Minggu, 12 Oktober 2014

Target Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak

             Target Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak

Dina Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO,  08 Oktober 2014

                                                                                                                       


Umumnya isu peningkatan kesehatan ibu dan anak dianggap sebagai urusan praktisi dan ahli di bidang medis dan layanan kesehatan publik. Pandangan itu keliru karena penanganan mutu layanan ibu dan anak telah menjadi sorotan perhatian para praktisi diplomasi dan politik.

Hal ini terutama karena target perbaikan layanan kesehatan ibu dan anak merupakan bagian dari komitmen negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) dalam Millennium Development Goals (MDGs). MDGsadalahbentukperhatiandan upaya saling bantu antarnegara dan dengan mitranya dalam berbagai hal. Di antaranya mengurangi dan menangani problem kemiskinan dan kelaparan, kurangnya akses pendidikan dasar, ketidakberdayaan perempuan, kematian dan kurangnya tingkat kesehatan ibu anak, problem HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain, serta perbaikan lingkungan hidup.

Waktu dicanangkan pada tahun 2002, MDGs ditargetkan untuk tercapai pada 2015. Hasilnya, meskipun ada target MDGs yang relatif tercapai seperti pengurangan angka kemiskinan, secara umum ada kesenjangan antarnegara dalam pencapaian target. Selain itu, ada lebih banyak negara yang gagal memenuhi target, termasuk Indonesia. Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia menunjukkan angka kematian ibu meningkat sejak 2007, dari 228 per 100.000 kelahiran menjadi 359 per 100.000 kelahiran di tahun 2012.

Untuk angka kematian anak, survei 2012 menunjukkan kematian anak di bawah usia 5 tahun per 100.000 kelahiran hidup turun menjadi 40, tetapi ini masih lebih tinggi dari target 32 per 100.000 kelahiran hidup atau target MDGs 23 per 100.000 kelahiran hidup. Tambahan lagi, laporan Riskesdas 2013 dari Kementerian Kesehatan menunjukkan kasus kurang gizi pada balita tergolong tinggi (lebih dari 30%) di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua Barat.

Selain itu, ternyata ada banyak balita Indonesia mengalami gangguan pertumbuhan badan sehingga lebih pendek dari tinggi badan seharusnya (stunting), bahkan mencapai 50% di NTT. Data tersebut sangat memprihatinkan karena ternyata akar masalahnya bukan semata urusan medis. Ada persoalan sosial dan politik yang patut mendapatkanperhatiankhusus. Pertama, kalau saja penduduk Indonesia punya akses yang sama dalam hal layanan kesehatan yang bermutu, dengan tenaga kerja medis yang andal dan memadai dari segi jumlah serta sebaran, situasi Indonesia akan lebih baik.

Hal ini terkait dengan data bahwa problem utama kematian ibu melahirkan di Indonesia ternyata adalah pendarahan pascamelahirkan, pre-eclampsia, dan infeksi. Sejumlah studi tentang hal ini menunjukkan komplikasi semacam itu sesungguhnya dapat terdeteksi selama masa kehamilan bila tenaga medisnya terlatih untuk mengenali masalah sedini mungkin dan mengantisipasinya dengan baik. Untuk kematian balita, jika bayi dan ibu punya akses informasi dan layanan memadai pascakelahiran, sejumlah kasus infeksi dan gangguan kesehatan dapat dihindari.

Kedua, kalau saja penduduk Indonesia punya akses yang sama terkait gizi, tak perlu ada kasus anemia dan pendarahan pada ibu atau anak-anak yang rentan penyakit dan mengalami stunting. Hal ini menyangkut kebijakan pangan serta pendidikan/penyuluhan dan lapangan kerja bagi orang tuanya. Ketiga, kalau saja semua penduduk Indonesia punya akses yang sama pada air bersih dan sarana sanitasi serta kesehatan lingkungan, sejumlah penyakit dan kematian akibat infeksi dapat terhindari. Ketiga persoalan tadi tidak bisa semata disikapi praktisi kesehatan.

Sebab ketersediaan akses kesehatan, tenaga medis, sarana air bersih dan sanitasi, serta gizi adalah dampak dari bentuk kebijakan pemerintah, yakni terkait penyediaan jaminan sosial, kecukupan alokasi dana untuk kegiatan promotif preventif dalam anggaran belanja kesehatan, serta bentuk insentif bagi pemerintah daerah dan swasta untuk merespons perkembangan permintaan (demand) dari masyarakat. Di tataran diplomasi, patut disadari pula ada desakan dari negara-negara tetangga melalui kerja sama ASEAN untuk mengembangkan program layanan kesehatan lintas batas negara. Para tenaga medis dari negara-negara tetangga bisa memberikan layanan bagi pasien di Indonesia.

Dalam kerangka integrasi kawasan untuk membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN, sektor industri kesehatan termasuk dalam sektor yang diprioritaskan untuk didahulukan integrasinya sebelum tahun 2015. Untuk itu sedang didorong harmonisasi standar layanan kesehatan, model registrasi, evaluasi, dan monitoring, serta dibukanya sejumlah kesepakatan rekrutmen tenaga medis dari negara tetangga. Artinya problem di Indonesia telah menjadi peluang bagi negara-negara lain untuk menawarkan jasanya dalam memperbaiki situasi.

Padahal seperti tadi sudah disampaikan, akar masalahnya justru di dalam negeri, yakni pada kelambanan mengembangkan sistem jaminan sosial, memperbaiki akses gizi bagi ibu dan anak, serta sarana air bersih dan sanitasi. Dalam satu penelitian saya bersama dua ekonom, Faisal Basri dan Gatot Arya Putra, ditemukan selama periode 10 tahun terakhir tidak terjadi perbedaan kebijakan terkait kesehatan dibandingkan periode kepresidenan terdahulu. Pengeluaran pemerintah untuk kesehatan tidak bertambah. Akibatnya, ruang gerak untuk perbaikan layanan sangatlah terbatas.

Meskipun ada peningkatan jumlah imunisasi, peningkatan tersebut lebih rendah dibandingkan masa-masa terdahulu. Dalam pengamatan saya, pemerintah pusat gagal membangun kerja sama dengan pemerintah daerah dalam mendesakkan efektivitas sejumlah program, khususnya terkait akses infrastruktur dan fasilitas kesehatan. Akibatnya, otonomi daerah kerap dijadikan alasan bagi keduanya untuk menerima saja kurang optimalnya layanan kesehatan primer. Padahal masih banyak kecamatan di Indonesia yang tidak punya pus-kesmas dan kalaupun ada, tenaga medis dan alat-alat kesehatannya jauh dari lengkap.

Dari sana dapat disimpulkan peningkatan kesehatan ibu dan anak di Indonesia sangatlah tergantung pada komitmen pemerintah. Semoga dorongan dari negara-negara tetangga, baik yang ingin menarik pasien Indonesia untuk berobat ke negaranya ataupun yang ingin menempatkan tenaga medisnya di klinik dan rumah sakit di Indonesia, membuka mata pemerintah di segala tingkatan bahwa kita tak punya banyak waktu untuk membenahi layanan kesehatan di Indonesia. Semoga pembenahan itu menjadi prioritas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar