Rambu-Rambu
Sektor Keuangan
Ahmad Erani Yustika ; Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya, Direktur
Eksekutif Indef
|
JAWA
POS, 06 Oktober 2014
OTORITAS
Jasa Keuangan (OJK) akhirnya membuat kebijakan yang lumayan tegas soal
pengaturan sektor keuangan. Pertama, kebijakan pembatasan suku bunga simpanan
maksimal 225 basis poin dari BI rate (saat ini BI rate 7,5 persen). Untuk
bank BUKU (bank umum kegiatan usaha) III antara Rp 5 triliun–Rp 30 triliun,
maksimal suku bunga 9,75 persen dan bank BUKU IV (di atas Rp 30 triliun)
maksimal 9,50 persen. Di luar itu, sebagai konsekuensi pembatasan suku bunga
simpanan, OJK juga meminta perbankan menurunkan bunga kredit segera setelah
kebijakan pembatasan bunga simpanan diterapkan. Kedua, kebijakan pengawasan
terintegrasi perusahaan konglomerasi sektor keuangan akan diterapkan mulai
tahun depan. Meskipun kebijakan itu belum disusun secara penuh, sekurangnya
sudah ada rencana terperinci dan terjadwal sehingga tahun depan lekas
dieksekusi. Masyarakat laik menyambut kabar gembira itu karena telah lama
operasi sektor keuangan dibiarkan berlaku secara leluasa sehingga mengisap
nasabah dan perekonomian secara keseluruhan.
Kompetisi Bank
Operasi
perbankan di Indonesia selama ini secara umum dicirikan dengan deskripsi
berikut. Meskipun jumlah bank sangat banyak, mencapai 120 bank, sebetulnya
hanya dikuasai oleh 10 bank. Sepuluh besar terbesar menguasai sekitar 62
persen dari total aset bank (juga dana pihak ketiga/DPK dan penyaluran
kredit). Dengan situasi itu, bisa dibayangkan persaingan antarbank menjadi
sangat berat, khususnya bagi bank menengah dan kecil. Sepuluh bank tersebut
dengan mudah menjadi ”price-maker” sehingga bank-bank kecil harus mengikuti
arah kebijakan bank besar meskipun dengan napas tersengal-sengal. Berikutnya,
struktur DPK di perbankan sangat timpang. Sebanyak 0,05 persen rekening (yang
memiliki simpanan di atas Rp 5 miliar) menguasai 45 persen dana pihak ketiga,
sedangkan 97,5 persen rekening (dengan simpanan maksimal Rp 100 juta) hanya
menguasai 15 persen dari total DPK. Akibatnya, bank berkompetisi amat sengit
untuk menarik nasabah kakap (di atas Rp 5 miliar).
Bank-bank
besar mempunyai posisi yang menguntungkan karena dapat memberikan aneka
insentif kepada nasabah untuk menyimpan uangnya di bank tersebut. Mereka
dapat menggelontorkan rupa-rupa hadiah dan iklan yang agresif untuk memungut
para nasabah. Mereka bisa melakukan itu karena akumulasi laba yang sudah diperam
selama ini. Di luar itu, dengan profit yang besar pula mereka terus menambah
fasilitas atau infrastruktur perbankan (yang memang positif bagi nasabah)
seperti pembayaran yang cepat, kantor yang nyaman, atau layanan ATM yang
terserak di banyak sudut kota. Akibatnya, bank-bank kecil kian tersudut
mengikuti pola operasi bank besar. Sementara itu, pertarungan menarik nasabah
kakap biasanya dilakukan dengan memberikan bunga khusus (yang tinggi).
Implikasinya, bank juga harus mengenakan bunga kredit yang tinggi untuk
menutup biaya bunga simpanan itu sehingga secara keseluruhan ekonomi menjadi
berbiaya tinggi.
Sekadar
ilustrasi, di Singapura, Malaysia, dan Thailand suku bunga hanya 2–4 persen.
Artinya, suku bunga di Indonesia lebih tinggi tiga kali lipat. Hal itu masih
ditambah dengan ketegaan bank yang mengenakan NIM (net interest margin)
sekitar 6 persen, padahal di negara tetangga di bawah 3 persen. Praktik
itulah yang membuat laba perbankan di Indonesia sangat tinggi meskipun kredit
yang disalurkan tidak terlalu besar. Para ekonom sudah berteriak lama soal
itu serta tentu saja para nasabah (khususnya investor). Investor terbebani
dengan biaya bunga tinggi sehingga ongkos investasi menjadi mahal. Sementara
itu, para ekonom melihat bahwa praktik tersebut membuat pertumbuhan ekonomi
sulit digenjot dan kompetisi ekonomi menjadi lemah. Selebihnya, keadilan
ekonomi juga sulit diselenggarakan, baik dalam konteks persaingan antarbank
maupun perlakuan diskriminatif kepada deposan besar dan kecil. Praktik itu, rasanya,
hanya berlangsung di sini dan sedikit negara lain (seperti Brasil).
Konglomerasi Sektor Keuangan
Selanjutnya,
konglomerasi industri keuangan juga patut diwaspadai karena memiliki potensi
moral hazard, persaingan tidak sehat, dan ketidakadilan ekonomi. Saat ini
terdata oleh OJK 31 perusahaan konglomerasi industri keuangan yang menguasai
70 persen aset industri keuangan yang sebesar Rp 5.300 triliun. Perusahaan
konglomerasi itu terdiri atas entitas utama, perusahaan anak, dan korporasi
terafiliasi beserta perusahaan anaknya. Di antara 31 perusahaan itu, 10
konglomerasi berbentuk vertical group, 13 horizontal group, dan 8 mixed
group. Rencana OJK membangun pengawasan integratif terhadap perusahaan
konglomerasi industri keuangan itu jelas langkah terpuji, namun pasti tidak
mudah karena kompleksitas instrumen sektor keuangan yang makin rumit. Karena
itu, model pengawasan harus dibuat sedetail dan selengkap mungkin sehingga
lubang kesempatan penyimpangan dapat ditutup agar kepentingan masyarakat dan
makroekonomi nasional terlindungi.
Di luar dua problem itu, tentu masih banyak lagi yang perlu diurus OJK
untuk memastikan bahwa sektor keuangan di tanah air berjalan lurus sesuai
harapan. Perlu juga disampaikan, tidak seluruh operasi sektor keuangan telah
bengkok. Sebab, selama ini banyak kontribusi penting yang mereka berikan
kepada perekonomian nasional, semacam akses keuangan masyarakat yang makin
bagus, fasilitasi transaksi, dan pendalaman kegiatan ekonomi. Sungguhpun
begitu, watak sektor keuangan yang cenderung eksploitatif, mengambil laba
yang melebihi kewajaran, dan diskriminasi yang terus berlangsung mesti segera
diakhiri. Korporasi memang harus untung, tapi tak boleh menabrak rambu-rambu
kepatutan dan etika bisnis. Sebagian praktik tersebut bisa dijalankan secara
leluasa karena otoritas yang lembek. Karena itu, kebijakan OJK tersebut
penting bukan semata sebagai sinyal ikhtiar mengatasi persoalan, tapi
menunjukkan bahwa otoritas memiliki sikap yang tegas untuk menyelamatkan
kepentingan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar