Hak
Istimewa untuk yang Terhormat
Susana Rita ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
10 Oktober 2014
NEGARA
ini adalah negara hukum. Warga negaranya, katanya, mempunyai kedudukan sama
di mata hukum (equality before the law).
Namun, apa yang dialami Andro Suharyanto (20), pengamen di Pasar Cipulir,
Jakarta Selatan? Ia tak hanya ditangkap setelah lapor ke polisi adanya
pembunuhan, tetapi justru dipukuli agar ia mengaku menjadi pelakunya.
Bandingkan
dengan anggota DPR yang disidik pihak berwajib dalam suatu kasus pidana
(minus pidana khusus atau pidana dengan ancaman hukuman mati atau seumur
hidup). Penyidik harus mengantongi surat persetujuan tertulis dari Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD) untuk dapat memanggil dan meminta keterangan anggota
DPR tersebut. Pasal 245 Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menegaskan hal itu.
Diskriminatif.
Begitulah, ungkapan yang diserukan ahli hukum tata negara dari Universitas
Padjadjaran Bandung, Djayadi Damanik. Ketentuan itu dinilai melanggar HAM dan
prinsip kesetaraan hukum.
Semua
itu terungkap dalam persidangan uji materi Pasal 245 UU MD3, yang digelar di
Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (9/10) kemarin. Sidang yang dipimpin Ketua MK
Hamdan Zoelva ini memasuki agenda mendengarkan saksi fakta (Andro) dan
keterangan ahli (Djayadi Damanik serta Bivitri Susanti, Peneliti Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan).
Secara
gamblang, Andro menceritakan mimpi buruknya pada 30 Juni 2013 lalu. Ketika
itu, ia pulang dari Parung dan mendapati Dicky Maulana berbaring di kolong
jembatan Cipulir dengan tubuh penuh debu dan luka-luka. Ia menawarkan
memanggilkan orang untuk menolongnya. Namun, ditolak oleh Dicky yang mengaku
habis dipukuli orang. Ia pun memberi minum dan mi ayam sebelum pergi untuk
urusan lainnya. Setelah beberapa jam pergi dan kembali ke tempat semula, ia
menemukan Dicky sudah jadi mayat.
Ia pun
lapor ke satpam dan polisi di depan Pasar Cipulir. Namun, Andro justru
dicurigai dan dibawa ke kantor Kepolisian Sektor Kebayoran Lama sebelum
dipindah ke Polda Metro Jaya. Di sana, ia dipukuli dan diminta mengaku
menghabisi Dicky. Kejadian serupa dialami lima temannya—empat di antaranya
tergolong anak-anak—sesama pengamen.
Kini,
Andro menghirup udara bebas setelah setahun mendekam di penjara meskipun
empat temannya masih ada di penjara. Ia dibebaskan Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta karena belakangan tak terbukti. Pembunuh yang sebenarnya muncul saat
di persidangan.
Sengaja dibuat tumpul
Apa yang
dialami Andro dan rekan-rekannya merupakan kasus khusus. Tak semua orang yang
berhadapan dengan hukum mengalami nasib sama. Namun, tak berarti tak ada
Andro-Andro lainnya yang mengalami nasib serupa.
Ini
sungguh kontras jika dibandingkan dengan warga negara lainnya yang kebetulan
jadi anggota DPR. Hal itu membuktikan, hukum memang tajam ke bawah, tetapi
”dibuat” tumpul ke atas. Yang di atas, seperti anggota DPR, punya pri·vi·le·se dan dijamin UU.
Djayadi
menilai, ketentuan perlunya izin MKD seperti diatur Pasal 245 UU MD3
melanggar HAM. Pasal 245 mengatur perlakuan berbeda antara masyarakat sipil
dan DPR. Izin MKD menjadi previlese berlebihan untuk melindungi kenikmatan
anggota DPR.
Menurut
Bivitri, konsep forum privilegiatum dan parliamentary privileges dalam
konteks UU MD3. Forum privilegiatum tercatat mulai diadakan sekitar abad
ke-15 untuk bisa membawa pejabat dan penguasa feodal yang ogah dan sulit ke
pengadilan. Mereka merasa lebih tinggi dari pengadilan sehingga perlu dibuat
forum agar mereka bersedia masuk ke ranah pengadilan. Forum itu di Belanda
dilaksanakan oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung). Namun, sejak tahun 1893, forum
ini dibatasi hanya untuk perkara-perkara perdata, bukan pidana.
Keistimewaan
anggota DPR, dalam praktik kenegaraan, dikenal seperti parliamentary
privilege atau imunitas agar tak dituntut secara perdata karena apa yang
dinyatakan di sidang. Tanpa hak itu, legislator tak bebas berpendapat. ”Juga
perlindungan bagi anggota DPR agar tak ditahan dalam kasus perdata. Perlindungan
itu sebenarnya untuk menjaga efektivitas anggota DPR. Namun, bentuk
perlindungan itu hanya berlaku pada kasus perdata, bukan pidana,” ujarnya.
Kini, bola ada di MK. MK-lah yang akan menilai, Pasal 245 UU MD3
konstitusional atau tidak, layak dipertahankan ataukah sebaliknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar