Minggu, 12 Oktober 2014

Hak Istimewa untuk yang Terhormat

Hak Istimewa untuk yang Terhormat 

Susana Rita  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  10 Oktober 2014




NEGARA ini adalah negara hukum. Warga negaranya, katanya, mempunyai kedudukan sama di mata hukum (equality before the law). Namun, apa yang dialami Andro Suharyanto (20), pengamen di Pasar Cipulir, Jakarta Selatan? Ia tak hanya ditangkap setelah lapor ke polisi adanya pembunuhan, tetapi justru dipukuli agar ia mengaku menjadi pelakunya.

Bandingkan dengan anggota DPR yang disidik pihak berwajib dalam suatu kasus pidana (minus pidana khusus atau pidana dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup). Penyidik harus mengantongi surat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk dapat memanggil dan meminta keterangan anggota DPR tersebut. Pasal 245 Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menegaskan hal itu.

Diskriminatif. Begitulah, ungkapan yang diserukan ahli hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran Bandung, Djayadi Damanik. Ketentuan itu dinilai melanggar HAM dan prinsip kesetaraan hukum.

Semua itu terungkap dalam persidangan uji materi Pasal 245 UU MD3, yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (9/10) kemarin. Sidang yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva ini memasuki agenda mendengarkan saksi fakta (Andro) dan keterangan ahli (Djayadi Damanik serta Bivitri Susanti, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan).

Secara gamblang, Andro menceritakan mimpi buruknya pada 30 Juni 2013 lalu. Ketika itu, ia pulang dari Parung dan mendapati Dicky Maulana berbaring di kolong jembatan Cipulir dengan tubuh penuh debu dan luka-luka. Ia menawarkan memanggilkan orang untuk menolongnya. Namun, ditolak oleh Dicky yang mengaku habis dipukuli orang. Ia pun memberi minum dan mi ayam sebelum pergi untuk urusan lainnya. Setelah beberapa jam pergi dan kembali ke tempat semula, ia menemukan Dicky sudah jadi mayat.

Ia pun lapor ke satpam dan polisi di depan Pasar Cipulir. Namun, Andro justru dicurigai dan dibawa ke kantor Kepolisian Sektor Kebayoran Lama sebelum dipindah ke Polda Metro Jaya. Di sana, ia dipukuli dan diminta mengaku menghabisi Dicky. Kejadian serupa dialami lima temannya—empat di antaranya tergolong anak-anak—sesama pengamen.

Kini, Andro menghirup udara bebas setelah setahun mendekam di penjara meskipun empat temannya masih ada di penjara. Ia dibebaskan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta karena belakangan tak terbukti. Pembunuh yang sebenarnya muncul saat di persidangan.

Sengaja dibuat tumpul

Apa yang dialami Andro dan rekan-rekannya merupakan kasus khusus. Tak semua orang yang berhadapan dengan hukum mengalami nasib sama. Namun, tak berarti tak ada Andro-Andro lainnya yang mengalami nasib serupa.

Ini sungguh kontras jika dibandingkan dengan warga negara lainnya yang kebetulan jadi anggota DPR. Hal itu membuktikan, hukum memang tajam ke bawah, tetapi ”dibuat” tumpul ke atas. Yang di atas, seperti anggota DPR, punya pri·vi·le·se dan dijamin UU.

Djayadi menilai, ketentuan perlunya izin MKD seperti diatur Pasal 245 UU MD3 melanggar HAM. Pasal 245 mengatur perlakuan berbeda antara masyarakat sipil dan DPR. Izin MKD menjadi previlese berlebihan untuk melindungi kenikmatan anggota DPR.

Menurut Bivitri, konsep forum privilegiatum dan parliamentary privileges dalam konteks UU MD3. Forum privilegiatum tercatat mulai diadakan sekitar abad ke-15 untuk bisa membawa pejabat dan penguasa feodal yang ogah dan sulit ke pengadilan. Mereka merasa lebih tinggi dari pengadilan sehingga perlu dibuat forum agar mereka bersedia masuk ke ranah pengadilan. Forum itu di Belanda dilaksanakan oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung). Namun, sejak tahun 1893, forum ini dibatasi hanya untuk perkara-perkara perdata, bukan pidana.

Keistimewaan anggota DPR, dalam praktik kenegaraan, dikenal seperti parliamentary privilege atau imunitas agar tak dituntut secara perdata karena apa yang dinyatakan di sidang. Tanpa hak itu, legislator tak bebas berpendapat. ”Juga perlindungan bagi anggota DPR agar tak ditahan dalam kasus perdata. Perlindungan itu sebenarnya untuk menjaga efektivitas anggota DPR. Namun, bentuk perlindungan itu hanya berlaku pada kasus perdata, bukan pidana,” ujarnya.

Kini, bola ada di MK. MK-lah yang akan menilai, Pasal 245 UU MD3 konstitusional atau tidak, layak dipertahankan ataukah sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar