Ramuan
Tradisional
Heri Priyatmoko ; Anggota Tim Pusaka Kota Surakarta
|
TEMPO.CO,
28 September 2014
"Wong Jawa kuwi sugih tamba." Demikianlah ungkapan leluhur
kita yang nyaris tenggelam berbarengan dengan tersingkirnya ramuan klasik
Nusantara akibat ekspansi obat-obatan asing. Idiom tersebut pernah membuat
antropolog termasyhur Clifford Geertz terkejut sewaktu mengadakan riset di
Jawa Timur. Dalam karyanya yang menjadi klasik, Abangan, Santri, Priyayi
(1983), Geertz mengungkapkan bahwa dokter-dokter hanya punya dua obat (pil
dan suntikan), sementara orang Jawa punya ribuan.
Belum lama ini, di Kota Surakarta, digelar acara Solo Festival Jamu.
Acara minum ramuan klasik secara massal dan pameran stan jamu dari berbagai
kelurahan itu berupaya membangkitkan kepedulian publik terhadap ramuan
tradisional sebagai produk kebudayaan Nuswantara. Setiap kelurahan bebas
menampilkan ramuan tradisional kreasi sendiri. Usaha memasyarakatkan ramuan
pribumi mendesak dilakukan karena obat-obat dari negeri seberang kini
membanjiri Indonesia bak tanggul jebol.
Nenek moyang kita, baik yang berada di lingkungan keraton maupun
pedesaan, meninggalkan warisan agung berupa aneka jenis ramuan tradisional disertai
bahan yang berlimpah. Sayang bila ramuan yang sejatinya produk intelektual
bangsa ini sekarang kerap menjadi bahan cemooh. Pemikiran Barat yang
mengedepankan nalar mempengaruhi manusia Indonesia modern untuk tiada lagi
mempercayai local genius yang dibungkus gugon tuhon atau mitos, sebuah cara
leluhur kita menyembunyikan fakta.
Gugon tuhon dalam dunia pengobatan tradisional sejak periode kerajaan
telah menjadi bahan perdebatan, dan diberitakan oleh jurnalis di masa itu.
Koran Darmo Kondo edisi 25 Maret 1907 menginformasikan pentingnya orang Jawa
percaya gugon tuhon, dan kepercayaan ini diprediksi tak akan hilang ditelan
zaman. Dikisahkan, di Surakarta terdapat pohon Gom. Pakubuwono VIII pernah
duduk di sekitar pohon itu, dan bersabda bahwa pohon ini sudah ditakdirkan
Gusti Allah bisa menyembuhkan orang yang terkena penyakit sariawan. Caranya,
tangkainya dipotong dengan sebilah keris atau sabit seraya mengucapkan
mantra: "tidak motong doerinja pohoen Gom, tetapi motong penyakit
gom".
Ternyata, tangkai itu terbukti mujarab. Akhirnya, banyak warga memakai
tangkai pohon Gom untuk ramuan mengobati sariawan. Bahkan mereka juga takut
menempati di bekas tempat duduk raja lantaran dianggap wingit. Tafsir
kritisnya adalah kewingitan tersebut diciptakan supaya penduduk tidak merusak
pohon dan batu. Pesan tersirat raja juga dapat kita tangkap bahwa Tuhan
memang menciptakan obat untuk manusia dari berbagai bahan alam yang ada di
sekitarnya.
Kala itu, sebenarnya sudah beredar obat atau pil di toko. Akan tetapi,
harganya belum tentu terjangkau oleh wong cilik. Seperti yang diberitakan
Darmo Kondo edisi 27 Mei 1923, telah muncul iklan Pil Slamet yang dikabarkan
bisa mengobati aneka penyakit.
Harus diingat bahwa mayoritas masyarakat Jawa periode kerajaan ialah
kaum petani miskin dan buruh. Juga dengan corak pemikirannya yang pramodern
dan hunian dekat alam pedesaan-pegunungan, maka mereka memilih memakai ramuan
tradisional guna mencegah atau mengusir penyakit yang mendera. Suatu
kenyataan historis bahwa di wilayah pedesaan terdapat mantri umum yang
bertugas memberi penyuluhan, dan mantri spesialis jenis penyakit. Tapi,
mantri ini muncul kala tertentu, saat di mana wabah penyakit merebak yang
dinilai merawankan keselamatan orang-orang Eropa di kota. Kaum wong cilik jarang
ikut merasakan keahlian mantri, mereka cukup mengandalkan ramuan klasik.
Berbekal ilmu titen dan teknik takaran manual (sejimpit, sejumput,
sekilan, sekepel, dan segelas), leluhur kita menjaga kesehatan dengan ramuan
kuno seperti jamu. Kemudian, munculnya usaha penerbitan buku cukup membantu
membumikan sekaligus melestarikan kekayaan budaya itu. Pengetahuan tentang
ramuan berkhasiat yang bersifat lisan ditulis dan dicetak menjadi buku, lalu
disebarluaskan. Misalnya, Serat Primbon Jampi Jawi yang tersimpan di
perpustakaan Reksopustoko, Mangkunegaran. Dalam naskah tersebut, ada dua
jenis pengobatan, yaitu pengobatan tradisional dengan ramuan obat serta
pengobatan tradisional spiritual/kebatinan karena atas dasar kepercayaan dan
atas dasar agama (membaca Surat Al-Ikhlas dan mantera Sunan Kalijaga).
Dalam pemahaman orang Jawa, kuasa ilahi meresapi seluruh alam raya,
termasuk manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda. Mungkin wajar bila
pembaca bingung menelaah mentah-mentah isi naskah klasik, apalagi menggunakan
kacamata modern. Sistem penyembuhan tradisional yang tersurat dalam serat
semestinya ditempatkan pada suatu posisi dalam konstelasi budaya dan
masyarakat di mana sistem itu berjalan. Guna menilai sistem ini kudu
dikaitkan dengan cara manusia Jawa memandang alam sekitarnya dan dirinya.
Ramuan kuno jangan cepat-cepat dituding musyrik dan klenik. Kita
semestinya paham bahwa banyak negara di dunia yang punya sistem medis kuno
dan tidak tertulis, termasuk di Indonesia. Masyarakat pendukungnya berhasrat
meningkatkan sistem medis asli itu pada status "terpisah tapi
sederajat" dengan kedokteran Barat, dilandasi argumen mengenai segi
kekunoan pengetahuan medis negara yang bersangkutan atau kemasyhuran
efektivitas pengobatan tradisional itu.
Dari paparan historis ini, diketahui bahwa, dari waktu ke waktu, ramuan
kuno telah memainkan peran penting dalam dunia kesehatan Indonesia. Juga
melambangkan masa silam negeri ini dan tingkat peradaban Nusantara yang
tinggi di masa lalu. Ramuan berbahan tumbuhan yang berasal dari alam raya
merupakan ilmu pengobatan asli rakyat Indonesia, yang sudah dikenal
berabad-abad lamanya. Apakah kita tega membiarkan kearifan lokal ini hilang,
dan lebih memilih berkiblat pada obat-obatan Cina dan Barat? Jika demikian
adanya, berarti kita adalah bangsa yang tak mandiri dan gagal mengelola
pusaka leluhur yang berharga itu. Obat saja harus impor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar