Jumat, 10 Oktober 2014

KW-JK : (A) Lone Ranger di Tengah Kebuntuan Komunikasi Politik

JKW-JK : (A) Lone Ranger

di Tengah Kebuntuan Komunikasi Politik

Agus Pambagio  ;   Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
DETIKNEWS,  08 Oktober 2014




Hiruk pikuk politik di negeri ini pasca Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 masih terus berkobar, baik di kalangan elite politik maupun publik golongan cerdik cendekia yang melek politik. Sedangkan kalangan akar rumput biasa-biasa saja, yang terpenting untuk mereka adalah pangan dan kebutuhan hidup lainnya tersedia dengan harga terjangkau.

Hiruk pikuk politik hanya berkisar di ranah pengambil kebijakan dan kelas menengah atas yang paham dan peduli terhadap nasib mereka, termasuk para politisi 'katrok'. Mereka terus meributkan tata cara Pemilu dan nasib Negara ini ke depan. Presiden sudah terpilih secara sangat demokratis dan untuk pertama kalinya keterlibatan relawan publik sangat berperan setelah motor politik partai pengusung Capres/Cawapres “ngebrebet”.

Meskipun bentuk Pemerintah di Republik Indonesia adalah Presidensial bukan Parlementer, namun untuk lancarnya kebijakan pengendalian administrasi Negara dan kebijakan politik, susunan pengambil keputusan di Pemerintahan dan di lembaga Legislatif prosentase kekuatannya harus imbang.

Posisi kekuatan politik saat ini di tingkat Legislatif (DPR), kubu Koalisi Merah Putih (KMP) menguasai 60% dibanding dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang hanya 39,97%. Sementara di lembaga Eksekutif (Kabinet) masih harus menunggu pengumuman Kabinet setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden tanggal 20 Oktober 2014 mendatang.

Indahnya demokrasi bisa dinikmati publik ketika ada keseimbangan kekuatan sehingga bisa saling mengkoreksi. Sayangnya kondisi politik pasca Pilpres 2014 hingga hari ini, sudah pada taraf akan menyulitkan Presiden terpilih. Apalagi kalau 3 anggota Koalisi KIH tidak diakomodir oleh Jokowi (JKW) – Jusuf Kalla (JK) di Kabinet, mereka pasti akan loncat ke KMP. Ingat politik dasarnya adalah kekuasaan, bukan kepentingan rakyat. Maka tinggallah JKW-JK sebagai (A) Lone Ranger karena dukungan partai pengusung tinggal 18,95% (PDIP).

Bisakah Kabinet JKW bertahan dan bekerja dengan anggaran yang kemungkinan akan terus diganjal oleh DPR? Masihkan rakyat dan relawan tetap mendukung JKW-JK, ketika pertikaian politik terus berlangsung dan kondisi fiskal Indonesia terus memburuk, sementara Bank Indonesia (BI) tidak sanggup menahan gejolak pasar modal dan nilai tukar Rupiah?

Politik Tanpa Komunikasi Cederai Demokrasi

Komunikasi di ranah politik merupakan kunci utama jalannya roda Pemerintahan dan dinamika politik di ranah publik. Di politik tidak ada sesuatu yang tidak bisa dibereskan atau buntu. Semua bisa dibereskan melalui komunikasi. Betul sekali di politik, komunikasi menjadi alat tawar menawar. Dalam berdemokrasi, dua sahabat atau bahkan suami istri boleh berbeda partai atau kubu dan itu tidak menjadi permasalahan ketika komunikasi dapat terus dijalankan.

Dari sisi kebijakan publik dengan disahkannya UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota oleh sidang Paripurna DPR tanggal 26 September 2014 dan munculnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan bukti bahwa komunikasi politik hari itu antara Partai Demokrat (PD) sebagai penentu kekuatan Koalisi kedepan dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai pengususng Presiden baru, macet.

Dampak gagalnya komunikasi politik membawa PD merapat ke KMP sehingga kekuatan KMP bertambah dan semakin menguasai DPR/MPR. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan KIH menjelang pelantikan Presiden pada tanggal 20 Oktober 2014 mendatang.

Saya melihat pelantikan Presiden berpotensi mendapat banyak gangguan dari kelompok KMP, misalnya mereka tidak hadir atau hadir tetapi terus meneriakkan interupsi yang mengganggu pelantikan JKW-JK.

Begitu pula dengan drama buntunya komunikasi politik antara Megawati Soekarnoputri (MSP) sebagai Ketua Umum PDIP dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Ketua Umum PD saat Rapat Pemilihan Pimpinan DPR kembali membuat elite dan publik kecewa. Selain geram atas upaya yang dilakukan KMP dengan memunculkan calon-calon bermasalah untuk duduk sebagai pimpinan DPR, elite dan publik juga menganggap ini sebagai sebuah anti klimaks pembuhuhan demokrasi yang selama ini diperjuangkan bersama.

Hal serupa juga terjadi saat pemilihan pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) beserta perangkatnya yang sepenuhnya dikuasai oleh KMP. Pemilihan Ketua MPR yang akan segera dilakukan sudah menjadi jatah PD sebagai buah bergabungnya PD ke kubu KMP paska buntunya komunikasi PD dengan PDIP.

Di sisi lain muncul desakan supaya SBY segera mengeluarkan dan menandatangani Perppu untuk membunuh 2 UU anti demokrasi yang berhasil digolkan oleh KMP. Perppu sudah ditandatangani, pimpinan dan perangkat DPR dan DPD juga sudah ada, malam ini kemungkinan akan terbentuk pimpinan dan perangkat MPR yang semuanya dikuasai oleh partai yang tergabung dalam KMP. Jadi lengkap sudah lembaga Legislatif dan Yudikatif dikuasai KMP. Nah bagaimana dengan KIH?

Dengan kondisi peta politik semacam itu, maka KIH perlu menyiapkan strategi jitu untuk menghadapi gangguan tersebut. Gangguan lain akan muncul saat Kabinet diumumkan JKW-JK. Jika kembali tidak terjadi komunikasi politik yang baik dan berakibat partai pendukung KIH tidak mendapatkan kursi di Kabinet, bukan tidak mungkin Partai pendukung KIH akan hengkang juga ke KMP. Apa dampaknya? Kabinet JKW-JK akan berakrobat supaya program-programnya disetujui oleh DPR yang dikuasai KMP.

Yang saya khawatirkan, Kabinet tidak dapat bekerja untuk menjalankan program-program yang dijanjikan kepada rakyat saat Kampanye Pilpres dengan baik karena harus terus berjibaku dengan DPR, khususnya Komisi teknis, Komisi XI dan Badan Anggaran. Begitu pula saat akan menerbitkan berbagai kebijakan terkait dengan pelaksanaan program-program Pemerintah. Presiden/Wakil Presiden beserta Kabinet akan jadi (A) Lone Ranger.

Apa yang Harus Dilakukan JKW-JK

Dampak macetnya komunikasi politik antara PD sebagai partai penguasa saat ini dengan PDIP sebagai partai pengusung Presiden/Wakil Presiden 2014 – 2019, membuat JKW/JK harus sangat strategis dan arif dalam menyusun Kabinet mendatang. Personelnya selain harus menguasai bidangnya juga secara individu berpengalaman dan mengetahui tata cara berkomunikasi yang “taktis” dengan politisi di Senayan.

Kedua, sebagai akibat macetnya komunikasi politik, khususnya antara PD dan PDIP dalam beberapa hari ini, maka patut diduga JKW-JK harus mengatasi persoalan tersebut dengan biaya politik yang sangat mahal demi menjalankan program-prograrnnya. Kembali nasib rakyat Indonesia yang dipertaruhkan. Jika itu yang terjadi apakah para relawan masih mendukung ? Selamat bertugas, Presiden (A) Lone Ranger.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar