Garis
Kemiskinan Perlu Dinaikkan
Carunia Mulya Firdausy ; Profesor Riset LIPI
|
KOMPAS,
17 Oktober 2014
USUL ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB), Guanghua Wan, untuk menaikkan garis
kemiskinan Indonesia bukan usul baru (Kompas, 22/8). LIPI telah mengusulkan
pentingnya menaikkan garis kemiskinan nasional sejak 2011 (Kompas, 11/4).
Pasalnya, garis kemiskinan (GK) absolut yang dibuat pemerintah
menghitung penduduk miskin sejak tahun 1970-an bersifat top-down, di samping
kelemahan lain (Firdausy, 2011, 2012, dan 2013). Akibatnya, GK absolut yang
dihitung berdasarkan ekuivalen pengeluaran per kapita per bulan menjadi
rendah sehingga banyak penduduk yang tidak merasa telah keluar dari jeratan
kemiskinan.
Tidak
mudah
Memang tidak mudah menaikkan GK absolut nasional. Selain karena alasan
kompleksnya dimensi dan variabel menetapkan GK absolut itu (Sen, 1999; UNDP,
2004; dan Asra, 2010), ”ketakutan” pemerintah menerima kenyataan besarnya
penduduk miskin juga menjadi penyebab utama. Barangkali pemerintah terlalu
membayangkan mahabesarnya harga yang harus dibayar jika GK absolut dinaikkan
sesuai dengan realitas kebutuhan hidup penduduk. Padahal, jika kita mau
belajar dari pengalaman beberapa negara berkembang, khususnya Filipina dan
Tiongkok, ketakutan itu mimpi belaka.
Bahkan, Filipina saja sudah sejak 1970-an melakukan revisi GK absolut
dengan menggunakan GK subyektif yang bersifat bottom-up (self-rated) dalam
menghitung penduduk miskin (Mangahas, 2008). Apalagi jika kita mau berkaca
kepada negara-negara maju yang sudah meninggalkan penggunaan GK absolut dan
merevisinya dengan penggunaan GK relatif dalam menghitung penduduk miskin
dalam periode tertentu (Wagle, 2002). Inilah saatnya pemerintahan baru Joko
Widodo-Jusuf Kalla merevisi kenaikan atas GK absolut nasional. Apalagi
kabinet baru yang dinyaringkan untuk dibentuk tidak sebatas kabinet
profesional, melainkan juga kabinet kerja. Lantas, bagaimana caranya?
Tentu naif jika revisi kenaikan GK nasional saat ini dilakukan dengan
mengganti GK absolut dengan GK relatif seperti halnya di negara maju. GK
relatif menggunakan asumsi bahwa tingkat hidup seseorang tergantung dari
tingkat kesejahteraan penduduk tempat orang itu tinggal. Jika GK ini yang
digunakan, akan selalu ada orang yang miskin walaupun jumlah dan persentase
penduduk miskin bisa menurun dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, pilihan
menaikkan GK yang tersisa hanya dua. Pertama, melakukan kenaikan GK absolut
seperti yang diusulkan Bank Pembangunan Asia. Kedua, mengikuti cara
Pemerintah Filipina yang menaikkan GK absolut menggunakan pendekatan
subyektif.
Kenaikan GK yang disarankan kajian Bank Pembangunan Asia adalah dari Rp
302.735 menjadi Rp 516.420 per kapita per bulan. Asal-usul angka tersebut
menarik untuk dikaji lebih lanjut, khususnya menyangkut detail metode yang
digunakan. Jika kenaikan GK kajian Bank Pembangunan Asia itu didasarkan pada
pendekatan top-down dengan melakukan perubahan pengeluaran pangan dan
nonpangan, saya khawatir kenaikan GK absolut ini kembali bermasalah seperti
GK sebelumnya. Pasalnya, kebutuhan penduduk Indonesia tidak hanya terbatas
pada kebutuhan kalori dan beberapa kebutuhan nonpangan tertentu semata.
Apalagi kebutuhan kalori dapat dipenuhi dengan komponen makanan tinggi kalori
yang cenderung berharga rendah.
Hasil penelitian LIPI 2012 dan 2013 mendapatkan angka GK yang tidak
jauh berbeda. Untuk GK perorangan, LIPI mengusulkan perlu dinaikkan menjadi
Rp 500.000 per bulan, sedangkan untuk rumah tangga dengan dua anak usia
sekolah dasar diperlukan pengeluaran Rp 1.500.000.
Metode yang digunakan LIPI untuk menaikkan GK tersebut didasarkan
pendekatan bottom-up atau lebih dikenal dengan self-rated atau subyektif.
Dalam pendekatan ini, semua sampel responden miskin dan nonmiskin di enam
desa penelitian Bantul (DI Yogyakarta), Palembang (Sumatera Selatan), dan
Gowa (Sulawesi Selatan) ditanyakan langsung melalui daftar pertanyaan tentang
besarnya pengeluaran per kapita dan per rumah tangga per bulan agar tak
terjerat miskin.
Untuk menggali dan mendalami persepsi responden dalam menetapkan GK
pengeluaran per kapita dan per rumah tangga per bulan di atas, sampel
responden diminta menjelaskan dalam daftar pertanyaan tentang detail alokasi
dari GK yang dipersepsikan itu berdasarkan pengeluaran makanan dan
non-makanan. Selain cara ini, juga dilakukan wawancara mendalam secara
langsung kepada sejumlah responden miskin dan nonmiskin sebagai alat kontrol
terhadap jawaban yang diungkapkan dalam daftar pertanyaan tadi.
Tergantung dari visi-misi
Ternyata jawaban yang diperoleh dalam menjelaskan kenaikan GK tersebut
adalah persepsi arti miskin tidak sebatas kecukupan kalori pangan semata,
tetapi juga kecukupan protein dan lauk-pauk, keperluan sehari-hari lainnya, bahan
bakar, biaya transportasi, kelayakan rumah tinggal, adanya pekerjaan, dan
kemampuan memenuhi keperluan sosial masyarakat, seperti kontribusi hajatan
dan kedukaan. Pengeluaran pendidikan dan kesehatan nyaris tidak
diperhitungkan dalam kenaikan GK. Hal ini diungkapkan karena adanya
pendidikan gratis dan Jaminan Kesehatan Masyarakat.
Dari uraian singkat ini, jelas bahwa GK absolut nasional perlu
dinaikkan. Persoalan metode mana yang akan dipilih dan berapa besar kenaikan
yang perlu ditetapkan tentu sangat tergantung dari visi dan misi pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Jika sekadar menghitung jumlah dan persentase penduduk miskin, GK
absolut yang sudah ada perlu dinaikkan. Namun, jika pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla ingin membebaskan jeratan masyarakat dari kemiskinan, GK
subyektif harus dikedepankan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar