Selasa, 07 Oktober 2014

Mendadak Perppu

Mendadak Perppu

Idil Akbar  ;   Staf Pengajar FISIP Unpad, Peneliti Politik Nusantara Institute
KORAN SINDO,  06 Oktober 2014




Penerbitan Perppu Nomor 1/2014 yang menganulir UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tidak Langsung seakan-akan menjadi jawaban atas kegelisahan dan tuntutan rakyat Indonesia yang menginginkan pilkada dilakukan secara langsung.

Namun jika sedikit menyimak dan mencermati penerbitannya, perppu ini tidak lepas dari kritikan terutama mengenai proses dan motif politik yang terdapat pada kemunculannya. Secara prinsip, penerbitan perppu memang merupakan hak prerogatif presiden sebagai kepala negara yang dilindungi UUD 1945. UUD Pasal 22 ayat (1) menyatakan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Konteks berhak menetapkan ini tentu bersifat subjektif, tergantung penilaian pribadi, proses berpikir, dan perasaan diri dalam kedudukannya sebagai presiden.

Dalam kacamata politik, penerbitan perppu bukan sekadar persoalan yang bisa dipandang lazim-lazim saja. Karena itu, dalam konteks kelembagaan dan hubungan antarlembaga tinggi negara, perppu harus ada kejelasan skema, interpretasi yang relatif sama dan tentu saja proses politik yang dialektik. Itu mengapa ayat (2) Pasal 22 UUD menyebutkan bahwa perppu harus mendapat persetujuan DPR agar bisa diimplementasikan. Menilai Perppu Pilkada yang diterbitkan ini, secara politik– sebagaimana dipersyaratkan dalam UU–Presiden SBY perlu menjelaskan dua hal penting.

Pertama, secara konkret apakah unsur kegentingan yang memaksa atau keadaan mendesak sudah terpenuhi dalam penerbitan perppu? Sejauh mana kegentingan tersebut bisa memaksa Presiden untuk menerbitkan perppu? Kedua, mengenai kualitas perppu apakah cukup sebanding dengan kebutuhan yang menjadi kepentingan rakyat secara luas? Karena, penilaian substansial secara jamak baik UU Pilkada dengan tidak langsung maupun perppu dengan pilkada langsung sama-sama bernilai demokratis.

Merasa Genting

Sejauh ini, sulit menemukan alasan urgensial perlunya perppu ini diterbitkan. Subjektivitas Presiden dalam menilai penerbitan perppu ini masih relatif lemah. Itu mengapa pro-kontra atas penerbitan perppu ini terus terjadi. Namun jamak suara kritis yang terdengar adalah mempertanyakan seperti apa kegentingan yang memaksa perlunya perppu. Presiden hanya memberi alasan bahwa beliau mendengar suara rakyat yang menginginkan pilkada dilakukan secara langsung dan banyaknya kecaman yang ditujukan kepadanya sebagai ketua umum Demokrat yang dinilai ikut bertanggung jawab disahkannya UU Pilkada dengan sistem tidak langsung (melalui DPRD).

Penilaian subjektif ini tentu masih debatable. Terlebih, penilaian subjektif tidak bisa dijadikan sebagai alat ukur untuk melakukan generalisasi yang kemudian melahirkan pendapat perlunya perppu diterbitkan. Dengan kata lain, interpretasi kegentingan ini masih belum tuntas dan terkesan memaksa untuk dianggap genting. Kemarahan dan kecaman rakyat memang benar terjadi dengan upaya DPR yang ingin pilkada dilakukan secara tidak langsung. Namun kecaman dan kemarahan itu beralih ke Demokrat dan SBY sebagai ketua umumnya yang dinilai tidak konsekuen dengan sikap politik yang mendukung pilkada langsung.

Keputusan untuk walkout karena “mutung“ atas tidak dimasukkannya opsi ketiga usulan Fraksi Partai Demokrat, yakni pilkada langsung dengan 10 perbaikan, merupakan sikap politik yang dianggap kontraproduktif dengan komitmen untuk mempertahankan harapan rakyat secara luas. Jika alasan ini yang dinilai sebagai kegentingan yang memaksa, subjektivitas perlunya perppu menjadi tidak proporsional. Padahal, kegentingan semestinya lebih mengarah pada akibat krusial atau ekses yang timbul sehingga mengancam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Misalnya adalah timbul konflik horizontal, instabilitas keamanan dan politik. Dengan subjektivitas seperti itu, Presiden bisa dinilai menggunakan wewenangnya untuk kepentingan partai. Terlebih, isi perppu dengan jelas memasukkan seluruh opsi yang diusulkan Partai Demokrat. Dampaknya apa? Perppu hanya akan dianggap sebagai alat menetralisasi kecaman yang ditujukan ke SBY dan juga Demokrat dan oleh DPR akan dinilai tidak krusial. Karenanya, memperbesar peluang untuk ditolak oleh DPR.

Dramaturgi Politik

Terlepas dari terbitnya perppu tersebut yang mengembalikan demokrasi langsung dalam pilkada, motif politik yang menyertai patut untuk dipertanyakan. Secara politik, bisa jadi inilah cara SBY untuk mengembalikan marwah politiknya kembali dan menjaga citra politiknya tetap bersih dan akomodatif terhadap suara rakyat. Ini juga dapat dibaca untuk menetralisasi kemarahan rakyat terhadap partai Demokrat. Dramaturgi politik ini semakin apik terlihat nanti ketika dibahas oleh DPR untuk diputuskan disetujui ataupun tidak disetujui. Sangat beralasan, apa pun keputusan DPR nantinya (menerima maupun menolak) tetap akan memberi keuntungan politik buat SBY dan Demokrat.

Jika DPR menyetujui perppu, SBY akan disanjung sebagai hero bagi keberlangsungan demokrasi substantif di Indonesia. Bahkan tak mungkin, meminjam istilah Ruhut Sitompul, SBY akan dinobatkan oleh rakyat sebagai Bapak Demokrasi Indonesia. Sebaliknya, jika sampai perppu ini ditolak DPR, SBY dan Partai Demokrat akan terbebas dari kecaman rakyat. Rakyat kemudian akan mengalihkan kecamannya kepada DPR, khususnya parpol yang menolak Perppu Pilkada langsung dengan perbaikan ini. Political trick yang jitu untuk dimainkan, bukan?

Jika penilaian subjektif terhadap perlunya perppu ada di tangan Presiden, yang berhak menilai secara objektif terhadap isi perppu dan kegentingan yang memaksa untuk diterbitkannya perppu ada di tangan legislatif (DPR). Karena itu, DPR-lah yang akan menguji apakah kegentingan yang memaksa Presiden menerbitkan Perppu Pilkada Langsung dengan perbaikan cukup beralasan dan masuk akal serta menguji kualitas perppu akankah memiliki implikasi besar terhadap tatanan demokrasi di Indonesia yang berdaulat dan berpancasila.

Proses politik selanjutnya akan lebih menarik untuk dicermati karena konsekuensi politik dari perppu in–disetujui ataupun tidak disetujui– oleh DPR akan berpengaruh terhadap konstelasi politik di tanah air. Menarik pula menanti rencana SBY selanjutnya terhadap perppu yang telah diterbitkan dan kemudian ditolak oleh DPR. Karena hingga saat ini SBY pun masih menentukan plan B terhadap hasil keputusan DPR yang jika kemudian menolak Perppu Pilkada ini nantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar