JKW-JK
: (A) Lone Ranger
di
Tengah Kebuntuan Komunikasi Politik
Agus Pambagio ; Pemerhati Kebijakan Publik dan
Perlindungan Konsumen
|
DETIKNEWS,
08 Oktober 2014
Hiruk
pikuk politik di negeri ini pasca Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan
Presiden (Pilpres) 2014 masih terus berkobar, baik di kalangan elite politik
maupun publik golongan cerdik cendekia yang melek politik. Sedangkan kalangan
akar rumput biasa-biasa saja, yang terpenting untuk mereka adalah pangan dan
kebutuhan hidup lainnya tersedia dengan harga terjangkau.
Hiruk
pikuk politik hanya berkisar di ranah pengambil kebijakan dan kelas menengah
atas yang paham dan peduli terhadap nasib mereka, termasuk para politisi
'katrok'. Mereka terus meributkan tata cara Pemilu dan nasib Negara ini ke
depan. Presiden sudah terpilih secara sangat demokratis dan untuk pertama
kalinya keterlibatan relawan publik sangat berperan setelah motor politik
partai pengusung Capres/Cawapres “ngebrebet”.
Meskipun
bentuk Pemerintah di Republik Indonesia adalah Presidensial bukan Parlementer,
namun untuk lancarnya kebijakan pengendalian administrasi Negara dan
kebijakan politik, susunan pengambil keputusan di Pemerintahan dan di lembaga
Legislatif prosentase kekuatannya harus imbang.
Posisi
kekuatan politik saat ini di tingkat Legislatif (DPR), kubu Koalisi Merah
Putih (KMP) menguasai 60% dibanding dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang
hanya 39,97%. Sementara di lembaga Eksekutif (Kabinet) masih harus menunggu
pengumuman Kabinet setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden tanggal 20
Oktober 2014 mendatang.
Indahnya
demokrasi bisa dinikmati publik ketika ada keseimbangan kekuatan sehingga
bisa saling mengkoreksi. Sayangnya kondisi politik pasca Pilpres 2014 hingga
hari ini, sudah pada taraf akan menyulitkan Presiden terpilih. Apalagi kalau
3 anggota Koalisi KIH tidak diakomodir oleh Jokowi (JKW) – Jusuf Kalla (JK)
di Kabinet, mereka pasti akan loncat ke KMP. Ingat politik dasarnya adalah
kekuasaan, bukan kepentingan rakyat. Maka tinggallah JKW-JK sebagai (A) Lone
Ranger karena dukungan partai pengusung tinggal 18,95% (PDIP).
Bisakah
Kabinet JKW bertahan dan bekerja dengan anggaran yang kemungkinan akan terus
diganjal oleh DPR? Masihkan rakyat dan relawan tetap mendukung JKW-JK, ketika
pertikaian politik terus berlangsung dan kondisi fiskal Indonesia terus
memburuk, sementara Bank Indonesia (BI) tidak sanggup menahan gejolak pasar
modal dan nilai tukar Rupiah?
Politik Tanpa Komunikasi Cederai
Demokrasi
Komunikasi
di ranah politik merupakan kunci utama jalannya roda Pemerintahan dan dinamika
politik di ranah publik. Di politik tidak ada sesuatu yang tidak bisa
dibereskan atau buntu. Semua bisa dibereskan melalui komunikasi. Betul sekali
di politik, komunikasi menjadi alat tawar menawar. Dalam berdemokrasi, dua
sahabat atau bahkan suami istri boleh berbeda partai atau kubu dan itu tidak
menjadi permasalahan ketika komunikasi dapat terus dijalankan.
Dari
sisi kebijakan publik dengan disahkannya UU No. 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota oleh sidang Paripurna DPR tanggal 26
September 2014 dan munculnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
merupakan bukti bahwa komunikasi politik hari itu antara Partai Demokrat (PD)
sebagai penentu kekuatan Koalisi kedepan dan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) sebagai partai pengususng Presiden baru, macet.
Dampak
gagalnya komunikasi politik membawa PD merapat ke KMP sehingga kekuatan KMP
bertambah dan semakin menguasai DPR/MPR. Kondisi ini sangat tidak
menguntungkan KIH menjelang pelantikan Presiden pada tanggal 20 Oktober 2014
mendatang.
Saya
melihat pelantikan Presiden berpotensi mendapat banyak gangguan dari kelompok
KMP, misalnya mereka tidak hadir atau hadir tetapi terus meneriakkan
interupsi yang mengganggu pelantikan JKW-JK.
Begitu
pula dengan drama buntunya komunikasi politik antara Megawati Soekarnoputri
(MSP) sebagai Ketua Umum PDIP dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai
Ketua Umum PD saat Rapat Pemilihan Pimpinan DPR kembali membuat elite dan
publik kecewa. Selain geram atas upaya yang dilakukan KMP dengan memunculkan
calon-calon bermasalah untuk duduk sebagai pimpinan DPR, elite dan publik
juga menganggap ini sebagai sebuah anti klimaks pembuhuhan demokrasi yang
selama ini diperjuangkan bersama.
Hal
serupa juga terjadi saat pemilihan pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) beserta perangkatnya yang sepenuhnya
dikuasai oleh KMP. Pemilihan Ketua MPR yang akan segera dilakukan sudah
menjadi jatah PD sebagai buah bergabungnya PD ke kubu KMP paska buntunya
komunikasi PD dengan PDIP.
Di sisi
lain muncul desakan supaya SBY segera mengeluarkan dan menandatangani Perppu
untuk membunuh 2 UU anti demokrasi yang berhasil digolkan oleh KMP. Perppu
sudah ditandatangani, pimpinan dan perangkat DPR dan DPD juga sudah ada,
malam ini kemungkinan akan terbentuk pimpinan dan perangkat MPR yang semuanya
dikuasai oleh partai yang tergabung dalam KMP. Jadi lengkap sudah lembaga
Legislatif dan Yudikatif dikuasai KMP. Nah bagaimana dengan KIH?
Dengan
kondisi peta politik semacam itu, maka KIH perlu menyiapkan strategi jitu
untuk menghadapi gangguan tersebut. Gangguan lain akan muncul saat Kabinet
diumumkan JKW-JK. Jika kembali tidak terjadi komunikasi politik yang baik dan
berakibat partai pendukung KIH tidak mendapatkan kursi di Kabinet, bukan
tidak mungkin Partai pendukung KIH akan hengkang juga ke KMP. Apa dampaknya?
Kabinet JKW-JK akan berakrobat supaya program-programnya disetujui oleh DPR
yang dikuasai KMP.
Yang
saya khawatirkan, Kabinet tidak dapat bekerja untuk menjalankan
program-program yang dijanjikan kepada rakyat saat Kampanye Pilpres dengan
baik karena harus terus berjibaku dengan DPR, khususnya Komisi teknis, Komisi
XI dan Badan Anggaran. Begitu pula saat akan menerbitkan berbagai kebijakan
terkait dengan pelaksanaan program-program Pemerintah. Presiden/Wakil
Presiden beserta Kabinet akan jadi (A) Lone Ranger.
Apa yang Harus Dilakukan JKW-JK
Dampak
macetnya komunikasi politik antara PD sebagai partai penguasa saat ini dengan
PDIP sebagai partai pengusung Presiden/Wakil Presiden 2014 – 2019, membuat
JKW/JK harus sangat strategis dan arif dalam menyusun Kabinet mendatang.
Personelnya selain harus menguasai bidangnya juga secara individu
berpengalaman dan mengetahui tata cara berkomunikasi yang “taktis” dengan politisi
di Senayan.
Kedua, sebagai akibat macetnya komunikasi politik, khususnya antara PD
dan PDIP dalam beberapa hari ini, maka patut diduga JKW-JK harus mengatasi
persoalan tersebut dengan biaya politik yang sangat mahal demi menjalankan
program-prograrnnya. Kembali nasib rakyat Indonesia yang dipertaruhkan. Jika
itu yang terjadi apakah para relawan masih mendukung ? Selamat bertugas, Presiden (A) Lone Ranger. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar