Kala
Alam Membalas
Agnes Aristiarini ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
11 Oktober 2014
“Manusia
tampaknya masih saja menyepelekan mikroba meski kenyataan menunjukkan bahwa
mikroba sudah banyak menang.”
Laurie
Garrett, ”The Coming Plague”, 1994
HARI-hari
ini, dunia kembali dikhawatirkan dengan merebaknya ebola di kawasan Afrika
Barat. Berawal Desember 2013 dan sempat menurun April 2014, kasus ebola
meningkat lagi Juli dan belum menunjukkan tanda-tanda mereda hingga sekarang.
Di Guinea, Liberia, dan Sierra Leone, korban terus berjatuhan.
Persis
seperti yang digambarkan Albert Camus dalam novelnya, The Plague
(1960)—ketika pemerintah Oran menutup pintu gerbang kota begitu wabah sampar
meluas—Pemerintah Liberia memasang garis pembatas untuk mengisolasi kawasan
yang terinfeksi ebola dan melarang setiap orang untuk meninggalkan Monrovia,
ibu kota negeri itu. Mayat bergelimpangan dan dibiarkan membusuk di jalanan (Time, 25/8/2014).
Untuk
kesekian kali, manusia tidak berdaya menghadapi ebola. Kisah ebola berawal di
Rumah Sakit Misi Yambuku di kawasan Bumba Zone, Agustus 1976. Bumba Zone
berada di perbatasan utara Zaire, kini Republik Demokratik Kongo, dengan
padang sabana dan hutan hujan tropis yang kaya monyet hijau, babon, simpanse,
gajah, kuda nil, antelop, dan kerbau liar.
Dalam
Yambuku (bab V, The Coming Plague),
Garrett menulis tentang Mabalo Lokela (44), yang akhir Agustus 1976 datang ke
rumah sakit minta suntikan anti malaria karena demam. Ini gejala biasa jika
malarianya kambuh.
Belum
seminggu, Lokela balik ke rumah sakit. Ia panas tinggi, muntah, diare, sakit
kepala, dan hidungnya terus mengalirkan darah. Tak ada laboratorium di rumah
sakit itu untuk membantu diagnosis. Para suster mengupayakan segala cara,
tetapi selang tiga hari Lokela meninggal.
Dua
minggu kemudian, kecemasan meluas. Ibu dan ibu mertua Lokela, juga bayinya,
meninggal dengan gejala sama. Total 21 keluarga dan teman Lokela tertular, 18
orang meninggal. Suster Beata yang merawatnya juga meninggal.
Kecemasan
berkembang menjadi kepanikan nasional ketika korban terus berdatangan.
Pemerintah mengirim dua profesor dari Universitas Nasional Zaire untuk
meneliti. Menurut Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) yang bermarkas di Atlanta, Amerika Serikat,
dari 318 kasus yang tercatat saat itu, 280 korban meninggal. Berarti tingkat
kematiannya 90 persen.
Terus merebak
Dinamai
seperti nama sungai kecil di Kongo—awal virus ditemukan—ebola terus merebak
di kawasan Afrika. Sepanjang 1976-2014, ebola telah menyerang 11 negara di
Afrika, juga Spanyol dan AS meski strainnya berbeda.
Dengan
tingkat kematian yang tinggi, yaitu 40-90 persen, dan penularan yang mudah
lewat kontak langsung dengan cairan tubuh penderita, seperti ludah, darah,
muntahan, air seni, dan tinja, ebola menjadi momok manusia modern saat ini.
Virus
ebola termasuk famili Filoviridae. Berasal dari kata filum—bahasa Latin yang
berarti benang—virus ini memang mirip benang di bawah mikroskop. Peter Piot,
salah satu penemu ebola, seperti melihat kumpulan tanda tanya ”????” di
mikroskop.
Menurut
Garrett, kemunculan virus yang mematikan ini tak lepas dari kerusakan
lingkungan masif yang mengubah ekosistem. Mulai dari pembabatan hutan, sistem
pertanian yang intensif dan monokultur, hingga perubahan iklim membuat
puluhan penyakit baru ditemukan.
Semua
itu berpadu dengan kepadatan penduduk dan mobilitas manusia yang luar biasa
terkait dengan perbaikan infrastruktur dan kemajuan transportasi. Jadi,
ketika pedalaman hutan menjadi obyek wisata baru, seseorang yang tak sadar
terinfeksi bisa saja membawa penyakit pulang.
Serangga
yang terangkut di kargo atau monyet-monyet untuk menguji coba vaksin dan obat
baru bisa saja terkontaminasi virus dan kemudian menyebarkannya ke seluruh
dunia.
Seperti
kasus tahun 1967 di pabrik vaksin Behring Works, virus berpindah dari monyet
hijau Afrika ke petugas kandang dan penduduk kota. Virus yang juga famili
Filoviridae ini kemudian dinamai marburg, kota tua di Jerman tempat pabrik
berada.
Berasal dari jauh
Subtipe
ebola-reston juga pernah dideteksi di pusat karantina Virginia, Pennsylvania,
dan Texas (AS) tahun 1989-1990. Setelah diteliti, ebola-reston ini ternyata
ditularkan oleh monyet yang didatangkan dari Filipina.
Pada orangutan
Kalimantan yang sehat ternyata juga ditemukan subtipe ebola dari Afrika,
ebola-reston, dan virus marburg. Penelitian ini dilakukan Universitas
Airlangga bekerja sama dengan Kementerian Pertanian dan Hokkaido University,
Jepang.
”Artinya, virus dari famili Filovirus, baik ebola
maupun marburg, pernah ada di Indonesia,” kata CA Nidom dari Universitas
Airlangga yang terlibat penelitian (Kompas,
12/9/2012).
Menurut Rene Dubos, mikrobiolog Perancis, dalam Mirage of Health, 1959,
setiap organisme akan beradaptasi untuk bertahan pada setiap perubahan
lingkungan. Jadi, nasib manusia menjadi taruhan karena alam akan membalas
dengan cara tak terduga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar