Minggu, 12 Oktober 2014

Kontroversi UU Jaminan Produk Halal

Kontroversi UU Jaminan Produk Halal 

Adhi S Lukman  ;   Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman
Seluruh Indonesia
KOMPAS,  10 Oktober 2014




TANGGAL 25 September 2014 menjadi hari bersejarah bagi Indonesia dengan disahkannya UU Jaminan Produk Halal. UU ini digagas sejak UU Pangan Nomor 7 Tahun 1996 dan sampai UU Pangan yang baru, UU No 18/2012, keluar belum juga terselesaikan. Beragam kontroversi muncul meski telah ”diketok palu” oleh DPR. Jadi, kemangkusannya diragukan. Padahal, jaminan halal sangat penting bagi umat Muslim sebagai bagian dari keamanan pangan rohani.

Mari menengok beberapa pasal penting agar masyarakat memahami esensi UU ini. Ulasan ini dibatasi sesuai dengan kompetensi penulis, terutama terkait dengan bidang pangan.

Pada pembukaan UU ini, dalam Paragraf a, disebutkan , ”UUD 1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Esensinya adalah jaminan kemerdekaan memeluk agama masing-masing, termasuk penyediaan pangan sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

UU Pangan No 8/2012  menyebutkan dalam Pasal 1 Ayat (5), ”Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi”.

Pasal 69(g) menyebutkan, ”Penyelenggaraan keamanan pangan dilakukan melalui jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan”. Demikian juga Pasal 101 Ayat (1) menyebutkan, ”Setiap orang yang menyatakan dalam label bahwa pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan bertanggung jawab atas kebenarannya”. Inilah asas sukarela halal: yang menyatakan halal wajib mengajukan sertifikasi halal. Hal ini sesuai dengan kelaziman internasional yang diatur dalam General Guidelines for Use of the Term ”Halal” Codex Alimentarius Commission (CAC/GL 24-1997) bahwa penggunaan label halal merupakan klaim dan apabila produsen klaim produknya halal, harus memenuhi ketentuan sesuai dengan hukum Islam.

Namun, dalam UU JPH Pasal 4 disebutkan, ”Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”. Hal ini merupakan ketentuan wajib halal, yang bertentangan dengan paragraf pembukaan UU Pangan serta kelaziman internasional di atas. Juga Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang menerapkan wajib halal. Pasal 4 ini juga tidak sinkron dengan pasal lain, seperti Pasal 26 (1) yang berbunyi ”Pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal”.  Yang jadi pertanyaan, apakah yang masuk dalam Pasal 26 ini tak boleh diperdagangkan di wilayah Indonesia?

Dalam Pasal 1.1, definisi ”Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan masyarakat”. Jelas bahwa semua produk wajib halal tidak terbatas hanya produk konsumsi. Ini tidak konsisten dengan Pasal 17-20 tentang bahan, yang tersirat bahwa halal hanya untuk produk konsumsi yang dikemas (obat, makanan, dan minuman). Padahal, makanan dan minuman bukan hanya yang kemasan; ada pangan segar, olahan rumah tangga, olahan siap saji yang juga diedarkan dan diperdagangkan. Bisakah prinsip wajib diskriminatif atas produk yang beredar?

Penyelenggaraan JPH menjadi wewenang pemerintah cq Kementerian Agama, sesuai dengan Pasal 5 (3), ”Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH dibentuk BPJPH (Badan Penyelenggara JPH) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri”.

Selanjutnya, salah satu kewenangan BPJPH adalah melakukan akreditasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), yang dalam Pasal 10c dikerjasamakan dengan MUI. Ini jelas bertentangan dengan UU Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian (SPK) yang baru disahkan DPR, 26 Agustus 2014, yaitu Pasal 9(2), ”Tugas dan tanggung jawab di bidang akreditasi LPK (Lembaga Penilaian Kesesuaian) dilaksanakan oleh KAN (Komite Akreditasi Nasional), di mana KAN berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden melalui Kepala Badan Standardisasi Nasional” (catatan: LPH adalah salah satu bentuk LPK).

Mengubah tatanan

UU JPH ini akan mengubah tatanan akreditasi standar nasional sekaligus menyalahi good governance: penyelenggara sertifikasi sekaligus berfungsi sebagai pelaksana akreditasi dan dikhawatirkan fungsi kontrol rancu. Seharusnya pemerintah berfungsi sebagai regulator saja serta fokus sebagai pengawas. Fungsi sertifikasi bisa dijalankan lembaga kredibel seperti  saat ini: LPPOM MUI. Fungsi akreditasi dilaksanakan KAN sesuai dengan UU SPK dan jika halal dianggap lex specialis, bisa dikoordinasikan kepakarannya dengan MUI. Dengan demikian, fungsi kontrol dan harmonisasi regulasi bisa berjalan dengan baik.

Saat ini pengajuan sertifikasi ke LPPOM MUI selaku LPH dan setelah fatwa MUI, sertifikat juga dikeluarkan LPPOM MUI. Namun, dalam UU JPH, pengajuan ke BPJPH,  kemudian BPJPH menetapkan LPH. Selanjutnya LPH melakukan pemeriksaan dan melaporkan ke BPJPH dan BPJPH menyerahkan ke MUI untuk mendapat keputusan penetapan halal produk (fatwa). Fatwa diserahkan kembali ke BPJPH untuk diterbitkan sertifikat halal.

Penambahan rantai proses menambah waktu, tenaga, dan  biaya. Ujung-ujungnya beban konsumen tambah, daya saing produk Indonesia turun. Pasal 37 menyebutkan BPJPH menetapkan bentuk ”label Halal” yang berlaku nasional.

Saat ini LPPOM MUI telah melakukan terobosan dengan Sertifikasi Halal Online (CEROL SS23000), tetapi belum bisa memuaskan semua pemohon. Tenaga auditor seluruh Indonesia yang  737 orang (LPPOM MUI, 2014) hanya mampu melayani 1.270 perusahaan selama Januari-Juli 2014. Angka ini  sudah  jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya melayani 832 perusahaan. Padahal, jumlah industri makanan dan minuman 6.190 perusahaan menengah-besar serta 1.054.398 kecil dan mikro (BPS, 2013), belum termasuk yang tak terdaftar. Perbandingan angka ini menggambarkan bahwa masih banyak yang harus disiapkan dalam menerapkan jaminan halal bagi semua.

Sertifikat dan label hanya sebagian kecil dari Sistem Jaminan Halal. Yang terpenting ada dalam proses produksi sehari-hari adalah tanggung jawab yang melibatkan semua pelaku internal dan eksternal, pengawasan oleh penyelia yang profesional, serta penerapan hukum oleh pemerintah selaku agen regulasi. Juga tantangan terbesar adalah membangun sistem beserta kelengkapan sarana dan prasarana, serta penegakan hukum yang berkeadilan tak diskriminatif.

UU JPH perlu disempurnakan agar tak jadi kendala dalam menjamin kehalalan produk yang didambakan umat Muslim, terjangkau, dan tidak menjadikan Indonesia terkucil dari dunia global yang kian menurunkan daya saing Indonesia. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 kian dekat. Mari bersiap diri. Mitra   kita adalah pasar global, bukan pihak yang bertikai di dalam negeri dan menyulitkan diri sendiri.

� Q o f �� п� nt-family:"Times New Roman";mso-bidi-font-weight:bold'>Saya mengusulkan agar dalam menyusun Program 100 Hari, presiden dan wapres terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla mencanangkan Solusi Tuntas Utang Negara dengan tahap-tahap.


Membentuk dan memberdayakan lima sectoral holding, yaitu sektor (1) energi dan pertambangan, (2) perbankan dan jasa keuangan, (3) transportasi, infrastruktur dan telekomunikasi, (4) agrobisnis dan industri pupuk, serta (5) semen, konstruksi, dan engineering. Kelimanya mewakili 97,65 persen aset dan 99,88 persen profit 2013.

Pemerintah perlu menyusun strategi dan rencana operasional menyeluruh di tiap-tiap sectoral holding, kemudian menempatkan para profesional untuk menjalankannya. Seharusnya ini bisa selesai dalam tiga bulan.

Tahap kedua dimulai pada 2015 dengan fokus merampungkan seluruh struktur legal dalam kelima sectoral holding agar dapat melakukan berbagai pengembangan. Dalam tahap ini, semua sectoral holding dimaksud sudah terstruktur dan tersistem dengan pengelolaan secara profesional tanpa intervensi politik dan birokrasi.

Tahun 2016, profitisasi dari kelima sectoral holding berikut anak-anak perusahaannya mulai dijalankan hingga siap diprivatisasikan. Kepemilikan saham sectoral holding 100 persen pemerintah.

Tahap ketiga, mulai 2017 dengan melepas sebagian saham sectoral holding itu melalui public offering. Bisa 30 persen, 40 persen, atau sesuai dengan ketetapan pemerintah sebagai pemegang saham tunggal. Kalkulasi sementara terhadap nilai pasar kelima sektor ini tahun 2019 adalah Rp 5.800 triliun. Jika dijual 30 persen, akan diperoleh dana Rp 1.755 triliun, cukup untuk melunasi semua utang.

Dengan menjalankan strategi seperti ini, salah satu legacy terbesar dari Jokowi-JK saat menyelesaikan masa jabatannya pada 2019 adalah terbebasnya negara dari seluruh utang luar negeri. Tahun 2020, APBN kita akan kekar dan pemerintah akan makin berwibawa karena mandiri membiayai sektor publik.

Syarat utamanya adalah menjalankan peta jalan pemberdayaan dan pendayagunaan BUMN dengan tiga langkah.

Pertama, depolitisasi. BUMN harus terbebas dari pengaruh dan intervensi kekuatan serta kepentingan politik. BUMN berjalan sesuai budaya korporasi, tidak cocok dijalankan dengan budaya birokrasi seperti sekarang.

Kedua, debirokratisasi. BUMN perlu kelincahan serta pendekatan entrepreneurial dalam operasinya sehingga harus dijalankan oleh profesional dengan business and entrepreneurial skills.

Ketiga, de-link aset BUMN dari Undang-Undang Keuangan Negara. Dengan memosisikan BUMN sesuai dengan cetak biru 1999, kekayaan negara yang dipisahkan itu nantinya tidak tunduk kepada Undang-Undang Keuangan Negara, melainkan kepada Undang- Undang Perseroan Terbatas—sebab BUMN akan berpola dan berbudaya korporasi, bukan birokrasi.

Akankah Jokowi-JK yang mulai bertugas 20 Oktober 2014 menggunakan terapi ini sebagai solusi tuntas utang luar negeri Indonesia?

Kita tunggu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar