Krisis
Air Bersih
Toto Subandriyo ; Ketua Forum Pengelolaan Hutan
Bersama Masayarakat Kab Tegal
|
KORAN
JAKARTA, 06 Oktober 2014
SETIAP
hari Senin pada pekan pertama bulan Oktober warga dunia selalu memperingati
Hari Habitat Sedunia (World Habitat Day)
yang ditetapkan PBB sejak 1985 untuk untuk merefleksikan kembali tentang
permukiman manusia sebagai hak dasar. Selain itu, juga bertujuan mengingatkan
warga dunia untuk bertanggung jawab terhadap masa depan habitat manusia yang
sangat memprihatinkan.
Belum
lama ini, PBB melaporkan jumlah penduduk dunia yang bermukim di perkotaan 3,3
miliar jiwa. Populasi perkotaan naik 50 persen, dengan perincian
reklasifikasi perdesaan menjadi area perkotaan (25 persen) dan karena
urbanisasi (25%).
Setiap
detik ada penambahan dua penduduk perkotaan. Pertambahan jumlah penduduk
perkotaan tercepat terjadi di Asia dan Afrika. Pada 2030, PBB memprediksi
jumlah penduduk perkotaan dua benua itu dua kali lipat angka 2000. Sekitar 95
persen pertumbuhan penduduk kota pada dekade-dekade mendatang akan terjadi
pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Pesatnya
pertumbuhan penduduk kota tersebut membawa konsekuensi makin beratnya beban
negara dalam menyediakan berbagai kebutuhan sosial dasar penduduk seperti air
bersih dan sanitasi. Banyak negara utamanya di negara-negara berkembang tidak
mampu menyediakan kebutuhan hidup paling hakiki tersebut.
Saat
ini, terdapat 827,6 juta pemukim di areal kumuh (slums) tanpa air minum dan
sanitasi memadai sehingga banyak penyakit seperti kolera, malaria, dan diare.
Maka, penting masyarakat internasional memusatkan perhatian terhadap
kelestarian sumber daya alam dan melindungi lingkungan perkotaan dari dampak
pertumbuhan penduduk perkotaan yang sangat cepat, industrialisasi, serta
perubahan iklim.
Air
sebagai kebutuhan yang tak tergantikan (nonsubstitution
good). Dari sudut pandang ekonomi, dikenal istilah paradok air mutiara (water-diamond paradox). Air yang
begitu esensial bagi kehidupan manusia dinilai sangat murah, sedangkan
mutiara yang hanya sebatas perhiasan dinilai sangat mahal.
Saat
ini, air di planet Bumi secara kuantitas maupun kualitas sangat mencemaskan.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) telah mengingatkan tahun 2025 akan
ada 1,8 miliar penduduk di daerah langka air secara absolut.
Bumi
makin limbung karena manusia tak henti-hentinya merusak alam. Pemanasan
global dan industri memperparah kondisinya. PBB memprediksi bila kondisi
seperti ini terus berlanjut, tahun 2030 dunia mengalami krisis air bersih.
Dalam kongres Water Summit di Budapest, Hungaria, tahun lalu, Sekjen PBB, Ban
Ki-Moon, mengingatkan manusia tidak boros dalam menggunakan sumber air. Dia
juga mengimbau semua pihak bekerja sama untuk mencari solusi berkelanjutan.
Saat
ini, kebanyakan kota besar Indonesia selalu kedodoran dalam memenuhi
kebutuhan penduduk akan air bersih dan sanitasi. Pemerintah DKI Jakarta baru
mampu memasok sekitar 62 persen dari kebutuhan air bersih masyarakat. Pelayanannya
pun belum sesuai dengan standar minimal.
Untuk
mengatasi hal itu, pemerintah kota di Indonesia dapat mencontoh berbagai
pendekatan kota di berbagai negara seperti Acra (Ghana), Alexandria (Mesir),
Belo Horizonte (Brasil), Granada (Nikaragua), Lima (Peru), dan Zaragoza
(Spanyol). Antara lain dengan meningkatkan akses kepada sistem suplai air,
meningkatkan akses ke fasilitas sanitasi, pengajuan proposal untuk warga
miskin (pro-poor water proposals),
partisipasi sosial masyarakat, manajemen permintaan, minimalisasi kehilangan,
serta meningkatkan kesadaran melalui pendidikan.
Pilot
proyek di Alexandria, Mesir, memfokuskan pada perbaikan infrastruktur dasar
air minum, saluran drainase, dan mengimplementasikan manajemen air perkotaan
yang terintegrasi, di antaranya menggunakan peralatan penghemat air,
memanfaatkan sumber air alternatif untuk pengamanan kualitas air minum dengan
memanfaatkan air tanah buat irigasi areal hijau.
Hujan
Upaya
lain meminimisasi kehilangan air dari jaringan pipa dengan memperbaiki dan
memasang instalasi pengukur meter air baru. Secara reguler selalu dilakukan
monitoring terhadap produksi air, pengiriman ke lain wilayah, monitoring
permintaan, dan kehilangan air.
Permasalahan
air di perkotaan diatasi juga dengan memanen hujan (rain harvesting). Anne Frank and Pedro Guerra Schools di Belo
Horizonte, Brasil, memfokuskan pada penyimpanan dan penggunaan air hujan
untuk irigasi kebun, demplot komoditas pertanian, serta menyiram halaman
sekolah. Demonstrasi ini sangat potensial menjadi ajang pendidikan para siswa
menyangkut berbagai isu tentang air (konsumsi, pemanfaatan, penghematan,
serta kualitas air).
Memanen
air hujan juga dilakukan di kebun produksi yang bisa melibatkan para petani
dewasa berpenghasilan rendah. Efisiensi dapat dilakukan di taman wisata
seperti dilakukan di Lagoa do Nado Park, Belo Horizonte, Brasil. Cara ini
sangat efektif memberi pembelajaran publik karena pengunjung taman sangat
banyak.
Pemerintah
Kota Lima, Peru, menekankan pemanfaatan limbah cair untuk mengairi areal
hijau di perkotaan melibatkan warga sehingga secara tidak langsung dapat
meningkatkan kepedulian dalam melindungi lingkungan. Apalagi jika dilakukan
di kota-kota yang nota bene memunyai curah hujan sangat minim.
Saat ini
masyarakat masih memandang air sebagai sumber daya alam yang tidak terbatas
dan bersifat given dari alam. Paradigma ini bukan saja membuat pola hidup
sangat boros air, tetapi juga tidak harmonis dengan alam yang telah secara
arif menyediakan sumber air. Jika tingkat degradasi hutan terus berlanjut,
diperkirakan tahun 2015, yang tinggal beberapa bulan lagi, Pulau Jawa
mengalami defisit air 134,1 miliar meter kubik per tahun.
Gerakan
hemat air yang pernah dikampanyekan pemerintah perlu digalakkan kembali. Ini
dapat dimulai dari hal-hal paling kecil, misalnya memanfaatkan ulang air
buangan untuk menyiram tanaman (gardening)
atau mengguyur toilet (flushing)
sampai pada kegiatan ekonomi yang sangat banyak membutuhkan air di sektor
pertanian. Kampanye more crop per drop
perlu dimasyarakatkan kepada petani dengan lebih serius melalui teknologi
budi daya system of rice
intensification (SRI).
Penghijauan
lahan secara komprehensif dan berkelanjutan bisa dijalankan juga. Budaya
“muda menanam, tua memanen” perlu digalakkan pada anak usia dini. Penetapan
Desember sebagai “bulan menanam” perlu dijadikan gerakan nasional
berkelanjutan, bukan hanya seremonial. Upaya ini telah dilakukan Korea
Selatan sejak 1949 dengan menetapkan 5 April sebagai Hari Menanam Nasional.
Hasilnya, kerusakan lingkungan akibat Perang Korea dapat dipulihkan dengan
cepat.
Kota yang lebih manusiawi menjadi impian semua. Urbanisasi yang tak
terkendali akan menjadi batu sandungan dalam mewujudkannya. Tanpa sarana
infrastruktur kota yang memadai, untuk air bersih dan sanitasi, wajah kota
jauh dari manusiawi. Dia akan selalu bergelut dengan berbagai problematika
sosial yang berdampak pada rendahnya kualitas hidup warga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar