Belanja
Online
Nur Haryanto ; Wartawan Tempo
|
KORAN
TEMPO, 29 September 2014
Dari akun Facebook saya muncul berita soal pria Tionghoa yang baru saja
membuat sejarah sepekan lalu. Kabar itu dikirim oleh teman saya, warga
Beijing, Cina, Senin lalu. Pria dalam berita itu bernama Jack Ma.
Jack Ma baru saja sukses menjual saham perdana Alibaba Group melalui
initial public offering (IPO) di Bursa Efek New York, Amerika Serikat. Harga
saham Alibaba ditutup menguat 38 persen menjadi US$ 93,89 per lembar, Kamis
pekan lalu waktu setempat. Jack Ma sontak jadi orang terkaya di Cina dengan pundi-pundi
mencapai US$ 25 miliar atau lebih dari Rp 290 triliun.
Saya membaca kabar itu dan memberi tanda jempol. Sedikit komentar
basa-basi, tapi intinya salut atas sukses Jack Ma, bisnis online, serta
teknologi informasi di Cina yang semakin pesat kemajuannya. Tapi, kalau
dipikir-pikir, sukses itu bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah
Republik Rakyat Cina. Sebab, sampai kini pemerintah Cina belum membuka akses
sejumlah situs Internet, seperti YouTube, Twitter, bahkan Facebook sekalipun.
Kalau teman saya ini mempunyai akun Facebook sejak tiga bulan lalu, itu lain
cerita.
Soal belanja online di Cina, saya jadi ingat tiga tahun lalu. Saat itu
saya bertandang ke kantor teman saya ini di Beijing. Di depan gerbang kantor
itu,sekitar pukul 10.00, beberapa pegawai yang kebanyakan wanita bermunculan
keluar. Mereka menyambut para kurir yang datang membawa berbagai barang
pesanan.
Saya amati, pada boks-boks itu tertulis amazon.com, 360buy.com, ZTO.cn,
dan banyak lagi dengan huruf Mandarin yang saya tak pahami. Para kurir itu
membawa barang-barang pesanan yang terbungkus kertas warna cokelat.
Macam-macam ukurannya, dari yang sebesar kotak sepatu sampai seukuran kotak
ponsel.
Menurut teman saya, belanja online di Cina mulai ramai sekitar awal
2008. Barang-barang yang dijual beragam, dari peralatan elektronik, rumah
tangga, sampai suku cadang kendaraan. "Memang lebih murah beli barang
melalui online," kata teman saya ini.
Hari itu, saya diajak teman saya jalan-jalan di Kota Beijing. Menjelang
sore, dia meminta saya mampir ke apartemennya. Rupanya, istrinya sudah
menyiapkan sambutan dengan masakan spesial: bebek panggang. Juga berbagai
makanan khas Cina lain. "Jangan khawatir, semuanya tidak memakai
babi," kata teman saya bercanda.
Bersama keluarganya, saya menyantap makanan di atas satu meja kecil di
apartemen seluas 150 meter persegi miliknya. Anak teman saya yang berusia
tujuh tahun pun ikut dan terlihat riang. Setelah makan, bocah itu mengajak
saya menuju ujung ruangan di dekat jendela. Di sana, dia mengeluarkan hamster
dari kandang dan mengulurkan peliharaan kesayangannya itu ke tangan saya.
Teman saya mendekat "Kandang hamster itu juga dibeli dari toko
online."
Mungkin teman saya ini masuk dalam kategori warga Cina yang dimuat di
situs /marketmechina.com/, pekan ini. Media online itu menyebutkan Cina
memiliki sekitar 193 juta pembeli online. Dan prediksi Boston Consulting
Group, situs ini mengutipnya, adalah konsumen di Cina akan menghabiskan
$1.000 per tahun untuk belanja online pada tahun depan-jumlah yang sama
dengan di Amerika Serikat dengan 170 juta pembeli online saat ini.
Se-akan tahu jalan pikiran saya, pekan lalu kurir datang membawa barang
pesanan ke rumah. Saya buka bungkusnya, tripod kamera buatan Cina: kuat,
ringan, dan lebih murah daripada beli di toko. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar