Setelah
KMP Kuasai Parlemen…
A Tomy Trinugroho ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
11 Oktober 2014
KURSI
pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat akhirnya dikuasai
Koalisi Merah Putih. Saat pemilihan presiden lalu, koalisi ini mendukung
pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Situasi
ini menimbulkan kekhawatiran pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla akan
menemui banyak ganjalan dari parlemen setelah mereka dilantik 20 Oktober
2014. Ada kecemasan terjadi kebuntuan pemerintahan akibat konflik pemerintah
dengan DPR yang dikuasai Koalisi merah Putih (KMP). Sistem pemerintahan
presidensial yang dipilih Indonesia memang memungkinkan terjadinya kebuntuan
semacam itu.
Sejak
tahun 2004, Indonesia menerapkan sistem pemerintahan presidensial murni, yang
ditandai dengan dilakukannya pemilihan presiden secara langsung. Sebelum itu,
presiden dipilih MPR atau tidak dipilih langsung oleh rakyat.
Salah
satu ciri sistem presidensial ialah keterpisahan antara lembaga eksekutif dan
legislatif. Keduanya sama-sama dipilih langsung oleh rakyat dan tidak bisa
saling menjatuhkan.
Presiden
tak bisa membubarkan parlemen. Sebaliknya, DPR juga tidak bisa langsung
memecat Presiden. Pemakzulan memang dapat dinisiasi oleh DPR, tetapi proses
selanjutnya masih panjang dan rumit karena harus melibatkan Mahkamah
Konstitusi untuk kemudian dibawa ke dalam sidang MPR.
Keterpisahan
eksekutif dan legislatif dalam sistem presidensial memunculkan kritik
terhadap sistem pemerintahan itu. Kebuntuan yang mungkin terjadi akibat
konflik berlarut-larut antara eksekutif dan parlemen dikhawatirkan dapat
menghancurkan demokrasi. Kegagalan sistem presidensial di negara-negara Amerika
Latin, seperti Brasil dan Argentina, pada 1960-an dan 1970-an, sering
dijadikan alasan keberatan terhadap penerapan sistem tersebut.
Dalam
sistem pemerintahan parlementer, perdana menteri sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan bisa diberhentikan lewat prosedur yang lebih mudah ketimbang
presiden di sistem presidensial.
Persaingan
Pada
2004, pemilihan pimpinan DPR juga diwarnai aroma persaingan sisa-sisa
pilpres. Ketika itu, koalisi pendukung capres-cawapres yang kalah, Megawati
Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, berhasil merebut posisi pimpinan DPR dengan
Agung Laksono (Partai Golkar) menjadi Ketua DPR. Namun, presiden-wakil
presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) berhasil
menarik satu per satu kekuatan koalisi pendukung Mega-Hasyim. Kubu yang
berseberangan dengan SBY-JK pun menjadi tidak solid lagi.
Saat
itu, akhirnya tinggal PDI-P yang tersisa tanpa perwakilan di pemerintahan
SBY-JK. Keberhasilan JK menjadi Ketua Umum Partai Golkar ikut membantu
memperkuat posisi pemerintah. Selama 2004-2009, meski tetap menghadapi
sejumlah ganjalan, pemerintahan SBY-JK dapat berjalan dengan selamat hingga
akhir masa tugas.
Pada
2009, posisi pimpinan DPR dikuasai kubu pendukung presiden dan wakil presiden
terpilih SBY-Boediono. Aburizal Bakrie yang menjadi Ketua Umum Partai Golkar
menggantikan JK membawa partainya untuk mendukung SBY-Boediono, meski saat
Pilpres 2009 secara resmi Golkar mendukung JK-Wiranto dalam Pilpres 2009.
SBY-Boediono
juga memberikan kursi menteri kepada sejumlah kader partai pendukung mereka.
Terulang
Situasi
saat ini mirip tahun 2004. Pimpinan DPR dikuasai oleh kubu yang berseberangan
dengan presiden-wakil presiden terpilih. Perbedaannya, pada 2004, SBY-JK
akhirnya berhasil mengurangi kekuatan koalisi partai politik yang berseberangan
dengan mereka. Sementara itu, KMP masih terlihat solid.
Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) yang di pilpres lalu bergabung dengan KMP, ketika
pemilihan MPR, memang bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang
ketika pilpres mendukung Jokowi-JK. Namun, sampai saat ini belum ada
kepastian apakah PPP resmi bergabung dengan KIH atau tetap di KMP. Meski PPP
bergabung ke KIH, juga belum dapat dipastikan kondisi itu akan membuat KMP
lemah.
Sejarah
politik Indonesia di era Reformasi menunjukkan, tawaran posisi menteri, meski
tidak selalu, dapat membuat partai politik berpindah posisi. Namun, hingga
saat ini belum ada kepastian apakah Jokowi-JK akan menggunakan strategi
menawarkan kursi menteri tersebut atau tidak.
Padahal,
menambah kekuatan koalisi partai pendukung di parlemen menjadi salah salah
langkah yang dapat dilakukan Jokowi-JK untuk mengurangi potensi kebuntuan
pada pemerintahannya nanti, mengingat posisi pimpinan MPR dan DPR telah
dikuasai KMP. Langkah Presiden menggunakan pendekatan koalisi dalam relasinya
dengan legislatif bisa mengurangi peluang terjadinya kebuntuan dalam sistem
presidensial multipartai (Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai
di Indonesia).
Cara
lain untuk mencegah kebuntuan pemerintahan adalah dengan menjaga komunikasi
intensif antara pemerintah dan parlemen. Pertemuan rutin secara formal dan
informal perlu selalu dijalankan oleh kedua belah pihak.
Kegagalan komunikasi dan kerja sama antara parlemen dan pemerintah
dapat menjadi awal dari kebuntuan pemerintahan. Jika dibiarkan, kondisi ini
akan mengganggu pelaksanaan program-program untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Pembangunan demokrasi pun bakal terhambat dan Indonesia
berpotensi menjadi contoh negara yang kurang berhasil menerapkan demokrasi.
Kita tentu menginginkan hal itu tidak terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar