Rabu, 01 Oktober 2014

Ramuan Tradisional

Ramuan Tradisional

Heri Priyatmoko  ;   Anggota Tim Pusaka Kota Surakarta
TEMPO.CO,  28 September 2014

                                                                                                                       


"Wong Jawa kuwi sugih tamba." Demikianlah ungkapan leluhur kita yang nyaris tenggelam berbarengan dengan tersingkirnya ramuan klasik Nusantara akibat ekspansi obat-obatan asing. Idiom tersebut pernah membuat antropolog termasyhur Clifford Geertz terkejut sewaktu mengadakan riset di Jawa Timur. Dalam karyanya yang menjadi klasik, Abangan, Santri, Priyayi (1983), Geertz mengungkapkan bahwa dokter-dokter hanya punya dua obat (pil dan suntikan), sementara orang Jawa punya ribuan.

Belum lama ini, di Kota Surakarta, digelar acara Solo Festival Jamu. Acara minum ramuan klasik secara massal dan pameran stan jamu dari berbagai kelurahan itu berupaya membangkitkan kepedulian publik terhadap ramuan tradisional sebagai produk kebudayaan Nuswantara. Setiap kelurahan bebas menampilkan ramuan tradisional kreasi sendiri. Usaha memasyarakatkan ramuan pribumi mendesak dilakukan karena obat-obat dari negeri seberang kini membanjiri Indonesia bak tanggul jebol.

Nenek moyang kita, baik yang berada di lingkungan keraton maupun pedesaan, meninggalkan warisan agung berupa aneka jenis ramuan tradisional disertai bahan yang berlimpah. Sayang bila ramuan yang sejatinya produk intelektual bangsa ini sekarang kerap menjadi bahan cemooh. Pemikiran Barat yang mengedepankan nalar mempengaruhi manusia Indonesia modern untuk tiada lagi mempercayai local genius yang dibungkus gugon tuhon atau mitos, sebuah cara leluhur kita menyembunyikan fakta.

Gugon tuhon dalam dunia pengobatan tradisional sejak periode kerajaan telah menjadi bahan perdebatan, dan diberitakan oleh jurnalis di masa itu. Koran Darmo Kondo edisi 25 Maret 1907 menginformasikan pentingnya orang Jawa percaya gugon tuhon, dan kepercayaan ini diprediksi tak akan hilang ditelan zaman. Dikisahkan, di Surakarta terdapat pohon Gom. Pakubuwono VIII pernah duduk di sekitar pohon itu, dan bersabda bahwa pohon ini sudah ditakdirkan Gusti Allah bisa menyembuhkan orang yang terkena penyakit sariawan. Caranya, tangkainya dipotong dengan sebilah keris atau sabit seraya mengucapkan mantra: "tidak motong doerinja pohoen Gom, tetapi motong penyakit gom".

Ternyata, tangkai itu terbukti mujarab. Akhirnya, banyak warga memakai tangkai pohon Gom untuk ramuan mengobati sariawan. Bahkan mereka juga takut menempati di bekas tempat duduk raja lantaran dianggap wingit. Tafsir kritisnya adalah kewingitan tersebut diciptakan supaya penduduk tidak merusak pohon dan batu. Pesan tersirat raja juga dapat kita tangkap bahwa Tuhan memang menciptakan obat untuk manusia dari berbagai bahan alam yang ada di sekitarnya.

Kala itu, sebenarnya sudah beredar obat atau pil di toko. Akan tetapi, harganya belum tentu terjangkau oleh wong cilik. Seperti yang diberitakan Darmo Kondo edisi 27 Mei 1923, telah muncul iklan Pil Slamet yang dikabarkan bisa mengobati aneka penyakit.

Harus diingat bahwa mayoritas masyarakat Jawa periode kerajaan ialah kaum petani miskin dan buruh. Juga dengan corak pemikirannya yang pramodern dan hunian dekat alam pedesaan-pegunungan, maka mereka memilih memakai ramuan tradisional guna mencegah atau mengusir penyakit yang mendera. Suatu kenyataan historis bahwa di wilayah pedesaan terdapat mantri umum yang bertugas memberi penyuluhan, dan mantri spesialis jenis penyakit. Tapi, mantri ini muncul kala tertentu, saat di mana wabah penyakit merebak yang dinilai merawankan keselamatan orang-orang Eropa di kota. Kaum wong cilik jarang ikut merasakan keahlian mantri, mereka cukup mengandalkan ramuan klasik.

Berbekal ilmu titen dan teknik takaran manual (sejimpit, sejumput, sekilan, sekepel, dan segelas), leluhur kita menjaga kesehatan dengan ramuan kuno seperti jamu. Kemudian, munculnya usaha penerbitan buku cukup membantu membumikan sekaligus melestarikan kekayaan budaya itu. Pengetahuan tentang ramuan berkhasiat yang bersifat lisan ditulis dan dicetak menjadi buku, lalu disebarluaskan. Misalnya, Serat Primbon Jampi Jawi yang tersimpan di perpustakaan Reksopustoko, Mangkunegaran. Dalam naskah tersebut, ada dua jenis pengobatan, yaitu pengobatan tradisional dengan ramuan obat serta pengobatan tradisional spiritual/kebatinan karena atas dasar kepercayaan dan atas dasar agama (membaca Surat Al-Ikhlas dan mantera Sunan Kalijaga).

Dalam pemahaman orang Jawa, kuasa ilahi meresapi seluruh alam raya, termasuk manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda. Mungkin wajar bila pembaca bingung menelaah mentah-mentah isi naskah klasik, apalagi menggunakan kacamata modern. Sistem penyembuhan tradisional yang tersurat dalam serat semestinya ditempatkan pada suatu posisi dalam konstelasi budaya dan masyarakat di mana sistem itu berjalan. Guna menilai sistem ini kudu dikaitkan dengan cara manusia Jawa memandang alam sekitarnya dan dirinya.

Ramuan kuno jangan cepat-cepat dituding musyrik dan klenik. Kita semestinya paham bahwa banyak negara di dunia yang punya sistem medis kuno dan tidak tertulis, termasuk di Indonesia. Masyarakat pendukungnya berhasrat meningkatkan sistem medis asli itu pada status "terpisah tapi sederajat" dengan kedokteran Barat, dilandasi argumen mengenai segi kekunoan pengetahuan medis negara yang bersangkutan atau kemasyhuran efektivitas pengobatan tradisional itu.

Dari paparan historis ini, diketahui bahwa, dari waktu ke waktu, ramuan kuno telah memainkan peran penting dalam dunia kesehatan Indonesia. Juga melambangkan masa silam negeri ini dan tingkat peradaban Nusantara yang tinggi di masa lalu. Ramuan berbahan tumbuhan yang berasal dari alam raya merupakan ilmu pengobatan asli rakyat Indonesia, yang sudah dikenal berabad-abad lamanya. Apakah kita tega membiarkan kearifan lokal ini hilang, dan lebih memilih berkiblat pada obat-obatan Cina dan Barat? Jika demikian adanya, berarti kita adalah bangsa yang tak mandiri dan gagal mengelola pusaka leluhur yang berharga itu. Obat saja harus impor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar