadap partai
politik.
Bak gayung bersambut, usul Mendagri diamini oleh mayoritas
politisi di DPR. Pada umumnya mereka setuju karena peningkatan subsidi negara
dipandang sebagai langkah untuk mencegah korupsi kader partai akibat besarnya
kebutuhan organisasi.
Usulan Mendagri dan sekaligus respons para politisi
terhadap gagasan ini mengonfirmasi realitas bahwa banyak kader partai korupsi
untuk menghidupi partai. Padahal, fakta ini sebelumnya selalu ditolak
ramai-ramai oleh para politikus.
Harus diakui, dalam sebuah negara demokratis, partai
politik merupakan sebuah pilar. Keberadannya menentukan sendi-sendi yang
lain. Dalam konteks ini, partai memiliki peran sentral yang amat strategis
dalam sirkulasi demokrasi. Partai yang sehat akan membuat roda pemerintahan
menjadi baik dan sebaliknya. Berbagai macam jabatan strategis pejabat negara,
bahkan untuk hakim agung sekalipun, melalui mekanisme pelibatan partai secara
langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, wajah pejabat negara saat
ini sesungguhnya mewakili wajah sesungguhnya partai politik di negara ini.
Belakangan ini tidak bisa dibantah, partai seakan telah
menjadi industri demokrasi. Padahal, jika melihat terminologi partai menurut
UU, partai dimaknai sebagai organisasi bersifat nasional dan dibentuk oleh
warga secara sukarela atas persamaan kehendak dan cita-cita membela bangsa
dan negara.
Spirit sukarela dalam partai sudah nyaris punah. Sebagai
industri demokrasi, partai digerakkan oleh mesin besar dan butuh bahan bakar
yang amat banyak. Bahan bakar tersebut tak lain adalah uang atau pendanaan.
Marcus Mietzner (ANU, 2011) menilai, secara global telah
terjadi perubahan paradigma dari partai massa (mass party) ke elektoral (electoralist
party). Hal itu ditandai pengurangan jumlah anggota dan meningkatnya
peran para konsultan yang profesional.
Cara paling mudah mengujinya adalah saat pemilu.
Keberadaan massa ideologis sangat langka sehingga saat kampanye, mayoritas
pendukung digerakkan dengan pancingan uang.
Kondisi ini tentu membawa konsekuensi logis pada upaya
pengumpulan dana dan pengelolaan dana partai agar roda organisasi berjalan.
Jika mengacu pada Undang-Undang Partai Politik (UU No 2/2011), setiap partai
diperkenankan memperoleh pendanaan dari tiga sumber: (a) iuran anggota; (b)
sumbangan yang sah menurut hukum; dan (c) bantuan keuangan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBN/APBD).
Sumber-sumber yang diperkenankan tersebut kenyataannya
belum bisa menyelesaikan problem keuangan partai. Kecenderungan yang terjadi
selama ini, partai lebih mengandalkan sumbangan dari iuran anggota. Itu pun
dari anggota yang sukses masuk ke parlemen atau menduduki jabatan di
eksekutif dengan cara memotong gaji dan tunjangan mereka setiap bulannya.
Subsidi negara
Partai di Indonesia tidak terbiasa dan mampu menggunakan
konsep public fundraising dalam
memperoleh sumber pendanaan yang berasal dari masyarakat luas. Elite partai
lebih suka mengumpulkan uang dari kader sendiri ataupun dana dari segelintir
pengusaha, tetapi dalam jumlah besar. Gejala tersebut ditandai dengan
masuknya pengusaha besar yang sudah mapan ke dalam struktur partai.
Partai kekurangan dana yang berasal dari sumber-sumber
legal. Dana-dana yang dihimpun dari kader sendiri kenyataannya bercampur
dengan sumber ilegal, seperti hasil korupsi.
Maka, di titik inilah yang menjadi pemicu maraknya korupsi
yang melibatkan kader partai. Apalagi, persaingan internal di partai juga
didasarkan pada seberapa besar uang yang disumbang kader kepada partai.
Alhasil, tidak aneh apabila posisi kunci partai sering dipegang kader-kader
yang kuat secara finansial.
Wacana Mendagri untuk meningkatkan subsidi negara kepada
partai tentu harus dipikirkan secara matang dari semua aspek. Mulai dari segi
kepatutan jumlah, pengelolaan, mekanisme pengawasan, dan pertanggungjawaban.
Jika mengacu pada PP No 5/2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai
Politik, setiap partai hanya memperoleh Rp 108 untuk setiap suara yang
diperoleh dari pemilu sebelumnya. Secara keseluruhan, dalam APBN 2015
dianggarkan sebanyak Rp 13,17 miliar untuk semua partai yang memiliki kursi
di DPR (Kompas, 10/3/2015).
Besaran subsidi Rp 108 per suara sesungguhnya sudah
dimulai sejak 2005. Angka tersebut tentu tidak lagi relevan dengan kebutuhan
dan belanja partai yang semakin bergerak tinggi. Apalagi, jika dihitung
dengan rata-rata inflasi 6-8 persen setiap tahun. Maka, nilai Rp 108 per
suara menjadi tidak lagi berarti untuk partai. Oleh karena itu, dari aspek
kepatutan memang harus diakui subsidi Rp 108 tersebut saat ini sudah tidak
lagi relevan. Namun, apakah jumlah peningkatannya sesuai dengan usulan
Mendagri?
Jawabannya tentu tidak. Angka Rp 1 triliun setiap partai
tanpa mempertimbangkan jumlah suara yang diperoleh dari pemilu tentu tidak
logis. Apalagi jumlah tersebut berpotensi menimbulkan kecemburuan terhadap
kekhususan yang ada, seperti partai lokal di Aceh.
Terlebih lagi faktanya masih banyak lembaga negara
strategis yang dapat jatah dalam APBN kurang dari Rp 1 triliun setiap
tahunnya, semisal Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi, Komisi
Yudisial, dan Komnas HAM. Artinya, formulasi penghitungan terbaik tetaplah
dengan menggunakan formula jumlah perolehan suara dalam pemilu. Pemerintah
tinggal menentukan jumlah paling pas untuk setiap satu suara yang diperoleh
dari pemilu sebelumnya. Hal terpenting, peningkatan subsidi kepada partai
harus dilakukan bertahap sembari menilai peningkatan tata kelola partai.
Bukan cek kosong
Jika peningkatan anggaran subsidi negara direalisasikan,
pemerintah harus mendorong perubahan yang lebih baik terhadap partai. Dengan
begitu, negara tidak memberikan cek kosong peningkatan anggaran saja.
Setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan oleh pemerintah.
Pertama, mendorong perbaikan tata kelola keuangan partai.
Saat ini sangat banyak pengurus di tingkat daerah/wilayah yang tidak memiliki
laporan keuangan partai yang terkonsolidasi. Laporan keuangan hanya sebagai
pemenuhan audit agar memperoleh subsidi APBD tahun berikutnya. Fakta tersebut
pernah Indonesia Corruption Watch (ICW) temukan berdasarkan uji akses
informasi laporan keuangan tahun 2013 dan 2014 pada lima pengurus daerah.
Kedua, mendorong transparansi dan akuntabilitas laporan
keuangan kepada publik, misalkan melalui publikasi melalui laman partai.
Partai harus setengah dipaksa untuk mengumumkan semua pemasukan yang berasal
dari sumber-sumber lain di luar APBN/APBD kepada publik. Hal ini sejalan
dengan berbagai putusan Komisi Informasi yang mengategorikan semua informasi
keuangan partai adalah informasi yang terbuka untuk publik.
Ketiga, peningkatan subsidi negara harus disertai
perubahan status pengurus partai menjadi entitas pejabat publik/penyelenggara
negara karena menerima dana dari APBN/APBD. Oleh karena itu, setiap pengurus
partai yang korupsi bisa dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi.
Jika wacana peningkatan subsidi partai tidak diikuti
dengan perbaikan persoalan internal partai, sudah dapat dipastikan keinginan
pemerintah tersebut akan menuai resistensi. Masyarakat sebagai pembayar pajak
sepenuhnya tidak akan rela pajak yang telah mereka bayar digelontorkan kepada
partai jika tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar