Selasa, 07 Oktober 2014

Memerdekakan dari Pinggiran

“Memerdekakan Indonesia dari Pinggiran”

Memerdekakan dari Pinggiran

Diskusi Desk Opini ”Kompas” dengan Lingkar Muda Indonesia (LMI)
KOMPAS,  07 Oktober 2014




Pengantar Redaksi
Menandai peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 2014, Desk Opini ”Kompas” bekerja sama dengan Lingkar Muda Indonesia (LMI) pada Kamis, 28 Agustus 2014, menyelenggarakan Diskusi Panel Seri Kedua 2014 di Bentara Budaya Jakarta. Dengan tema ”Memerdekakan Indonesia dari Pinggiran”, diskusi mengetengahkan pembicara Karlina Supelli (STF Driyarkara), Riza Damanik (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia), Yando Zakaria (mantan tenaga ahli Panitia Khusus dan Panitia Kerja RUU Desa DPR), dan Abdee Negara (Slank). Hasil diskusi dirangkum oleh Tamrin Amal Tomagola dan Sri Palupi dari LMI serta wartawan ”Kompas”, Salomo Simanungkalit, yang diturunkan pada halaman 6 dan 7 hari ini.

—————————————————————————————————


SUNGGUH memprihatinkan bahwa sampai dengan bulan Agustus ke-69 sejak Proklamasi Kemerdekaan, sebanyak 6 dari 10 responden dalam jajak pendapat Kompas per 18 Agustus masih belum sepenuhnya merasakan kemerdekaan.
Hampir pasti mayoritas rakyat yang belum juga merdeka ini bermukim di Indonesia pinggiran. Mereka masih belum merdeka, baik dalam pengertian merdeka dari berbagai perangkap keterbatasan yang melumpuhkan untuk sekadar hidup layak sebagai manusia, apalagi dalam makna merdeka untuk mengaktualkan diri.

Hanya sejumput kecil dari rakyat Indonesia di wilayah perkotaan Jawa-Sumatera-Bali, khususnya kelas menengah dan kelas atas di permukiman sejenis Pondok Indah di Jakarta, yang paling menikmati berkah Proklamasi Kemerdekaan. Dapat dikatakan, mereka telah sepenuhnya merdeka dalam kedua makna itu: merdeka dari beban belitan hidup dan merdeka untuk mengaktualkan diri layaknya seorang insan mandiri yang bermartabat.

Dua subkategori

Indonesia pinggiran terdiri atas dua subkategori. Pertama, keterpinggiran secara fisik-geografis, jauh dari pusat pengambilan keputusan dan pusat pertumbuhan ekonomi dengan prasarana perhubungan yang sangat minim. Kedua, keterpinggiran struktural, yaitu kelompok-kelompok yang terus dipinggirkan beragam kebijakan politik-ekonomi dalam bidang penguasaan lahan, perkebunan, energi dan pertambangan, perikanan, serta perdagangan kebutuhan pokok rakyat. Rakyat yang tinggal di desa pegunungan dan kampung nelayan, baik di pulau terpencil maupun di sepanjang pesisir kelima pulau utama Nusantara.

Wilayah di selingkar sabuk perbatasan negara, seperti sejumlah besar wilayah Nusa Tenggara Timur, Papua, Maluku, Kalimantan Utara, dan Kepulauan Riau, tertimpa dua kutukan keterpinggiran sekaligus: keterpinggiran geografis bertindih dengan keterpinggiran struktural. Adapun rakyat miskin kota yang tinggal di kawasan kumuh miskin perkotaan terus menjadi korban peminggiran struktural. Kepapaan di kedua wilayah Indonesia pinggiran ini demikian telak memustahilkan rakyatnya hidup selayaknya manusia. Jaminan rasa aman dari beragam ancaman (human security) menjadi mimpi mewah yang tak kunjung tergapai.

Menyadari parahnya kepapaan rakyat di kedua subkategori Indonesia pinggiran itu, komunitas Lingkar Muda Indonesia-Kompas menyelenggarakan diskusi ”Memerdekakan Indonesia dari Pinggiran”. Kegiatan tersebut dianggap penting untuk menangkap momentum bulan Proklamasi 2014 pada ambang era baru pemerintahan presidensial Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Ada empat masalah strategis bagi rakyat Indonesia pinggiran: problematika kenelayanan/kelautan yang dibedah M Riza Damanik; pertanian/perdesaan yang diurai R Yando Zakaria; kelayakan hidup sebagai manusia, human security, yang dibahas Karlina Supelli; serta potensi pengembangan industri kreatif bagi generasi muda dalam konteks perjumpaan budaya lokal dengan budaya global berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi yang diutarakan Abdee Negara Slank.

Akar keterpinggiran

Dalam diskusi itu terungkap bahwa terus berlanjutnya peminggiran secara terstruktur, sistemik, dan masif ini berakar pada satu sebab pokok yang diperparah sejumlah sebab ikutan. Akar sebab pokok itu adalah ambruknya fondasi ideologis dari beragam upaya rencana pembangunan yang pernah dirumuskan dan diusahakan beberapa rezim pemerintahan sejak proklamasi hingga kini. Padahal, fondasi ideologis itu jelas-jelas termaktub dalam alinea ke-4 Mukadimah Konstitusi RI: ”…Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia….”

Rencana pembangunan berikut implementasi programnya yang pernah ada cenderung dirumuskan sentralistis, pragmatis-teknokratis, elitis tanpa menghiraukan realitas empiris lapangan sambil menutup telinga terhadap aspirasi rakyat di Indonesia pinggiran. Alih-alih melindungi, beragam upaya pembangunan di masa lampau malah mempreteli kedaulatan politik rakyat, melucuti kemandirian ekonomi rakyat, serta merusak kepribadian budaya lokal di Indonesia pinggiran.

Dalam ranah kelautan dan kenelayanan, Riza Damanik menunjuk paling kurang ada dua sebab utama, turunan dari ambruknya fondasi ideologis pembangunan. Pertama, berlanjutnya disorientasi kronis pengelolaan laut Indonesia. Berkah kekayaan kelautan sama sekali tidak dikelola untuk ”sebesar-besar kemakmuran rakyat”, tetapi lebih untuk sebesar-besar pendapatan pajak negara. Akibatnya ialah sektoralisme pengelolaan laut. Kelautan direduksi menjadi hanya sektor ekonomi yang lepas dari keterjalinannya dengan ranah sosial dan budaya kelautan.

Pihak yang langsung terkena dampak disorientasi kronis pengelolaan kelautan dan sektoralisme yang menyertainya itu adalah para nelayan tangkap. Dampak tersebut menimpa mereka, baik secara perorangan maupun sebagai komunitas kolektif. Sekitar 90 persen nelayan tangkap adalah nelayan kecil yang harus bersaing, bukan hanya dengan sesama mereka, melainkan juga dengan kapal-kapal besar yang leluasa menangkap ikan di perairan kurang dari 12 mil laut. (sekitar 21,6 kilometer). Menurut Riza Damanik, minimnya tangkapan nelayan lebih disebabkan tidak efektifnya instrumen dan aparat negara bekerja di laut.

Dalam ranah pertanian, menurut Yando Zakaria, berlangsung proses yang serupa. Aset vital seperti lahan, bibit, dan pupuk kian dilucuti, baik dari pemilikan maupun kontrol petani. Beragam perangkat perundang-undangan yang dihasilkan dalam era Reformasi dalam usaha perkebunan, pertambangan, dan investasi kian melanggengkan pengambilalihan lahan dan hutan milik rakyat, termasuk yang tadinya dalam hak ulayat komunitas adat lokal.

Rezim pemerintahan pasca proklamasi tetap melanjutkan kebijakan pemerintah kolonial yang sejak 1870-an melegalkan pengambilalihan lahan rakyat perdesaan. Aset vital strategis rakyat perdesaan, khususnya komunitas ulayat adat, dilucuti terstruktur, sistematis, dan masif sebab ditopang dan dilindungi pemerintahan kolonial dan rezim pemerintahan RI.

Sejak 1870 hingga kini kian kuat terjalin perselingkuhan modal-global dengan negara, yang kadang-kadang juga dengan lembaga agama di satu pihak, berhadaphadapan dengan rakyat, khususnya masyarakat adat di pihak yang lain. Wilayah geografis-pinggiran yang paling diminati modal global ini tentu kaya akan sumber daya alam. Wilayah yang belum terlacak sumber daya alamnya diabaikan oleh dwiserangkai utama ini: modal dan negara.

Sesudah kemerdekaan politik dicapai pada 1945, rezim yang susul-menyusul memerintah di Indonesia ada yang berusaha memangkas rantai eksploitasi dwikuasa itu, tetapi ada juga yang malah memperkukuh dan melanggengkan cengkeraman modal yang dikawal oleh negara centeng (I Wibowo, 2005) ini. Komunitas masyarakat adat Nusantara, khususnya di wilayah pinggiran, kian menderita peminggiran berlapis ini. Akhir-akhir ini bangsa dan negara kian terhinakan dengan kesediaan rezim pemerintahan sejak 1965 menyuguhkan Indonesia ke panggung dunia, baik sebagai pasar raya produk-produk industri maupun pertanian asing, dan, tak kalah menariknya, sebagai negeri lahan investasi yang sangat menjanjikan. Daerah dan rakyat Indonesia pinggiran kian terpuruk dipinggirkan secara struktural.

Khusus tentang nasib komunitas adat Nusantara, Yando menunjuk pada kian tercabik dan terlucutinya satuan susunan asli Nusantara ini. Kerusakan bukan hanya pada tataran sebagai susunan asli satuan sosial-budaya, lewat program permukiman kembali ”suku-suku terasing”, melainkan juga sebagai satuan sosial-ekonomi, lewat penelantaran kepastian hak ulayat; ataupun sebagai satuan administratif-politik lewat kebijakan penyeragaman desa yang membuat desa adat kehilangan otonomi mengatur diri sendiri.

Ketidakberdayaan politik rakyat Indonesia pinggiran yang diperparah oleh kepapan dan keterpurukan ekonomi mengakibatkan kian tak berdaya mereka menghadapi beragam ancaman atas kelayakan hidup insaninya. Karlina Supelli mencatat diabaikannya berbagai hak dasar insani, baik sebagai perorangan maupun sebagai kolektiva. Hak dasar insani yang terabaikan itu meliputi hak atas budaya, hak atas kesehatan, hak atas air bersih, serta hak atas keselamatan kerja buruh pabrik dan perkebunan.

Dalam ranah industri kreatif, menurut Abdee Negara Slank, potensi kekayaan artistik budaya lokal dalam wujud: aneka kuliner; aneka kerajinan tenun rakyat, tarian, dan musik etnis terancam terpinggirkan oleh serbuan aneka budaya global dari mancanegara.

Kecenderungan ini perlu dibalik dengan mengemas perjumpaan lokal-global dalam suatu pemaduan persilangan budaya yang saling memperkaya. Produk gagasan budaya lokal yang telah diperkaya oleh pemaduan silang budaya itu pada gilirannya nanti dapat dijadikan komoditas ekonomi yang dipasarkan di dunia internasional. Produk budaya industri kreatif yang berkualitas internasional, tetapi tetap berkepribadian Indonesia tak ayal lagi memiliki prospek cerah di dunia kontemporer sekarang ini.

Peluang

Forum diskusi ini mengidentifikasi beberapa landasan peluang memerdekakan Indonesia dari pinggiran. Riza Damanik mencatat bahwa dalam upaya pengelolaan laut dan perikanan, ada tiga perkembangan positif yang membuka peluang bagi pemerintahan Jokowi-JK memerdekakan komunitas nelayan kecil tradisional (lihat: ”Membenahi Halaman Belakang”).

Dalam bidang perdesaan dan pertanian pun ada beberapa perkembangan positif yang turut membuka peluang bagi pemerdekaan rakyat perdesaan/pertanian dan komunitas masyarakat adat. Yando Zakaria mengutarakan, Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012, MK tidak hanya merumuskan yang dimaksud dengan masyarakat adat, tetapi juga mengakui hak ulayat masyarakat adat dengan kriteria yang sudah ditetapkan dalam keputusan MK sebelumnya (lihat: ”Membenahi Halaman Belakang”) .

Dalam jaminan kehidupan insani, human security, Karlina Supelli mengingatkan masih berlangsungnya perdebatan tentang baik makna konsep maupun lingkup konsep yang terus mengalami perluasan makna ini. Peluang dipenuhinya jaminan minimal bebas dari rasa takut dan kemelaratan untuk kemudian berada dalam posisi bebas bertindak atas namanya sendiri masih sangat kecil, khususnya bagi rakyat di Indonesia pinggiran.

Lagi pula, pemenuhan jaminan kehidupan insani yang layak sangat bergantung pada profil, ruang gerak, dan kinerja dari banyak sekali lembaga negara ataupun nirnegara. Dengan demikian, jaminan sejenis sebetulnya adalah outcomes sekaligus indikator kumulatif dari tahap kemerdekaan yang dicapai suatu kelompok/masyarakat tertentu.

Era digital yang tak bertepi ini sebetulnya membuka peluang yang tak terhingga bagi industri kreatif untuk menyajikan unggulan-unggulan budaya lokal Nusantara ke pentas nasional, regional, dan internasional. Abdee Negara Slank mengantisipasi terbukanya peluang mentransformasi gagasan budaya menjadi gagasan ekonomi dan produk ekonomi dalam suatu siklus dinamis yang saling memperkaya.

Ketenaran jenis kuliner seperti rendang dan nasi goreng di restoran mancanegara dan tenunan batik yang sangat kuat menampilkan identitas Indonesia sesungguhnya menjanjikan peluang bagi produk-produk budaya lokal Nusantara yang sangat kaya ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar