Kehadiran
Dominasi dan Hegemoni Baru
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
16 Maret 2015
Keputusan Inggris
bergabung ke dalam Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) bentukan Tiongkok
(Kompas, 14/3) memberikan indikasi penting terjadinya perubahan geopolitik
global dengan berbagai dampaknya. Dampak yang
secara nyata akan kita hadapi adalah berakhirnya mekanisme politik aliansi
yang menjadi panduan penting pengendalian dunia pasca Perang Dunia II.
Adapun perubahan geopolitik global yang akan dihadapi setidaknya
terjadi dalam dua sisi, kebangkitan RRT sebagai negara adidaya baru
menggantikan peran AS selama lebih dari tujuh dekade sebagai barometer
penting globalisasi dalam aspek politik, ekonomi, perdagangan, sosial-budaya,
dan pertahanan keamanan, menjadi kenyataan tak terelakan.
Sisi lain, kehadiran Inggris selain melanjutkan upaya
tradisional sebagai negara-bangsa dengan tradisi perbankan yang kuat,
memberikan indikasi pentingnya kawasan maritim sebagai mandala interaksi baru
menghubungkan berbagai kawasan penting di Asia, Afrika, dan Eropa. Sisi ini
sekaligus menunjukkan, infrastruktur maritim menjadi pelopor utama
mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan mencari modalitas baru
untuk bekerja sama.
Bisa dipastikan keputusan Inggris bergabung dalam AIIB akan
diikuti negara Eropa lain, seperti Jerman atau Perancis. Semua negara di
dunia, kecuali AS, percaya bank pembangunan multilateral (MDB) akan
memberikan prospek menarik yang berbeda dibandingkan dengan MDB, sejenis
seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, ataupun Bank Pembangunan Asia
(ADB).
Di sisi lain, ada kekhawatiran lain yang perlu kita sampaikan,
tidak terkait dengan standar tata kelola perbankan seperti yang dipedulikan
AS. Kita percaya, RRT yang memiliki dana miliaran dengan cadangan devisa
mencapai sekitar 4 triliun dollar AS, pasti memiliki standar kelola keuangan
yang ajek dan kuat.
Setidaknya ada tiga persoalan yang menjadi kekhawatiran kita dan
perlu dikaji secara saksama menghadapi perubahan geopolitik global dalam
mekanisme konsep yang disebut Beijing sebagai yi lu yi dai (satu jalan satu
sabuk). Pertama, seperti telah disampaikan harian ini, kita tidak ingin
terjebak dalam mekanisme hegemoni berkarakteristik Tiongkok.
Ketika pusat AIIB ada di Beijing, pemimpin eksekutif AIIB
dikendalikan RRT, dan besaran keanggotaan AIIB ditentukan atas jumlah PDB
masing-masing negara anggota, yang semuanya mengarah pada dominasi RRT, kita
khawatir cita-cita "sama rasa dan sama rata" yang diinginkan dalam
mencapai kesejahteraan bisa tidak tercapai. Gagasan kerja sama akan kembali
menghadirkan jurang pemisah kaya dan miskin.
Kedua, saat ini tidak ada cetak biru yang bisa memberikan
modalitas investasi infrastruktur yang ingin dikembangkan bersama. Yang muncul
adalah "politik baik hati" membangun jalur kereta api di Thailand,
atau pembangunan kawasan pelabuhan di Sri Lanka yang terbengkalai untuk
negosiasi ulang.
Dan ketiga, perlu ditekankan kembali, AIIB yang ingin
dikembangkan jangan sampai didominasi kekuatan ekonomi dan keuangan diaspora
Tionghoa yang memiliki peluang besar dalam konsep strategi pembangunan jalur
maritim. Peluang ini tersedia sangat luas pada skema kemitraan swasta publik
(PPP) ketika proyek-proyek padat modal infrastruktur hanya dikelola oleh
mereka yang kuat secara ekonomi dan finansial.
Tahun 2015 menjadi sangat penting menghadapi perubahan
geopolitik global yang mengarah ke kawasan Samudra Pasifik dan India yang
menjadi poros baru pertumbuhan dunia. Kelengahan kita menghadapi konsep-konsep
strategi pembangunan baru, akan mendorong kita masuk ke dalam siklus
kolonialisasi dan imperialisasi modern dalam bentuk barunya dan tidak
terbayangkan sebelumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar