Kontroversi
UU Jaminan Produk Halal
Adhi S Lukman ; Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan
dan Minuman
Seluruh Indonesia
|
KOMPAS,
10 Oktober 2014
TANGGAL
25 September 2014 menjadi hari bersejarah bagi Indonesia dengan disahkannya
UU Jaminan Produk Halal. UU ini digagas sejak UU Pangan Nomor 7 Tahun 1996
dan sampai UU Pangan yang baru, UU No 18/2012, keluar belum juga
terselesaikan. Beragam kontroversi muncul meski telah ”diketok palu” oleh
DPR. Jadi, kemangkusannya diragukan. Padahal, jaminan halal sangat penting
bagi umat Muslim sebagai bagian dari keamanan pangan rohani.
Mari
menengok beberapa pasal penting agar masyarakat memahami esensi UU ini.
Ulasan ini dibatasi sesuai dengan kompetensi penulis, terutama terkait dengan
bidang pangan.
Pada
pembukaan UU ini, dalam Paragraf a, disebutkan , ”UUD 1945 mengamanatkan
negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Esensinya adalah jaminan kemerdekaan memeluk agama masing-masing, termasuk
penyediaan pangan sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
UU
Pangan No 8/2012 menyebutkan dalam
Pasal 1 Ayat (5), ”Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan
untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda
lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia
serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat
sehingga aman untuk dikonsumsi”.
Pasal
69(g) menyebutkan, ”Penyelenggaraan keamanan pangan dilakukan melalui jaminan
produk halal bagi yang dipersyaratkan”. Demikian juga Pasal 101 Ayat (1)
menyebutkan, ”Setiap orang yang menyatakan dalam label bahwa pangan yang diperdagangkan
adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan bertanggung jawab atas
kebenarannya”. Inilah asas sukarela halal: yang menyatakan halal wajib
mengajukan sertifikasi halal. Hal ini sesuai dengan kelaziman internasional
yang diatur dalam General Guidelines for Use of the Term ”Halal” Codex
Alimentarius Commission (CAC/GL 24-1997) bahwa penggunaan label halal
merupakan klaim dan apabila produsen klaim produknya halal, harus memenuhi
ketentuan sesuai dengan hukum Islam.
Namun,
dalam UU JPH Pasal 4 disebutkan, ”Produk yang masuk, beredar, dan
diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”. Hal ini
merupakan ketentuan wajib halal, yang bertentangan dengan paragraf pembukaan
UU Pangan serta kelaziman internasional di atas. Juga Indonesia menjadi
satu-satunya negara di dunia yang menerapkan wajib halal. Pasal 4 ini juga
tidak sinkron dengan pasal lain, seperti Pasal 26 (1) yang berbunyi ”Pelaku
usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang
diharamkan dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal”. Yang jadi pertanyaan, apakah yang masuk
dalam Pasal 26 ini tak boleh diperdagangkan di wilayah Indonesia?
Dalam
Pasal 1.1, definisi ”Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan
makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk
rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan masyarakat”. Jelas bahwa semua produk wajib halal tidak terbatas
hanya produk konsumsi. Ini tidak konsisten dengan Pasal 17-20 tentang bahan,
yang tersirat bahwa halal hanya untuk produk konsumsi yang dikemas (obat,
makanan, dan minuman). Padahal, makanan dan minuman bukan hanya yang kemasan;
ada pangan segar, olahan rumah tangga, olahan siap saji yang juga diedarkan
dan diperdagangkan. Bisakah prinsip wajib diskriminatif atas produk yang
beredar?
Penyelenggaraan
JPH menjadi wewenang pemerintah cq Kementerian Agama, sesuai dengan Pasal 5
(3), ”Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH dibentuk BPJPH (Badan
Penyelenggara JPH) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
menteri”.
Selanjutnya,
salah satu kewenangan BPJPH adalah melakukan akreditasi terhadap Lembaga
Pemeriksa Halal (LPH), yang dalam Pasal 10c dikerjasamakan dengan MUI. Ini
jelas bertentangan dengan UU Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian (SPK)
yang baru disahkan DPR, 26 Agustus 2014, yaitu Pasal 9(2), ”Tugas dan
tanggung jawab di bidang akreditasi LPK (Lembaga Penilaian Kesesuaian)
dilaksanakan oleh KAN (Komite Akreditasi Nasional), di mana KAN berkedudukan
di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden melalui Kepala Badan
Standardisasi Nasional” (catatan: LPH adalah salah satu bentuk LPK).
Mengubah tatanan
UU JPH
ini akan mengubah tatanan akreditasi standar nasional sekaligus menyalahi
good governance: penyelenggara sertifikasi sekaligus berfungsi sebagai
pelaksana akreditasi dan dikhawatirkan fungsi kontrol rancu. Seharusnya
pemerintah berfungsi sebagai regulator saja serta fokus sebagai pengawas.
Fungsi sertifikasi bisa dijalankan lembaga kredibel seperti saat ini: LPPOM MUI. Fungsi akreditasi
dilaksanakan KAN sesuai dengan UU SPK dan jika halal dianggap lex specialis,
bisa dikoordinasikan kepakarannya dengan MUI. Dengan demikian, fungsi kontrol
dan harmonisasi regulasi bisa berjalan dengan baik.
Saat ini
pengajuan sertifikasi ke LPPOM MUI selaku LPH dan setelah fatwa MUI,
sertifikat juga dikeluarkan LPPOM MUI. Namun, dalam UU JPH, pengajuan ke
BPJPH, kemudian BPJPH menetapkan LPH.
Selanjutnya LPH melakukan pemeriksaan dan melaporkan ke BPJPH dan BPJPH
menyerahkan ke MUI untuk mendapat keputusan penetapan halal produk (fatwa).
Fatwa diserahkan kembali ke BPJPH untuk diterbitkan sertifikat halal.
Penambahan
rantai proses menambah waktu, tenaga, dan
biaya. Ujung-ujungnya beban konsumen tambah, daya saing produk
Indonesia turun. Pasal 37 menyebutkan BPJPH menetapkan bentuk ”label Halal”
yang berlaku nasional.
Saat ini
LPPOM MUI telah melakukan terobosan dengan Sertifikasi Halal Online (CEROL
SS23000), tetapi belum bisa memuaskan semua pemohon. Tenaga auditor seluruh
Indonesia yang 737 orang (LPPOM MUI,
2014) hanya mampu melayani 1.270 perusahaan selama Januari-Juli 2014. Angka
ini sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun
2013 yang hanya melayani 832 perusahaan. Padahal, jumlah industri makanan dan
minuman 6.190 perusahaan menengah-besar serta 1.054.398 kecil dan mikro (BPS,
2013), belum termasuk yang tak terdaftar. Perbandingan angka ini
menggambarkan bahwa masih banyak yang harus disiapkan dalam menerapkan
jaminan halal bagi semua.
Sertifikat
dan label hanya sebagian kecil dari Sistem Jaminan Halal. Yang terpenting ada
dalam proses produksi sehari-hari adalah tanggung jawab yang melibatkan semua
pelaku internal dan eksternal, pengawasan oleh penyelia yang profesional,
serta penerapan hukum oleh pemerintah selaku agen regulasi. Juga tantangan
terbesar adalah membangun sistem beserta kelengkapan sarana dan prasarana,
serta penegakan hukum yang berkeadilan tak diskriminatif.
UU JPH perlu disempurnakan agar tak jadi kendala dalam menjamin kehalalan
produk yang didambakan umat Muslim, terjangkau, dan tidak menjadikan
Indonesia terkucil dari dunia global yang kian menurunkan daya saing
Indonesia. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 kian dekat. Mari bersiap diri.
Mitra kita adalah pasar global, bukan
pihak yang bertikai di dalam negeri dan menyulitkan diri sendiri. ●
|
Membentuk
dan memberdayakan lima sectoral holding, yaitu sektor (1) energi dan
pertambangan, (2) perbankan dan jasa keuangan, (3) transportasi,
infrastruktur dan telekomunikasi, (4) agrobisnis dan industri pupuk, serta
(5) semen, konstruksi, dan engineering. Kelimanya mewakili 97,65 persen aset
dan 99,88 persen profit 2013.
Pemerintah
perlu menyusun strategi dan rencana operasional menyeluruh di tiap-tiap
sectoral holding, kemudian menempatkan para profesional untuk menjalankannya.
Seharusnya ini bisa selesai dalam tiga bulan.
Tahap
kedua dimulai pada 2015 dengan fokus merampungkan seluruh struktur legal
dalam kelima sectoral holding agar dapat melakukan berbagai pengembangan.
Dalam tahap ini, semua sectoral holding dimaksud sudah terstruktur dan
tersistem dengan pengelolaan secara profesional tanpa intervensi politik dan
birokrasi.
Tahun
2016, profitisasi dari kelima sectoral holding berikut anak-anak
perusahaannya mulai dijalankan hingga siap diprivatisasikan. Kepemilikan
saham sectoral holding 100 persen pemerintah.
Tahap
ketiga, mulai 2017 dengan melepas sebagian saham sectoral holding itu melalui
public offering. Bisa 30 persen, 40 persen, atau sesuai dengan ketetapan
pemerintah sebagai pemegang saham tunggal. Kalkulasi sementara terhadap nilai
pasar kelima sektor ini tahun 2019 adalah Rp 5.800 triliun. Jika dijual 30
persen, akan diperoleh dana Rp 1.755 triliun, cukup untuk melunasi semua
utang.
Dengan
menjalankan strategi seperti ini, salah satu legacy terbesar dari Jokowi-JK
saat menyelesaikan masa jabatannya pada 2019 adalah terbebasnya negara dari
seluruh utang luar negeri. Tahun 2020, APBN kita akan kekar dan pemerintah
akan makin berwibawa karena mandiri membiayai sektor publik.
Syarat
utamanya adalah menjalankan peta jalan pemberdayaan dan pendayagunaan BUMN
dengan tiga langkah.
Pertama,
depolitisasi. BUMN harus terbebas dari pengaruh dan intervensi kekuatan serta
kepentingan politik. BUMN berjalan sesuai budaya korporasi, tidak cocok
dijalankan dengan budaya birokrasi seperti sekarang.
Kedua,
debirokratisasi. BUMN perlu kelincahan serta pendekatan entrepreneurial dalam
operasinya sehingga harus dijalankan oleh profesional dengan business and
entrepreneurial skills.
Ketiga,
de-link aset BUMN dari Undang-Undang Keuangan Negara. Dengan memosisikan BUMN
sesuai dengan cetak biru 1999, kekayaan negara yang dipisahkan itu nantinya
tidak tunduk kepada Undang-Undang Keuangan Negara, melainkan kepada Undang-
Undang Perseroan Terbatas—sebab BUMN akan berpola dan berbudaya korporasi,
bukan birokrasi.
Akankah
Jokowi-JK yang mulai bertugas 20 Oktober 2014 menggunakan terapi ini sebagai
solusi tuntas utang luar negeri Indonesia?
Kita tunggu saja. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar