Takarub
Sosio-religius dan Politik
Azyumardi Azra ; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta;
Visiting Professor Chinese University of Hong Kong
|
KOMPAS,
04 Oktober 2014
SEJARAH dan ajaran normatif terkait hari raya Idul Adha umumnya telah
diketahui umat Islam. Begitu pula dengan kaitan antara Idul Adha dengan Idul
Kurban dan Idul Haji. Ketiga hari raya ini berjalin berkelindan dalam
semangat, makna, dan hikmahnya, baik untuk kehidupan pribadi maupun
bermasyarakat dan berbangsa-bernegara.
Secara sosial-keagamaan, hari raya ini ditandai penyembelihan hewan
kurban, seperti kambing dan sapi, untuk dibagikan kepada fakir, miskin, dan
pihak lain yang berhak menerima.
Pada saat yang sama, hari raya ini merupakan puncak prosesi ibadah haji
di Makkah al-Mukarramah. Dengan menjalankan semua ritual yang ditentukan
fikih haji, mereka yang menunaikan ibadah haji diharapkan dapat mencapai haji
mabrur—haji yang mendatangkan lebih banyak lagi birr (kebaikan) dalam
kehidupan.
Tradisi berkurban dengan hewan sembelihan bukan unik milik Islam dan
kaum Muslimin-Muslimat. Dalam konteks Islam, ajaran untuk melaksanakan kurban
bersumber dari Nabi Ibrahim dengan putranya, Nabi Ismail. Ibrahim yang juga disebut
sebagai Abraham merupakan nabi yang mewariskan Abrahamic religions, yaitu Yudaisme, Kristianitas, dan Islam.
Karena itu, dalam kajian agama (religious
studies), ketiga agama ini sering disebut siblings (kakak-adik), yang di samping memiliki banyak kesamaan (commonalities), juga mengandung
perbedaan tertentu. Karena itu pula para penganut ketiga agama yang sering
disebut sebagai revealed religions
(agama wahyu) seyogianya dapat hidup berdampingan secara damai dengan lebih
banyak menekankan kesamaan-kesamaan daripada perbedaan.
Kosakata kurban yang berasal dari bahasa Arab qurban memiliki banyak
kata terkait yang sudah menjadi kosakata Indonesia seperti taqarrub (takarub/saling mendekat) dan
aqrab (akrab). Semua kosakata ini
tidak hanya memiliki arti keagamaan, tetapi juga makna sosial dan politik.
Dalam konteks itu, baik ibadah kurban maupun ibadah haji adalah ritual
untuk mencapai taqarrub ila Allah—mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Untuk taqarrub
ila Allah, kaum Muslimin dan Muslimat memberikan pengorbanan dengan
mengeluarkan sebagian kekayaan yang mereka miliki.
Untuk naik haji, mereka mengorbankan dana puluhan juta rupiah, yang
bukan tidak sering diperoleh setelah menabung puluhan tahun. Begitu juga
ketika menjalankan ibadah kurban yang wajib bagi setiap Muslimin-Muslimat
yang mampu, mereka juga mengorbankan dana jutaan rupiah.
Dengan kemampuan melakukan pengorbanan harta benda itu, kaum Muslimin
dan Muslimat Indonesia patut bersyukur menjadi anak negeri ini. Kenapa?
Berkat Indonesia yang damai dan stabil, ekonomi bisa tumbuh cukup baik.
Kaum Muslimin dan Muslimat negeri ini adalah penerima manfaat terbesar
(largest beneficiaries) dari
peningkatan ekonomi dan sosial bangsa Indonesia. Karena itu, mengimpor
kekacauan seperti dari kawasan NIIS, misalnya, ke Indonesia tidak bisa lain,
kecuali adalah satu bentuk tindakan kufur nikmat.
Hasil Indonesia yang damai dan stabil terlihat jelas. Karena kemampuan
ekonomi yang terus meningkat, daftar tunggu untuk berangkat haji berkisar 10
sampai 17 tahun—tergantung dari daerahnya. Karena itu, boleh jadi menjadi
”wajib” hukumnya bagi mereka yang sudah naik haji untuk tidak lagi mendaftar
pergi haji; memberikan kesempatan kepada mereka yang belum pernah naik haji.
Dalam situasi seperti itu, bisa dipahami kian banyak Muslimin Indonesia
yang melaksanakan ”haji kecil” yang populer sebagai umrah. Sepanjang tahun di
luar musim haji, mereka yang punya istitha’ah (kemampuan) itu dapat
melaksanakan umrah.
Pada saat yang sama, jumlah hewan kurban sembelihan juga meningkat
tajam. Hal ini terkait banyak dengan peningkatan lembaga filantropi Islam,
yang mampu mengumpulkan dana dan hewan kurban dalam jumlah yang terus
bertambah setiap tahun. Hasilnya, kian meningkat pula pemerataan distribusi
hewan kurban ke lingkungan masyarakat fakir miskin yang hampir tidak pernah
makan daging.
Dengan demikian, ibadah haji dan ibadah kurban untuk taqarrub ila Allah sekaligus menjadi taqarrub ila al-nas—saling mendekat
dan akrab di antara sesama manusia. Ibadah kurban, sesuai dengan kandungan
makna kurban, juga bertujuan membuat seseorang lebih qarib dengan Tuhan dan
sekaligus dengan manusia lain.
Hewan sembelihan kurban mendekatkan hubungan antarmanusia; antara
mereka yang memiliki kelebihan rezeki dan harta dengan mereka yang fakir,
miskin, dan nestapa. Inilah takarub sosio-religius yang terlihat terus
meningkat dalam kehidupan bangsa.
Takarub
sosial-politik
Semangat berkurban serta taqarrub
ila al-nas dan akrab di antara sesama Muslim dan anak bangsa lain
semestinya juga terwujud dalam kehidupan sosial politik. Jika taqarrub ila
al-nas tidak terwujud dalam kehidupan berbangsa-bernegara, bisa dipastikan
terwujudnya situasi yang tidak kondusif bagi masa depan Indonesia yang
demokratis, berharkat, bermartabat, dan dihormati bangsa-bangsa lain.
Mengamati perkembangan sosial-politik bangsa belakangan ini, orang
dengan mudah bisa melihat merosotnya semangat dan aktualisasi taqarrub ila
al-nas dalam kehidupan sosial politik. Justru yang terjadi adalah sebaliknya;
yaitu kian meningkatnya diskrepansi dalam kesediaan memberikan pengorbanan
untuk kemajuan kehidupan bangsa.
Merosotnya semangat berkurban untuk kepentingan warga bangsa terlihat
misalnya dalam kasus penetapan UU Pilkada pada 26 September lalu. Penetapan
UU Pilkada ini tidak lain adalah pengambilalihan hak dan kedaulatan rakyat (al-hakimiyyah al-ra’iyah) untuk
memilih pemimpin daerah mereka secara langsung.
Kedaulatan rakyat justru dikorbankan untuk kepentingan politik oligarki
partai. Hasilnya, yang kelihatan kian menguat adalah ”kedaulatan partai” (al-hakimiyyah al-hizbiyyah) yang
membuat partai teralienasi dari rakyat.
Dengan demikian, merupakan kebutuhan urgen untuk segera membangun
kembali takarub sosial-politik. Untuk itu perlu kesediaan mengurangi egoisme
dan sektarianisme politik yang bernyala-nyala; dan sebaliknya membangun
kesediaan berkorban untuk kepentingan rakyat dan negara-bangsa lebih besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar