Musang
Berbulu Ayam
Daoed Joesoef ; Alumnus Université Pluridisciplinaires
Panthéon-Sorbonne
|
KOMPAS,
10 Oktober 2014
SETELAH
melihat tayangan televisi tentang detik-detik tingkah laku para politikus cum wakil rakyat ketika membahas
Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah di DPR lama—dan terkait
masalah krusial ini, telekonferensi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
serba plin-plan, serta Sidang Paripurna DPR baru yang gegap gempita dalam suasana
yang sama sekali tidak bermartabat—bulu tengkuk saya meremang. Betapa tidak.
Saya tersentak baru saja menyaksikan kemungkinan sejenis gerak-lambat
barbarisasi dari sejumlah polity, yang menyeringai di antara rezim
kepolitikan buruk yang ada dan saat pencapaian tujuan barbariknya.
Apa yang
sejatinya bisa diraih dengan moral seharusnya tidak dicapai melalui hukum.
Namun, berhubung tunamoral, mereka menghabiskan energi dan waktu dengan
bermoralisasi (moralizing), asyik
mengutak-atik ”moral” dan ”moralizing” yang begitu berbeda bagai siang dan
malam tanpa panduan filosofi Pancasila demi kekukuhan kekuasaan politiknya
belaka yang diselimuti dalih ”demi rakyat”.
Sabotase politik
Perkembangan
proses barbarisasi ini mereka sebut dengan bangga sebagai ”dinamika politik”.
Padahal, hati kecil mereka, saya yakin, mengakui bahwa upaya dinamisasi itu
hanya merupakan jegal-jegalan belaka.
Dengan
kata lain, Koalisi Merah Putih (KMP) mencari apriori bertekad mencegah at all
costs agar Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tidak bisa mewujudkan niat baiknya
bagi Indonesia melalui kebijakan pemerintahan yang dipimpin pasangan pemenang
Pemilu Presiden 2014, yang langsung telah dipilih oleh rakyat itu. Apakah
upaya penjegalan apriori ini tidak bisa disebut suatu sabotase politik?
Polity
dengan lembaga partai politiknya selama ini kiranya bukan mendidik kadernya
menjadi negarawan, melainkan membiarkannya tumbuh dan berkembang menjadi
makhluk ”liar” dan ”barbar”. Makhluk liar adalah orang yang secara membabi
buta tunduk pada naluri, pada impuls, dan pada nafsunya; dia tidak peduli
pada ”baik” dan ”buruk” yang dituntut oleh keadaan. Makhluk barbar,
sebaiknya, adalah orang yang berprinsip dan berpengetahuan spesialistis; dia
mengabaikan hal-hal yang diniscayakan dan bergerak langsung ke tujuan.
Sejujurnya,
di luar komunitas politik, pada setiap era ada juga orang-orang seperti itu,
bahkan lebih buruk lagi, di komunitas religius. Di situ orang tidak
segan-segan menggunakan ayat ilahiah sebagai pelindung perbuatan yang justru
berlawanan dengan perintah Tuhan.
Tunamoral, tunamalu
Politika
adalah sebenarnya sebuah profesi yang serius, serba kompleks, berdedikasi
tinggi, mengandung risiko serta, karena itu, cukup terpandang dan terhormat.
Hal ini sudah dibuktikan oleh para pendiri bangsa kita yang dahulu berjuang
tanpa pamrih pribadi melawan penjajah secara sistematis dari waktu ke waktu,
yang kini kita peringati sebagai peristiwa yang merupakan ”tonggak-tonggak
sejarah perjuangan kemerdekaan nasional”.
Patriotisme
yang dahulu mereka lakukan untuk Indonesia, tanah airnya, adalah perbuatan
yang puluhan tahun kemudian dipujikan oleh John F Kennedy melalui ucapannya, ”Ask not what your country can do for you,
ask what you can do for your country.”
Di mana
pun di muka bumi ini, orang memerlukan persiapan yang relevan untuk bisa
diakui sebagai profesional. Untuk berprofesi sebagai kimiawan, misalnya,
orang harus mempelajari ilmu kimia. Untuk menjadi pengacara/jaksa/hakim,
orang perlu mempelajari ilmu hukum. Untuk menjadi dokter, orang harus belajar
ilmu kedokteran lebih dahulu. Di Indonesia, kelihatannya, untuk menjadi
politikus orang cukup mempelajari kepentingannya sendiri dan/atau kepentingan
partainya dan tunamalu, bahkan tunamoral.
Persiapan
profesi politik yang jauh daripada ideal ini kiranya sudah diantisipasi oleh
Bung Hatta. Tidak lama setelah kembali ke Tanah Air, dia mendirikan PNI,
bukan Partai Nasional Indonesia seperti yang telah dibentuk oleh Bung Karno,
melainkan Pendidikan Nasional Indonesia, menggenapi tujuan pendidikan formal
yang telah diusahakan Ki Hajar Dewantara. Bersama dengan Bung Sjahrir, dia
mengorganisasi klub studi, pendidikan nonformal, yang berfungsi bagai kawah
candradimuka penggemblengan para pemimpin politik mendatang.
Sebelum menjadi
pemimpin rakyat, mereka harus bisa lebih dulu, menurut visi Bung Hatta,
menata cara berpikir mereka sendiri. Melalui pembelajaran klub studi, mereka
bukan dilatih untuk bisa lebih maju daripada orang-orang lain (menyombong),
melainkan dibiasakan selalu mampu lebih maju daripada dirinya sendiri.
Cara
pembinaan kader seperti itulah yang patut ditiru oleh parpol dewasa ini.
Artinya, parpol perlu berusaha menerjunkan politikus ke arena politik bukan
karena telah berjasa mencari dana bagi kas partai atau memenangkan ketua
dalam pilpres/pilkada atau berhubung berada di garis keturunan dari trah
person tertentu. Kader yang dijagokan itu seharusnya berdasarkan mutu
pendidikan formal, kemampuan berpikir, kematangan bersikap, yang secara
obyektif-profesional mengundang respek, bisa diakui kelebihannya, walaupun
secara diam-diam, oleh pihak pesaingnya dari parpol lain.
Di Abad
Pertengahan, Italia pernah dikuasai keluarga Borgias selama 30 tahun. Periode
ini diwarnai oleh pertarungan berdarah, teror, pembunuhan, dan intimidasi.
Namun, periode yang sama melahirkan pula Michelangelo, Leonardo Da Vinci, dan
gerakan renaissance.
Bangsa
Swiss mengalami kehidupan demokratis selama kira-kira 500 tahun. Selama itu
mereka mengenal brotherly love dan peace. Lalu, apa yang mereka hasilkan?
Sistem pendidikan keilmuan yang mantap—Einstein remaja bersekolah di situ—dan
jam antik ku-ku clock.
Memperkuat lapisan terdidik
Bangsa
Indonesia sudah mengalami periode reformasi selama lebih kurang 20 tahun.
Yang direformasi adalah gaya pemerintahan otoriter demi kelancaran
pemerintahan demokratis, yaitu yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat.
Apa yang
dihasilkan oleh reformasi ini? Suatu barbarisasi, yang memang bergerak lambat
tetapi pasti, dimotori oleh kepiawaian bersandiwara seorang presiden yang
bakal lengser dan korps politikus yang saling berbagi pengalaman dan
pengetahuan mengenai bagaimana menyenangkan rakyat tanpa memberikan apa yang
mereka betul-betul perlukan—how to please people without giving what they
really want. Mereka mendekati setiap subyek dengan mulut terbuka, bukan
dengan pikiran dan hati terbuka.
Pergelaran
sandiwara dari panggung politik DPR yang memuakkan itu menantang kesadaran
rakyat akan hak-haknya yang dirampas begitu saja. Padahal, rakyat telah membiayai
para aktor-politik yang tampil keren dan cantik di panggung itu dan
kelihatannya betul-betul menjiwai serta menikmati peran amoral masing-masing.
Jadi, mereka bukan sekadar bersandiwara, melainkan telah main sungguhan dalam
proses barbarisasi.
Barisan rakyat harus didukung, diperkuat, terutama oleh lapisannya yang
terdidik, kaum intelektual. Di mana Anda berada? Sedang menyendiri di
laboratorium atau bersemadi di perpustakaan atau berpesiar somewhere? Masih jauh larut malam,
sudah berkeliaran musang berbulu ayam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar