“Memerdekakan
Indonesia dari Pinggiran”
Rasa
Aman yang Terpinggirkan
Diskusi Desk Opini ”Kompas” dengan
Lingkar Muda Indonesia (LMI)
|
KOMPAS,
07 Oktober 2014
SEBELUM
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono menyelesaikan tugasnya pada
pertengahan Oktober 2014, marilah sejenak membuka catatan mengenai jaminan
rasa aman terhadap kebutuhan selayaknya insan di Indonesia.
Kekerasan
berbasis agama atau keyakinan di Indonesia, menurut Setara Institute (2011)
dan CRCS UGM (2014), cenderung meningkat. Kontras mencatat kasus kekerasan
terhadap warga oleh aparat negara meningkat dari 112 kasus (2011) menjadi 448
kasus (2012) dan meningkat lagi menjadi 709 kasus dengan korban mencapai
4.569 warga.
Pada
masa pemerintahan SBY-Boediono masih kita saksikan kekebalan hukum impunitas
atas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat seperti Kasus 1965,
Kasus Trisakti-Semanggi, penghilangan paksa, kerusuhan Mei, dan pembunuhan
Munir.
Perlindungan
terhadap anak tidak maksimal. Ini diperlihatkan dengan meningkatnya kasus
kekerasan terhadap anak: 2.046 (2010), 2.509 (2011), 2.637 (2012), dan 1.824
(Januari-Juni 2013). Komnas Anak menyebut tahun 2013 merupakan tahun siaga
kejahatan seksual karena 62 persen kejahatan terhadap anak adalah kekerasan
seksual.
Hak atas
pendidikan masih terpinggirkan. Data dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan memaparkan bahwa 88,8 persen sekolah di Indonesia—dari SD hingga
SMA/SMK—belum memenuhi mutu standar pelayanan minimal. Sebesar 40,31 persen
dari 201.557 sekolah di Indonesia berada di bawah standar pelayanan minimal,
48,89 persen berada di posisi standar pelayanan minimal, dan 10,15 persen
belaka yang memenuhi standar pelayanan minimal.
Hak atas
kesehatan setali tiga uang. Bank Dunia (2012) mencatat 383 kecamatan belum
memiliki puskesmas saat ini. Jadi, 6,2 juta penduduk Indonesia tak memiliki
akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Masih 42 kabupaten yang
belum memiliki rumah sakit. Itu berarti, 36 juta penduduk Indonesia tak punya
akses terhadap fasilitas kesehatan sekunder. Sebanyak 852 unit atau 9 persen
dari jumlah seluruh puskesmas di Indonesia ternyata belum memiliki instalasi
air. Selain itu, 732 puskesmas lainnya tak punya dokter jaga dan 10.629
fasilitas kesehatan tak dilengkapi listrik.
Unicef
Indonesia menyebutkan jumlah kematian anak balita 152.000 (2012), turun dari
385.000 (1990), tetapi masih sekitar 100 bayi berusia 0-11 bulan meninggal
setiap hari oleh penyebab yang dapat dicegah. Kebanyakan anak yang meninggal
itu berasal dari keluarga miskin dan terpinggirkan.
Dari
perspektif human security atau keamanan insani, dengan jelas terlihat bahwa
ancaman terhadap manusia tidak terbatas pada perang atau konflik dan
kekerasan fisik lainnya, tetapi juga faktor ekonomi, politik, sosial, dan
budaya yang menciptakan kesempatan untuk hidup layak manusia terancam.
Jauh dari cita-cita
Indonesia
tidak lahir dari sebuah kebetulan sejarah, tetapi sengaja dibentuk
berdasarkan cita-cita yang rumusan ringkasnya tersua dalam Pembukaan UUD
1945: bahwa Republik Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat didirikan
dengan ”keinginan luhur” supaya rakyatnya ”berkehidupan kebangsaan yang
bebas” dengan sebuah pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam
ungkapan Bung Karno pada Pidato 4 Mei 1963, hal itu ditegaskan dengan ”...mengadakan di dalam republik Indonesia
itu satu masyarakat yang adil dan makmur, satu masyarakat yang tiap-tiap
orang hidup bahagia, cukup sandang, cukup pangan. Mendapat perumahan yang
baik. Tak ada anak-anak sekolah yang tidak masuk sekolah. Pendek kata, satu
masyarakat yang adil dan makmur yang tiap-tiap manusia hidup bahagia di
dalamnya.”
Terkait
dengan negara yang hadir bagi kesejahteraan rakyat, menarik menyimak ulang
pernyataan presiden terpilih Joko Widodo dalam debat capres-cawapres bahwa
”demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya”. Masalah
pokok dalam demokrasi, menurut Bowles dan Gintis (1976), adalah bagaimana
menjamin partisipasi penuh mayoritas rakyat dalam pengambilan keputusan,
serta melindungi mayoritas dari setiap pengaruh yang tidak semestinya yang
berasal dari minoritas yang tidak representatif.
Pernyataan
Jokowi ini dapat ditafsirkan sebagai rumusan yang tajam mengenai paham
”negara yang hadir bagi rakyat” sehingga ”membangun Indonesia dari pinggiran”
merupakan salah satu jawaban bagi masalah pokok dalam demokrasi yang disebutkan
di atas. Hanya sesudah ada pemahaman mendalam akan alasan berdirinya sebuah
negara dapat dirumuskan langkah berikut berdasarkan pertanyaan berikut ini.
Model
perubahan seperti apa yang diperlukan untuk menjamin kehadiran negara bagi
rakyat, terutama rakyat yang selama ini dipinggirkan? Model pembangunan
seperti apa yang menjamin (bersifat preventif dan bukan reaktif) masyarakat,
khususnya yang selama ini di pinggiran dan terpinggirkan, terpenuhi
kebutuhan-kebutuhannya dan terlindungi hak-haknya? Kebijakan- kebijakan apa
yang dapat mencegah timbulnya akibat samping pembangunan yang mengancam HAM
dan jaminan keamanan insani/komunitas?
Baru, dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, bisa dipertimbangkan
model kabinet seperti apa yang diperlukan serta siapa saja orang-orang yang
layak dan tepat mengisi posisi di kabinet itu. Cukup pasti,
pertanyaan-pertanyaan itu menuntut Revolusi Mental pertama-tama diterapkan
kepada para perancang kebijakan. Membangun dari pinggiran mensyaratkan banyak
konsepsi harus diubah (Baca: ”Solusi
untuk Jokowi-JK”). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar