Refleksi
UU Pilkada dan UU Pemda :
Antisipasi
Arah Demokrasi ke Depan
Toni Sudibyo ; Alumnus FISIP Universitas Jember;
Alumnus Pasca Sarjana Universitas Indonesia
|
DETIKNEWS,
08 Oktober 2014
UU
Pemilihan Kepala Daerah yang disahkan pada 26 Sepember lalu akhirnya
menetapkan mekanisme pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Banyak pihak
berpendapat, hal ini bertentangan dengan semangat reformasi yang baru
berjalan 16 tahun.
Sejak
2005, pilkada dilaksanakan secara langsung. Semangat dilaksanakannya adalah
koreksi terhadap sistem demokrasi tidak langsung atau perwakilan di era
sebelumnya. Melalui pilkada langsung, masyarakat berhak untuk memberikan
suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa
perantara, dan bebas dari diskriminasi.
Berkaca
pada teori dan praktek demokrasi di negara-negara yang sudah terlebih dahulu
memakai sistem demokrasi, maka sesungguhnya kedaulatan tertinggi ada di
tangan rakyat. Karena itu hampir seluruh negara demokrasi memakai pemilihan
langsung untuk memilih pemimpinnya, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Berbagai
pembenaran pun berusaha dibangun oleh Koalisi Merah Putih sebagai pihak yang
menginginkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Dimulai dari biaya yang
besar, rakyat yang dinilai belum cerdas dan siap dengan pilkada langsung,
prinsip demokrasi keterwakilan, dan berbagai alasan lainnya. Namun, apa pun
pembenaran yang berusaha dibangun, sesungguhnya UU Pilkada yang baru telah
mencederai demokrasi secara substansial.
Pertama,
proses demokrasi tidak bisa disederhanakan dan diserahkan pada elit politik
atau penguasa. Setiap warga negara memiliki hak menentukan pilihan
politiknya, termasuk dalam memilih pemimpinnya. Hak politik tidak boleh
dirampas penguasa atas nama penyederhanaan pengaturan. Apabila memang alasan
biaya yang dipakai misalnya, maka pilkada dapat diselenggarakan secara
serentak.
Kedua,
para anggota DPRD memang memiliki hak dan legitimasi dari rakyat untuk
menjalankan fungsinya sebagai legislatif di daerah. Namun, siapa yang bisa
menjamin bahwa tidak seorang pun di antara mereka terbebas dari koordinasi
paksa oleh pimpinan parpol. Para politisi dikendalikan secara terstruktur
langsung dari pimpinan pusat setiap parpol. Jika ada anggota yang
membangkang, risikonya disingkirkan atau diganti dengan anggota lainnya
dengan mekanisme pergantian antar waktu.
Ketiga,
koalisi yang terbentuk dari tingkat pusat hingga daerah sesunguhnya akan
menghasilkan oligarki atau kartel dalam politik. Kebijakan ke depan nantinya
tidak akan berdasarkan apa kepentingan rakyat dan kebenaran yang harus
diperjuangkan. Namun, konstestasi antar koalisi merupakan agenda utama dalam
setiap pilkada. Jadi tidak masalah dengan kualitas calon pemimpin yang akan
diusung. Hal yang terpenting calon dari koalisi itulah yang akan menang. Hal
ini tentunya akan sangat mengerikan bagi nasib demokrasi ke depan.
Keempat,
politik dagang sapi tentunya tidak akan terhindarkan dalam pilkada. Logikanya
akan lebih mudah untuk membeli sekitar 30 suara atau 60 persen anggota DPRD
di daerah, daripada harus membayar sekian juta masyarakat yang memiliki hak
memilih. Dapat dipastikan, bahwa calon pemimpin daerah ke depan akan
didominasi oleh para pengusaha atau elit politik yang telah mapan. Dengan
demikian, kesempatan orang 'kecil' tetapi memiliki niat besar untuk bekerja
dan berbakti untuk bekerja semakin redup. Calon independen juga semakin kecil
khasnya untuk terpilih, karena para partai politik pastinya tidak akan mau
melepas kesempatan untuk menjadi penguasa daerah.
Kelima,
pemilu tidak langsung justru membuat rakyat semakin tidak cerdas di dalam
politik. Dikatakan behwa rakyat sekarang kurang cerdas dalam memilih
pemimpinnya secara langsung. Namun, bila rakyat semakin dijauhkan dari proses
demokrasi, maka 'kecerdasan' tersebut tidak akan pernah tercapai. Justru
masyarakat akan belajar dari setiap keputusan, kesalahan, dinamika politik
yang mereka lihat dan amati.
UU Pemerintahan Daerah
Terkait
dengan UU Pilkada, maka pada hari yang sama, DPR RI juga mensahkan UU
Pemerintahan Daerah yang terdiri atas 27 Bab dengan 414 pasal. Salah satu hal
yang positif dari UU baru ini ialah semakin ketatnya usulan untuk mengusulkan
daerah pemekaran.
UU Pemda
mengamanatkan Gubernur berwenang mengajukan usulan daerah otonomi baru kepada
DPR. Namun, mesti melalui proses persiapan jangka waktu tiga tahun. UU Pemda
juga diberikan wewenang yang lebih luas dalam menentukan arah pembangunan,
dan program-program yang akan diselenggarakan.
Namun,
potensi ancaman terhadap demokrasi pun masih ada dalam UU yang baru ini.
Seperti halnya UU Pemerintahan Daerah terdahulu. Terdapat beberapa sektor
yang harus diputuskan oleh Pemerintahan Pusat yakni seperti urusan luar
negeri, pertahanan, keamanan nasional, manajemen penegakan hukum, urusan
agama yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta moneter dan fiskal
nasional.
Sesungguhnya
keenam sektor hal tersebut merupakan wilayah dari negara, namun pada
pelaksanaannya kewenangan tersebut perlu kerja sama dan dukungan dari pemda.
Menyangkut
urusan pertahanan negara, sesungguhnya, pemda sangat penting perannya dalam
ikut mempersiapkan SDM. Misalnya, penjagaan daerah-daerah perbatasan dalam
konteks pertahanan akan bernilai strategis bagi daerah terkait jika mereka
ikut dilibatkan. Jika pemda dibebaskan dari urusan ini, yang terjadi bisa
saja sikap tak acuh serta tidak ada rasa memiliki dan rasa bertanggung jawab
dalam upaya pertahanan negara. Pemda juga akan sangat berpengaruh bila ke
depan pemerintah dan DPR akan membahas RUU Perbantuan dan RUU Komponen
Cadangan.
Kemudian
urusan keamanan, keamanan nasional menjadi kewenangan pusat, tetapi keamanan
lokal jelas merupakan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurusnya. UU
Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Konflik Sosial juga telah mengangkat
konsep keamanan lokal dan menjabarkan kewenangan daerah dalam menjaga
keamanan serta mengembangkan kewaspadaan. Pada praktiknya ada program
perpolisian masyarakat (polmas) dan lain sebagainya yang melibatkan partisipasi
pemda, terutama dalam kerja sama dan pendanaan.
Terakhir,
dalam manajemen penegakan hukum, nyatanya tidak bisa berjalan efektif tanpa
dukungan pemda. Oleh karena itu, pemda perlu dilibatkan dalam upaya-upaya
penegakan hukum yang terkait dengan pengelolaan dan perlindungan sumber daya
alam, kejahatan lintas batas, perdagangan manusia dan lain-lain.
Menyangkut urusan agama, justru monopoli pusat dapat mengancam
pendekatan kedaerahan yang berbeda di setiap wilayah. Indonesia merupakan
negara yang plural dengan kekhasan masing-masing daerah. Jadi pengewajantahan
peraturan tentang keagamaan tidak dapat dipukul rata di setiap daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar