Selasa, 07 Oktober 2014

TNI dan Unjuk Kekuatan Akbarnya

TNI dan Unjuk Kekuatan Akbarnya

J Susanto  ;   Staf pengajar Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Direktur Eksekutif Stratagem Indonesia
JAWA POS,  07 Oktober 2014




PERINGATAN hari jadi TNI kali ini, selain istimewa, sarat makna. Selain menghadirkan unjuk kekuatan terbesar sepanjang sejarah Indonesia merdeka, peringatan HUT ke-69 itu menandai babak baru kesiagaan alat pertahanan kita, menyusul tantangan dan dinamika kontemporer lingkungan eksternalnya.

Tak kurang dari 239 pesawat udara, 149 ranpur, 42 kapal perang, dan 18 ribu personel terlibat dalam acara akbar yang dipusatkan di Surabaya itu. Selain menyemarakkan peringatan hari jadi TNI, demonstrasi alutsista dengan masif tersebut secara khusus dimaksudkan sebagai unjuk kekuatan terbaru, menyusul pembangunan kekuatan pokok minimum sepuluh tahun terakhir. Pernyataan terbuka panglima TNI dalam geladi bersih beberapa waktu lalu secara tegas mengonfirmasi itu.

Itu menarik, mengingat sejatinya kita tidak terbiasa dengan unjuk kekuatan militer berskala besar seperti itu. Bahwa ada banyak apel kesiagaan atau latihan gabungan berskala besar itu benar, tetapi unjuk kekuatan berprofil tinggi yang berpeluang memperbarui persepsi kekuatan serta mengirimkan pesan kesiagaan dan efek gentar ke luar –yang diperlukan secara umum– tidak sering dijumpai.

Unjuk Kekuatan vs Mentalitas Gerilya

Sebagai bangsa yang menyusun alat pertahanannya dalam suasana gerilya dan masih mempertahankan mentalitas gerilya dalam cara pandang strategisnya, unjuk kekuatan berskala besar dan berdaya gentar ke luar seperti itu merupakan barang langka.

Tidak seperti bangsa imperial yang berorientasi ke luar dan terbiasa dengan permainan unjuk kekuatan demi meningkatkan daya gentar, sebuah bangsa yang menyusun alat pertahanannya dalam suasana gerilya anti-imperial, selain tumbuh dalam keterbatasan daya dukung, mendefinisikan diri dalam tujuan-tujuan pertahanan yang terbatas serta berorientasi ke dalam.

Sebagai konsekuensinya, alih-alih berfokus mengejar keunggulan persenjataan, mentalitas gerilya cenderung memusatkan perhatian pada upaya pertahanan wilayah yang lebih realistis, di mana kekurangan pada aspek perlengkapan berusaha ditutupi dengan pengembangan fungsi dan relasi sumber daya manusia.

Di satu sisi, itu mendorong pengembangan sumber daya manusia yang tanggap dan tangguh, kendati di sisi lain juga dapat menjadi disinsentif bagi pengembangan teknologi serta persenjataan kemudian hari. Sistem pertahanan rakyat semesta yang berkembang dalam fondasi pengalaman dan mentalitas gerilya di masa revolusi fisik untuk kurun yang lama turut mewarisi cara pandang itu, apalagi di tengah pembelokannya menjadi doktrin dwifungsi di bawah orde baru beberapa waktu lalu.

Reformasi dan Profesionalisme TNI

Tetapi, memasuki reformasi, seiring dorongan demokratisasi, upaya pengembalian profesionalitas tentara menguat. Tentara profesional bukan saja tentara reguler yang berbeda dari tentara gerilya yang cenderung tidak beraturan dan susah diduga, tetapi juga tentara yang –selain tangguh dalam resistansi wilayah– mampu memberikan efek gentar yang bisa melintas ke luar wilayah. Di sana, pembangunan fungsi dan relasi sumber daya manusia TNI perlu mendapatkan dukungan pembangunan kekuatan persenjataan yang tangguh.
Itu merupakan cara pikir tipikal reformasi terhadap TNI yang secara bersemangat ditangkap pemerintahan Yudhoyono, terlebih dalam periode kedua kepemimpinannya. Memanfaatkan peluang dari pertumbuhan GDP yang meningkat pada dekade kedua reformasi, pemerintahan Yudhoyono secara agresif mengakselerasi pembangunan kekuatan pokok minimum TNI. Selain menghasilkan pemenuhan lebih cepat target 30 persen kekuatan pokok minimumnya, akselerasi itu berpeluang memajukan finalisasi prosesnya dari target tahun 2024 menjadi 2019.

Unjuk kekuatan akbar TNI kali ini, selain menjadi kado terima kasih kepada pemerintahan Yudhoyono, secara domestik dimaksudkan untuk melaporkan kemajuan pembangunan kekuatan itu. Yang tidak cukup terungkap adalah imperatif tak terlihat di balik unjuk kekuatan tersebut, terutama dalam kaitan konstelasi geopolitik kawasan yang menghangat belakangan ini.

Meski tidak secara tersurat diungkapkan, sulit untuk tidak mengaitkan unjuk kekuatan akbar itu dengan dinamika kawasan yang menghangat belakangan ini. Di antara dinamika kawasan yang aktual belakangan ini, selain polemik perbatasan dengan Malaysia dan Australia yang laten, ialah soal kembalinya ancaman dari utara: Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Faktor Tiongkok dan Tantangannya

Menyusul manuver Tiongkok yang mengajukan klaim hak pencarian ikan atau fishing rights di kawasan sengketa di sebelah selatan perairannya, kemungkinan bagi sebuah aksi unilateral Tiongkok dalam menegakkan zona identifikasi pertahanan udara yang secara langsung mengancam kedaulatan Indonesia di perairan Natuna tampaknya bukan isapan jempol lagi, terlebih jika dikaitkan dengan fakta bahwa klaim Tiongkok itu dalam beberapa titik juga melewati wilayah Natuna yang kaya gas alam tersebut.

Sebagai alat pertahanan yang utama, TNI menyadari betul ancaman dari utara itu. Dalam berbagai kesempatan, para petinggi TNI tak jarang mengungkapkan kekhawatirannya soal itu. Tetapi, mereka juga menyadari bahwa akan kontraproduktif jika bereaksi berlebihan terhadap persoalan tersebut. Secara historis, Indonesia bukan pihak dalam sengketa wilayah di selatan perairan China dan melibatkan diri dalam persengketaan secara tergesa-gesa juga bukan tindakan bijaksana.

Pada kesempatan yang sama, di internal TNI menguat konsensus bahwa sebagai negara besar di kawasan yang menaruh kepentingan besar terhadap keamanan di sekitar perairan itu, Indonesia wajib menunjukkan kepada setiap negara yang berkepentingan agar menghormati posisinya. Di situlah pilihan pada unjuk kekuatan tidak langsung tetapi cukup menginformasikan kemajuan pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia menemukan relevansinya. Dipilihnya peringatan hari jadi TNI dan Kota Surabaya sebagai lokus unjuk kekuatan tersebut mengonfirmasi itu.

Berbeda dengan Pontianak yang terlalu dekat dengan China dan Malaysia atau Kupang yang terlalu dekat dengan Australia, Surabaya menyediakan jarak yang cukup untuk membuat unjuk kekuatan itu tidak terlalu provokatif bagi negara tetangga, tetapi cukup informatif bagi mereka. Seperti dijelaskan sebelumnya, itu adalah bagian dari kesiagaan preventif yang selektif dan harus dihindarkan dari kemungkinan memancing rebalancing yang kontraproduktif.

Di sisi lain, Surabaya sebagai kota terbesar kedua dan pusat Angkatan Laut yang penting, selain menyediakan dukungan infrastruktur yang diperlukan bagi unjuk kekuatan terbesar yang melibatkan semua matra, secara strategis mengaksentuasi perhatian dan kemauan politik domestik yang meningkat terhadap arti penting posisi Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Sampai di sini, selain menggarisbawahi kewaspadaan dini alat pertahanan kita terkait dengan tantangan lingkungan eksternalnya, unjuk kekuatan kali ini lebih jauh juga menegaskan tekad TNI untuk meningkatkan kepekaan seiring dengan pergeseran dinamikanya. Mempertimbangkan tantangan dinamika kawasan yang kian menyinggung kedaulatan Indonesia sebagai poros maritim dunia, kewaspadaan dan kepekaan itu tentu layak diapresiasi.

Dirgahayu Tentara Nasional Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar