Mendadak
Perppu
Idil Akbar ; Staf Pengajar FISIP Unpad, Peneliti Politik Nusantara
Institute
|
KORAN
SINDO, 06 Oktober 2014
Penerbitan
Perppu Nomor 1/2014 yang menganulir UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) Tidak Langsung seakan-akan menjadi jawaban atas kegelisahan
dan tuntutan rakyat Indonesia yang menginginkan pilkada dilakukan secara
langsung.
Namun
jika sedikit menyimak dan mencermati penerbitannya, perppu ini tidak lepas
dari kritikan terutama mengenai proses dan motif politik yang terdapat pada
kemunculannya. Secara prinsip, penerbitan perppu memang merupakan hak
prerogatif presiden sebagai kepala negara yang dilindungi UUD 1945. UUD Pasal
22 ayat (1) menyatakan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Konteks
berhak menetapkan ini tentu bersifat subjektif, tergantung penilaian pribadi,
proses berpikir, dan perasaan diri dalam kedudukannya sebagai presiden.
Dalam
kacamata politik, penerbitan perppu bukan sekadar persoalan yang bisa
dipandang lazim-lazim saja. Karena itu, dalam konteks kelembagaan dan
hubungan antarlembaga tinggi negara, perppu harus ada kejelasan skema,
interpretasi yang relatif sama dan tentu saja proses politik yang dialektik.
Itu mengapa ayat (2) Pasal 22 UUD menyebutkan bahwa perppu harus mendapat
persetujuan DPR agar bisa diimplementasikan. Menilai Perppu Pilkada yang
diterbitkan ini, secara politik– sebagaimana dipersyaratkan dalam UU–Presiden
SBY perlu menjelaskan dua hal penting.
Pertama,
secara konkret apakah unsur kegentingan yang memaksa atau keadaan mendesak
sudah terpenuhi dalam penerbitan perppu? Sejauh mana kegentingan tersebut
bisa memaksa Presiden untuk menerbitkan perppu? Kedua, mengenai kualitas
perppu apakah cukup sebanding dengan kebutuhan yang menjadi kepentingan
rakyat secara luas? Karena, penilaian substansial secara jamak baik UU
Pilkada dengan tidak langsung maupun perppu dengan pilkada langsung sama-sama
bernilai demokratis.
Merasa Genting
Sejauh
ini, sulit menemukan alasan urgensial perlunya perppu ini diterbitkan.
Subjektivitas Presiden dalam menilai penerbitan perppu ini masih relatif
lemah. Itu mengapa pro-kontra atas penerbitan perppu ini terus terjadi. Namun
jamak suara kritis yang terdengar adalah mempertanyakan seperti apa
kegentingan yang memaksa perlunya perppu. Presiden hanya memberi alasan bahwa
beliau mendengar suara rakyat yang menginginkan pilkada dilakukan secara langsung
dan banyaknya kecaman yang ditujukan kepadanya sebagai ketua umum Demokrat
yang dinilai ikut bertanggung jawab disahkannya UU Pilkada dengan sistem
tidak langsung (melalui DPRD).
Penilaian
subjektif ini tentu masih debatable.
Terlebih, penilaian subjektif tidak bisa dijadikan sebagai alat ukur untuk
melakukan generalisasi yang kemudian melahirkan pendapat perlunya perppu
diterbitkan. Dengan kata lain, interpretasi kegentingan ini masih belum
tuntas dan terkesan memaksa untuk dianggap genting. Kemarahan dan kecaman
rakyat memang benar terjadi dengan upaya DPR yang ingin pilkada dilakukan
secara tidak langsung. Namun kecaman dan kemarahan itu beralih ke Demokrat
dan SBY sebagai ketua umumnya yang dinilai tidak konsekuen dengan sikap
politik yang mendukung pilkada langsung.
Keputusan
untuk walkout karena “mutung“ atas
tidak dimasukkannya opsi ketiga usulan Fraksi Partai Demokrat, yakni pilkada
langsung dengan 10 perbaikan, merupakan sikap politik yang dianggap
kontraproduktif dengan komitmen untuk mempertahankan harapan rakyat secara
luas. Jika alasan ini yang dinilai sebagai kegentingan yang memaksa,
subjektivitas perlunya perppu menjadi tidak proporsional. Padahal,
kegentingan semestinya lebih mengarah pada akibat krusial atau ekses yang
timbul sehingga mengancam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Misalnya
adalah timbul konflik horizontal, instabilitas keamanan dan politik. Dengan
subjektivitas seperti itu, Presiden bisa dinilai menggunakan wewenangnya
untuk kepentingan partai. Terlebih, isi perppu dengan jelas memasukkan
seluruh opsi yang diusulkan Partai Demokrat. Dampaknya apa? Perppu hanya akan
dianggap sebagai alat menetralisasi kecaman yang ditujukan ke SBY dan juga
Demokrat dan oleh DPR akan dinilai tidak krusial. Karenanya, memperbesar peluang
untuk ditolak oleh DPR.
Dramaturgi Politik
Terlepas
dari terbitnya perppu tersebut yang mengembalikan demokrasi langsung dalam
pilkada, motif politik yang menyertai patut untuk dipertanyakan. Secara
politik, bisa jadi inilah cara SBY untuk mengembalikan marwah politiknya
kembali dan menjaga citra politiknya tetap bersih dan akomodatif terhadap
suara rakyat. Ini juga dapat dibaca untuk menetralisasi kemarahan rakyat
terhadap partai Demokrat. Dramaturgi politik ini
semakin apik terlihat nanti ketika dibahas oleh DPR untuk diputuskan
disetujui ataupun tidak disetujui. Sangat beralasan, apa pun keputusan
DPR nantinya (menerima maupun menolak) tetap akan memberi keuntungan politik
buat SBY dan Demokrat.
Jika DPR menyetujui perppu, SBY akan disanjung sebagai hero bagi
keberlangsungan demokrasi substantif di Indonesia. Bahkan tak mungkin,
meminjam istilah Ruhut Sitompul, SBY akan dinobatkan oleh rakyat sebagai
Bapak Demokrasi Indonesia. Sebaliknya, jika sampai perppu ini ditolak DPR,
SBY dan Partai Demokrat akan terbebas dari kecaman rakyat. Rakyat kemudian
akan mengalihkan kecamannya kepada DPR, khususnya parpol yang menolak Perppu
Pilkada langsung dengan perbaikan ini. Political trick yang jitu untuk dimainkan, bukan?
Jika
penilaian subjektif terhadap perlunya perppu ada di tangan Presiden, yang
berhak menilai secara objektif terhadap isi perppu dan kegentingan yang
memaksa untuk diterbitkannya perppu ada di tangan legislatif (DPR). Karena
itu, DPR-lah yang akan menguji apakah kegentingan yang memaksa Presiden
menerbitkan Perppu Pilkada Langsung dengan perbaikan cukup beralasan dan
masuk akal serta menguji kualitas perppu akankah memiliki implikasi besar
terhadap tatanan demokrasi di Indonesia yang berdaulat dan berpancasila.
Proses politik selanjutnya akan lebih menarik untuk dicermati karena
konsekuensi politik dari perppu in–disetujui ataupun tidak disetujui– oleh
DPR akan berpengaruh terhadap konstelasi politik di tanah air. Menarik pula menanti rencana SBY selanjutnya terhadap
perppu yang telah diterbitkan dan kemudian ditolak oleh DPR. Karena hingga
saat ini SBY pun masih menentukan plan B terhadap hasil keputusan DPR yang
jika kemudian menolak Perppu Pilkada ini nantinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar