Minggu, 19 Oktober 2014

Garis Kemiskinan Perlu Dinaikkan

                           Garis Kemiskinan Perlu Dinaikkan

Carunia Mulya Firdausy  ;   Profesor Riset LIPI
KOMPAS,  17 Oktober 2014

                                                                                                                       


USUL ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB), Guanghua Wan, untuk menaikkan garis kemiskinan Indonesia bukan usul baru (Kompas, 22/8). LIPI telah mengusulkan pentingnya menaikkan garis kemiskinan nasional sejak 2011 (Kompas, 11/4).

Pasalnya, garis kemiskinan (GK) absolut yang dibuat pemerintah menghitung penduduk miskin sejak tahun 1970-an bersifat top-down, di samping kelemahan lain (Firdausy, 2011, 2012, dan 2013). Akibatnya, GK absolut yang dihitung berdasarkan ekuivalen pengeluaran per kapita per bulan menjadi rendah sehingga banyak penduduk yang tidak merasa telah keluar dari jeratan kemiskinan.

Tidak mudah

Memang tidak mudah menaikkan GK absolut nasional. Selain karena alasan kompleksnya dimensi dan variabel menetapkan GK absolut itu (Sen, 1999; UNDP, 2004; dan Asra, 2010), ”ketakutan” pemerintah menerima kenyataan besarnya penduduk miskin juga menjadi penyebab utama. Barangkali pemerintah terlalu membayangkan mahabesarnya harga yang harus dibayar jika GK absolut dinaikkan sesuai dengan realitas kebutuhan hidup penduduk. Padahal, jika kita mau belajar dari pengalaman beberapa negara berkembang, khususnya Filipina dan Tiongkok, ketakutan itu mimpi belaka.

Bahkan, Filipina saja sudah sejak 1970-an melakukan revisi GK absolut dengan menggunakan GK subyektif yang bersifat bottom-up (self-rated) dalam menghitung penduduk miskin (Mangahas, 2008). Apalagi jika kita mau berkaca kepada negara-negara maju yang sudah meninggalkan penggunaan GK absolut dan merevisinya dengan penggunaan GK relatif dalam menghitung penduduk miskin dalam periode tertentu (Wagle, 2002). Inilah saatnya pemerintahan baru Joko Widodo-Jusuf Kalla merevisi kenaikan atas GK absolut nasional. Apalagi kabinet baru yang dinyaringkan untuk dibentuk tidak sebatas kabinet profesional, melainkan juga kabinet kerja. Lantas, bagaimana caranya?

Tentu naif jika revisi kenaikan GK nasional saat ini dilakukan dengan mengganti GK absolut dengan GK relatif seperti halnya di negara maju. GK relatif menggunakan asumsi bahwa tingkat hidup seseorang tergantung dari tingkat kesejahteraan penduduk tempat orang itu tinggal. Jika GK ini yang digunakan, akan selalu ada orang yang miskin walaupun jumlah dan persentase penduduk miskin bisa menurun dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, pilihan menaikkan GK yang tersisa hanya dua. Pertama, melakukan kenaikan GK absolut seperti yang diusulkan Bank Pembangunan Asia. Kedua, mengikuti cara Pemerintah Filipina yang menaikkan GK absolut menggunakan pendekatan subyektif.

Kenaikan GK yang disarankan kajian Bank Pembangunan Asia adalah dari Rp 302.735 menjadi Rp 516.420 per kapita per bulan. Asal-usul angka tersebut menarik untuk dikaji lebih lanjut, khususnya menyangkut detail metode yang digunakan. Jika kenaikan GK kajian Bank Pembangunan Asia itu didasarkan pada pendekatan top-down dengan melakukan perubahan pengeluaran pangan dan nonpangan, saya khawatir kenaikan GK absolut ini kembali bermasalah seperti GK sebelumnya. Pasalnya, kebutuhan penduduk Indonesia tidak hanya terbatas pada kebutuhan kalori dan beberapa kebutuhan nonpangan tertentu semata. Apalagi kebutuhan kalori dapat dipenuhi dengan komponen makanan tinggi kalori yang cenderung berharga rendah.

Hasil penelitian LIPI 2012 dan 2013 mendapatkan angka GK yang tidak jauh berbeda. Untuk GK perorangan, LIPI mengusulkan perlu dinaikkan menjadi Rp 500.000 per bulan, sedangkan untuk rumah tangga dengan dua anak usia sekolah dasar diperlukan pengeluaran Rp 1.500.000.

Metode yang digunakan LIPI untuk menaikkan GK tersebut didasarkan pendekatan bottom-up atau lebih dikenal dengan self-rated atau subyektif. Dalam pendekatan ini, semua sampel responden miskin dan nonmiskin di enam desa penelitian Bantul (DI Yogyakarta), Palembang (Sumatera Selatan), dan Gowa (Sulawesi Selatan) ditanyakan langsung melalui daftar pertanyaan tentang besarnya pengeluaran per kapita dan per rumah tangga per bulan agar tak terjerat miskin.

Untuk menggali dan mendalami persepsi responden dalam menetapkan GK pengeluaran per kapita dan per rumah tangga per bulan di atas, sampel responden diminta menjelaskan dalam daftar pertanyaan tentang detail alokasi dari GK yang dipersepsikan itu berdasarkan pengeluaran makanan dan non-makanan. Selain cara ini, juga dilakukan wawancara mendalam secara langsung kepada sejumlah responden miskin dan nonmiskin sebagai alat kontrol terhadap jawaban yang diungkapkan dalam daftar pertanyaan tadi.

Tergantung dari visi-misi
                                               
Ternyata jawaban yang diperoleh dalam menjelaskan kenaikan GK tersebut adalah persepsi arti miskin tidak sebatas kecukupan kalori pangan semata, tetapi juga kecukupan protein dan lauk-pauk, keperluan sehari-hari lainnya, bahan bakar, biaya transportasi, kelayakan rumah tinggal, adanya pekerjaan, dan kemampuan memenuhi keperluan sosial masyarakat, seperti kontribusi hajatan dan kedukaan. Pengeluaran pendidikan dan kesehatan nyaris tidak diperhitungkan dalam kenaikan GK. Hal ini diungkapkan karena adanya pendidikan gratis dan Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Dari uraian singkat ini, jelas bahwa GK absolut nasional perlu dinaikkan. Persoalan metode mana yang akan dipilih dan berapa besar kenaikan yang perlu ditetapkan tentu sangat tergantung dari visi dan misi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Jika sekadar menghitung jumlah dan persentase penduduk miskin, GK absolut yang sudah ada perlu dinaikkan. Namun, jika pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla ingin membebaskan jeratan masyarakat dari kemiskinan, GK subyektif harus dikedepankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar