Solusi
Tuntas Utang Negara
Tanri Abeng ; Mantan Menteri Negara Pendayagunaan
BUMN;
Rektor Tanri Abeng University
|
KOMPAS,
10 Oktober 2014
PRESIDEN
Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan RUU APBN 2015 sebesar Rp 20.020 triliun,
naik signifikan Rp 1.800 triliun dibandingkan dengan APBN sebelumnya. Maka,
RUU APBN 2015 itu pun banyak mengundang kritik. Apalagi anggaran subsidi
membengkak menjadi Rp 443 triliun. RUU APBN yang menyisakan ruang gerak
fiskal sangat sempit ini bukan tidak mungkin akan memaksa Joko Widodo
memangkas subsidi di beberapa sektor dan kembali meminjam dari kreditor luar
negeri. Setiap kali bergulat dengan APBN, selalu saja fokusnya adalah masalah
subsidi, defisit neraca perdagangan, dan defisit neraca pembayaran. Seolah
negara tak mampu keluar dari masalah utang dan defisit.
Mungkinkah
Indonesia hidup tanpa utang? Jawabnya, mungkin. Kita sebetulnya memiliki
solusi tuntas, tetapi solusi itu tak pernah kita terapkan.
Saya
teringat saat Presiden Soeharto membungkuk di depan Michelle
Camdessus—Managing Director IMF saat itu—dan menandatangani letter of intent
(LOI) bantuan dana pada 15 Januari 1998 yang kemudian mendikte perekonomian
kita. Seusai tanda tangan, Pak Harto tampil di televisi mengatakan, ”Jangan
takut utang. Kita masih punya banyak BUMN.”
Kalimat
itu terkesan sederhana dan banyak orang mengabaikannya. Padahal, justru di
situlah sebetulnya solusi tuntas terhadap utang negara bisa ditemukan.
Pak Harto
berani menandatangani LOI IMF karena ada 158 BUMN yang ia andalkan. Inilah
landasan pembentukan Kementerian Pendayagunaan BUMN pada Kabinet Pembangunan
7. Saya ditunjuk sebagai Menteri BUMN untuk menciptakan nilai BUMN sebelum
diprivatisasi untuk membayar utang negara.
Hadapi ”pengadilan”
Pada
Juli 1999, saya ke Washington DC, Amerika Serikat, untuk mencari dukungan
Bank Dunia dan Pemerintah AS. Ternyata di sana saya dihadapkan pada
”pengadilan” Dewan Direksi IMF, Bank Dunia, bahkan pejabat-pejabat Pemerintah
AS. Mereka menekan saya agar semua BUMN dijual dengan dalih, ”The government should have no business to
be in business.”
Saya
melawan mati-matian. Saya jelaskan kepada mereka bahwa tidak ada satu
perusahaan pun di Indonesia yang mampu membeli BUMN karena semua masuk ”ICU”
di Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Saya juga menjelaskan bahwa
Pemerintah Indonesia memiliki cetak biru (blue
print) peningkatan nilai BUMN melalui program restrukturisasi dan
profitisasi.
Program
restrukturisasi dan profitisasi akan dijalankan dengan budaya korporasi agar
BUMN kita dapat menjadi pelaku ekonomi andal, bernilai tinggi, dan menjadi
countervailing power dalam peta persaingan dunia demi kepentingan nasional,
sekaligus membayar utang luar negeri melalui program privatisasi.
Dibuatlah
strategi atau peta jalan (road map)
agar semua BUMN berfungsi seperti yang direncanakan. Inti dari strategi itu
adalah korporatisasi, restrukturisasi, dan profitisasi, baru setelah itu
memprivatisasi sejumlah BUMN yang telah ditingkatkan nilainya. Hasilnya harus
digunakan membayar utang negara.
Sejak
saya meninggalkan kursi Menteri Negara Pendayagunaan BUMN, terjadi tujuh kali
pergantian Menteri BUMN: Laksamana Sukardi, Rozi Munir, Laksamana Sukardi,
Sugiharto, Sofyan Djalil, Mustafa Abubakar, Dahlan Iskan. Dalam tempo 14
tahun ada tujuh menteri BUMN!
Masterplan
BUMN yang dibuat tahun 1999 itu berpola value creation melalui sectoral
holding. Dalam masterplan tersebut ditetapkan bahwa 10 tahun setelah
implementasi (berarti 2010), tidak perlu ada lagi Kementerian BUMN, perannya
diganti oleh Badan Pembina BUMN. Badan ini akan bekerja mempersiapkan
pembentukan National Holding Company dengan 10 sectoral holding tahun 2015.
Maka,
akan terbentuk yang disebut Indonesia Incorporated dengan kapasitas, skala,
dan jaringan dahsyat serta berkemampuan jadi global player, sekaligus sebagai
countervailing power yang disegani dan mampu berhadapan dengan asing dan
swasta besar.
Jika
semua itu terjadi, dalam 5-7 tahun ke depan utang negara lunas dan malah ada
tambahan dari pajak dan dividen yang bisa memperkuat APBN hasil dari
profitisasi.
Mari
kita lihat kinerja BUMN. Tahun 2013, keuntungan bersih dari 141 BUMN adalah
Rp 108,07 triliun atau setara 9,23 miliar dollar AS. Angka ini masih terlalu
kecil jika dibandingkan dengan kapasitas sesungguhnya dari BUMN kita andai
saja kita mengikuti peta jalan 1999 itu.
Sebetulnya
dengan peningkatan kapasitas dan skala BUMN melalui holdingisasi saja, negara
sudah tak perlu lagi berutang. Bandingkan dengan kinerja satu BUMN Malaysia,
Petronas, yang menyumbang 40 persen APBN Malaysia dengan keuntungan bersih
20,4 miliar dollar AS, lebih dari dua kali keuntungan 141 BUMN kita tahun
2013. Bandingkan juga dengan 128 BUMN Tiongkok yang mencetak 208 miliar
dollar AS, lebih besar daripada APBN kita 2015.
Pertanyaannya,
maukah kita terbebas dari utang secara tuntas? Atau, kita sengaja menjerat
diri dalam utang luar negeri dengan tidak mau memberdayakan BUMN? Masalah
sesungguhnya memang bukan apakah kita mampu atau tidak mampu membayar lunas
utang negara (sebab kita mampu), melainkan kita mau atau tidak mau
melakukannya.
Setelah
mendengar presentasi Presiden SBY di Sidang Paripurna DPR-DPD pada 16 Agustus
lalu, saya merenung lagi: apa yang harus dilakukan presiden RI ketujuh dan
wapresnya?
Sarat muatan politik
Terlalu
lama jejak langkah kita sarat dengan muatan politik. Sekarang saatnya kita
tinggalkan semua permainan politik itu dan bersungguh-sungguh membereskan
utang negara secara tuntas.
Saya
mengusulkan agar dalam menyusun Program 100 Hari, presiden dan wapres
terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla mencanangkan Solusi Tuntas Utang Negara
dengan tahap-tahap.
Membentuk
dan memberdayakan lima sectoral holding, yaitu sektor (1) energi dan
pertambangan, (2) perbankan dan jasa keuangan, (3) transportasi,
infrastruktur dan telekomunikasi, (4) agrobisnis dan industri pupuk, serta
(5) semen, konstruksi, dan engineering. Kelimanya mewakili 97,65 persen aset
dan 99,88 persen profit 2013.
Pemerintah
perlu menyusun strategi dan rencana operasional menyeluruh di tiap-tiap
sectoral holding, kemudian menempatkan para profesional untuk menjalankannya.
Seharusnya ini bisa selesai dalam tiga bulan.
Tahap
kedua dimulai pada 2015 dengan fokus merampungkan seluruh struktur legal
dalam kelima sectoral holding agar dapat melakukan berbagai pengembangan.
Dalam tahap ini, semua sectoral holding dimaksud sudah terstruktur dan
tersistem dengan pengelolaan secara profesional tanpa intervensi politik dan
birokrasi.
Tahun
2016, profitisasi dari kelima sectoral holding berikut anak-anak
perusahaannya mulai dijalankan hingga siap diprivatisasikan. Kepemilikan
saham sectoral holding 100 persen pemerintah.
Tahap
ketiga, mulai 2017 dengan melepas sebagian saham sectoral holding itu melalui
public offering. Bisa 30 persen, 40 persen, atau sesuai dengan ketetapan
pemerintah sebagai pemegang saham tunggal. Kalkulasi sementara terhadap nilai
pasar kelima sektor ini tahun 2019 adalah Rp 5.800 triliun. Jika dijual 30
persen, akan diperoleh dana Rp 1.755 triliun, cukup untuk melunasi semua
utang.
Dengan
menjalankan strategi seperti ini, salah satu legacy terbesar dari Jokowi-JK
saat menyelesaikan masa jabatannya pada 2019 adalah terbebasnya negara dari
seluruh utang luar negeri. Tahun 2020, APBN kita akan kekar dan pemerintah
akan makin berwibawa karena mandiri membiayai sektor publik.
Syarat
utamanya adalah menjalankan peta jalan pemberdayaan dan pendayagunaan BUMN
dengan tiga langkah.
Pertama,
depolitisasi. BUMN harus terbebas dari pengaruh dan intervensi kekuatan serta
kepentingan politik. BUMN berjalan sesuai budaya korporasi, tidak cocok
dijalankan dengan budaya birokrasi seperti sekarang.
Kedua,
debirokratisasi. BUMN perlu kelincahan serta pendekatan entrepreneurial dalam
operasinya sehingga harus dijalankan oleh profesional dengan business and
entrepreneurial skills.
Ketiga,
de-link aset BUMN dari Undang-Undang Keuangan Negara. Dengan memosisikan BUMN
sesuai dengan cetak biru 1999, kekayaan negara yang dipisahkan itu nantinya
tidak tunduk kepada Undang-Undang Keuangan Negara, melainkan kepada Undang-
Undang Perseroan Terbatas—sebab BUMN akan berpola dan berbudaya korporasi,
bukan birokrasi.
Akankah
Jokowi-JK yang mulai bertugas 20 Oktober 2014 menggunakan terapi ini sebagai
solusi tuntas utang luar negeri Indonesia?
Kita tunggu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar