Rabu, 11 Maret 2015

49 Tahun PKI Bubar

49 Tahun PKI Bubar

Anton Tabah  ;  Kolumnis, Purnawirawan Perwira Tinggi Polri
REPUBLIKA, 10 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                

Media menjadi salah satu saksi jujur sejarah jika kita membuka file koran Indonesia maupun dunia, seperti Washington Post, New York Times, Time, dan Asahi Simbun. Edisi 13 Maret 1966 hampir semua menulis berita jutaan rakyat Indonesia tumpah ruah di jalan-jalan kota Indonesia meluapkan sukacita.

Rakyat, pelajar, mahasiswa, tentara, polisi berpelukan dalam rasa haru. Partai Komunis Indonesia (PKI) sehari sebelumnya (12 Maret 1966) dibubarkan, resmi dilarang hidup di bumi NKRI karena tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang religius yang dikristalisasikan dalam filosofi dasar bangsa Indonesia, Pancasila.

Jenderal Soeharto yang ditunjuk Bung Karno sebagai panglima Pemulihan Keamanan pascapemberontakan PKI 30 September 1965 yang gagal dan Jenderal Nasution selaku ketua MPRS saat itu, dielu-elukan rakyat karena berani membubarkan PKI sesuai tuntutan rakyat dalam Tritura, yaitu bubarkan PKI, retol kabinet Soekarno, dan turunkan harga.

Majalah Time yang terbit seminggu kemudian mengulas lebih dalam penyelesaian brilian telah diambil di Jakarta dengan gagah berani. Jenderal Soeharto dan Jenderal Nasution membubarkan PKI, partai politik terbesar ketika itu dan disokong dua negara adidaya: RRT dan Uni Soviet. PKI bahkan telah berkuasa dua dekade dengan doktrin pemaksakan kehendak.

Karena itu, Presiden Prancis Francois Mitterand yang juga seorang kolumnis itu menulis buku berjudul La Paile et Le Grain yang diterjemahkan ke bahasa Inggris, The Weat and The Chaff, (Jerami dan Sekam). Dalam buku itu, antara lain, diusulkan bahwa Jenderal Soeharto layak mendapat hadiah Nobel karena telah membubarkan PKI yang dalam Gerakan 30 September 1965 sangat biadab menyiksa dan membunuh lawan-lawan politiknya.

Tepat jika masalah PKI diungkap lagi untuk mengingatkan orang yang lupa, apalagi banyak generasi muda yang tidak tahu PKI. Siapa pun rakyat Indonesia yang pada 1965 minimal telah berusia tujuh tahun ke atas, banyak yang tahu dan ingat partai politik PKI yang berkuasa di segala lini legislatif, eksekutif, yudikatif bahkan Presiden disetir PKI.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 baru ditetapkan kembali ke UUD 1945 dan Pancasila. Tetapi, PKI dengan pongah menyelewengkan UUD 1945 menobatkan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup tanpa pemilu. Ini awal malapetaka bangsa Indonesia.

PKI kemudian memberontak pada 30 September 1965 dengan segala prolog dan epilognya. Di berbagai daerah, umat Islam dibantai, bahkan PKI membantai umat Islam yang sedang shalat berjamaah. Ulama dan kiai dibunuh, puluhan pesantren dihancurkan. Beruntung pemberontakan G30S/PKI gagal, malah menjadi titik balik yang menghancurkan PKI dan underbow-nya dilarang di bumi NKRI.

Pakar politik Asia, Guy J Parker, dalam karyanya, The Rise and Fall of The Communist Party of Indonesia, mengupas kegagalan pemberontakan PKI 1965 sekaligus membuka tabir kebobrokan tokoh empat serangkai PKI (Aidit, Nyoto, Lukman, Sudisman) yang diagung-agungkan pengikutnya awal 1960-an. Bahkan, tokoh Lekra SW Kuntjahjo memuja Aidit dalam syairnya "mata Aidit seperti bulan".

Kegagalan kudeta PKI 1965 tak hanya membongkar yang tersembunyi. Para pengikut dan simpatisan juga melihat kelemahan pemimpin mereka. Salah taktik, salah strategi, salah kalkulasi yang selama itu dianggap tak mungkin. Pascakudeta PKI yang gagal itu, para pengikut PKI saling khianat dan fitnah yang mempercepat kehancuran PKI, tak ada tempat lagi bagi PKI yang atesis hidup di bumi Pancasila.

Tulisan Parker perkuat dokumen lain. Ketua Umum PKI Aidit sowan ke pemimpin Cina Mao Tse Tung beberapa bulan sebelum G30S/PKI meletus. Seperti ditulis pakar Asia Prof Victor Fie, pesan Mao pada Aidit agar bertindak cepat menghabisi jenderal pembangkang (AH Nasution, dll) harus dibunuh dalam Gestapu PKI 1965, tetapi justru Jenderal AH Nasution selamat.

Dokumen itu, antara lain, memuat dialog antara Mao dan Aidit. Mao: "Kamu harus bertindak cepat." Aidit: "Saya khawatir TNI AD jadi penghalang." Mao: "Habisi jenderal-jenderal reaksioner dalam satu kali pukul mereka akan menjadi seekor naga tanpa kepala yang tunduk pada perintahmu." Aidit: "Berarti kami harus membunuh banyak jenderal?" Mao: "Di Shensi Utara saya bunuh 20 ribu pembangkang dalam satu kali pukul." (Anatomi The Jakarta Coup, 1965, 26 April 1966).

Musuh PKI yang sangat sakti adalah Pancasila. Ia supremasi pemikiran intelektual dan moral juga role model generasi pendahulu. Generasi moral intelektual seperti Ahmad Dahlan, Agus Salim, Bagus Hadi Kusumo, Wachid Hasjim, Ki Hajar Dewantoro, Soepomo.

Bukti historis kecerdasan founding fathers. Dokumen nyaris sempurna, naskah Pembukaan UUD 1945 dengan asas kerohanian Pancasila. Gagasan besar Pancasila, dalam perkembangannya bukan hanya dasar NKRI, tapi juga ideologi yang dapat menyatukan bangsa Indonesia menghadapi berbagai tantangan dan ujian dari dalam dan luar negeri. Pancasila juga mampu menghadapi paham-paham besar, seperti kapitalisme, komunisme, liberalisme, individualisme, pluralisme, dan sekulerisme yang tak kenal lelah menggempur Indonesia.

Hal ini sangat bertentangan dengan pakar Barat, seperti Daniel Bell, Sidney Hook yang menyatakan kita tak perlu ideologi karena era ideologi telah mati? Inilah pesan sesat pakar Barat untuk melemahkan bangsa berkembang, terutama Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia yang dianggap Barat sebagai "musuh" masa depan? Pesan sesat Barat tentang tak perlu lagi ideologi muncul di paruh kedua abad XX.

Kini AS dan Eropa limbung dengan pengabaian ideologi yang melahirkan kebebasan tanpa batas. Pancasila mengatur kebebasan dan HAM sangat baik dituangkan dalam UUD 1945. Kebebasan dan HAM bangsa Indonesia mengikuti norma agama dan moral. Kebebasan di Indonesia dikunci dengan ajaran agama yang dianut bangsa Indonesia (Ketuhanan Yang Maha Esa).

Dalam fakta ini, masihkah terbersit di pikiran kita mau menghidupkan PKI walau dengan bentuk dan topeng lain? Masihkah terpikir kebebasan tanpa batas ala sekuler itu baik?

Termasuk bebas memutarbalikkan fakta sejarah G30S/PKI? Bahkan, anak cucu PKI mengaku sebagai korban minta rekonsiliasi dan kompensasi? Sebagai orang beriman penulis hanya sekadar mengingatkan fakta ilmiah ini. Semoga bermanfaat demi kejayaan NKRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar