“Banten Bangkit”
Raksasa
yang Menggeliat
Ninuk M Pambudy ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
09 Oktober 2014
Pengantar
Redaksi
Harian ”Kompas” bekerja sama dengan Pemerintah
Provinsi Banten menyelenggarakan diskusi ”Banten Bangkit" di Serang,
Selasa (30/9), menyambut ulang tahun ke-14 provinsi tersebut pada 4 Oktober.
Pembicara adalah Pelaksana Tugas Gubernur Banten Rano Karno, Wakil Menteri
Pekerjaan Umum Hermanto Dardak, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
Taufiequrachman Ruki, dan Kepala Badan Litbangda Banten M Ali Fadillah.
Laporan disampaikan Ninuk M Pambudy, Rusdi Amral, dan Tri Agung Kristanto
berikut ini dan di halaman 24.
JARAK
Jakarta ke Serang, ibu kota Provinsi Banten, hanya sekitar 90 kilometer.
Dengan adanya jalan tol, jarak tersebut ditempuh sekitar satu jam dari ibu
kota negara. Meski begitu, Banten seperti gagap memanfaatkan kedekatannya
dengan Jakarta. Provinsi seluas 8.651 kilometer persegi dengan 11.524.500 penduduk
(kepadatan 1.300 orang per kilometer persegi) tersebut belum bergerak
sedinamis provinsi lain di Jawa.
Berkendara
dari Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak, ke Desa Nayagati, Kecamatan
Leuwidamar, sejarak kira-kira 60 kilometer di selatan Rangkas melalui Petir,
amat jarang berpapasan dengan kendaraan roda empat dan kendaraan umum.
Jalanan sebagian besar rusak meski masih dapat dilalui.
Lahan
berbukit didominasi tanaman kebun kurang terurus berbaur dengan tanaman
hutan. Bupati Lebak Hj Iti Octavia Jayabaya menyebut Lebak, yang luasnya
sepertiga Banten dengan kepadatan 405 jiwa/kilometer persegi, surplus padi
sebanyak 5 persen. Sebagian besar lahan sawah mengandalkan hujan dan gersang
pada musim kemarau kering saat ini. Iti ingin kabupatennya dimekarkan karena
terlalu luas, membentang ke selatan hingga tepi Samudra Hindia.
Ketimpangan
kemakmuran terjadi antara bagian utara dan selatan provinsi tersebut. Sebaran
kawasan industri berada di bagian utara dan barat, sementara bagian selatan
masih menunggu pengembangan.
Indeks
Pembangunan Manusia Banten sejak tahun 2009 selalu berada di bawah rata-rata
nasional. Pada tahun 2013 bahkan pautan melebar: IPM nasional 73,81 dan
Banten 71,9.
Padahal,
Banten daerah kaya. Wilayah ini memiliki sejumlah kawasan ekonomi strategis,
seperti Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, kawasan Selat Sunda,
kawasan ekonomi khusus Tanjung Lesung, kawasan industri Cilegon, kawasan
wisata berbasis lingkungan Ujung Kulon, Gunung Krakatau dan Gunung Halimun,
hingga lahan produksi pangan. Juga Kota Tangerang yang menjadi bagian
megapolitan Jabodetabek.
Orang
dari luar Banten melihat provinsi tersebut sebagai daerah lambat berkembang.
Kemiskinan yang dipersonifikasi melalui Saijah dan Adinda dalam Max Havelaar
karya Multatuli masih membayangi ketika berbicara tentang Banten, terutama
Lebak.
Tidak
mengherankan tokoh masyarakat, seperti KH Aminuddin Ibrahim, Rektor IAIN
Sultan Maulana Hasanuddin Prof Dr Syibli Sarjaya, dan Sulaimen Fatah dari
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, mempertanyakan lambatnya pembangunan
Banten, terutama infrastruktur jalan dan sanitasi. Padahal, keinginan
mempercepat pembangunan dan efisiensi pemerintahan menjadi alasan Banten
berpisah dari Jawa Barat, 14 tahun lalu.
Berkelanjutan
Dalam
peta jalan pengembangan Banten, bagian selatan menjadi prioritas. Isolasi
kawasan akan dibuka melalui peningkatan kualitas dan penambahan jalan,
pembangunan kawasan strategis Selat Sunda, hingga pembangunan kota-kota hijau
dan pintar dengan membangun jaringan internet.
Air
Sungai Cidurian, Cisadane, Ciujung, dan Cidanau sekarang baru dimanfaatkan 22
persen dan akan dikelola dengan membangun waduk untuk mencegah banjir, sumber
air bersih, pembangkit listrik, dan produksi pangan.
Banten
berada di daerah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) 1 yang melalui Selat
Sunda. Bojonegara diproyeksi menjadi pelabuhan internasional dan pusat
logistik, seperti Incheon di Korea Selatan, untuk menangkap peluang
perdagangan internasional di ALKI 1. Di selatan, prioritas adalah memperbaiki
akses Tanjung Lesung ke Malingping, Bayah, hingga Palabuhanratu di Jawa
Barat.
Dengan
selesainya penyusunan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) 4 kabupaten dan 4
wilayah kota di Banten, harapan sangat besar ditumpukan kepada pemerintahan
baru agar tidak melupakan Banten. Bukan sekadar pembangunan berkelanjutan,
melainkan juga sinkron dengan yang telah dilaksanakan dan direncanakan
sebelumnya.
Tantangan
berikut adalah meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam tata kelola
pemerintahan yang bersih dan baik. Hal ini semakin mendesak karena dua
gubernur Banten berturut-turut, yaitu Djoko Munandar dan Atut Chosiyah,
terlibat kasus korupsi.
Pemerintah
daerah dituntut berani mengubah perannya dari hanya memerintah menjadi
pelayan dan pelindung masyarakat.
Dalam
konteks pengembangan wilayah, misalnya, segera membuat zonasi sebagai wujud
rencana detail RTRW sebagai alat mengendalikan dan mengawasi pembangunan.
Membangun warga
Tujuan
pengembangan Banten adalah menyejahterakan masyarakat dan menghapus
kemiskinan serta kesenjangan. Dalam sejarahnya, masyarakat Banten bersifat
kosmopolitan, ditandai dengan masuknya pengaruh Hindu, lalu kebudayaan Islam
pada abad ke-16, Eropa melalui pedagang dari Portugal, Inggris, dan maskapai
dagang multinasional VOC, selain Tiongkok.
Lada dan
beras adalah daya tarik Banten masa lalu sehingga kota-kota lahir karena
kegiatan ekonomi modern saat itu. Sayangnya, kemakmuran juga membawa
perpecahan pada Kesultanan Banten sehingga wilayah itu takluk di bawah
penguasaan VOC dan kemudian Belanda.
Keterbukaan
Banten adalah modal untuk beradaptasi terhadap berbagai perubahan. Menjadi
tugas semua pemangku kepentingan di Banten mengajak warga mengubah diri untuk
berani berkembang dan bertumbuh bersama. Citra Banten sebagai negeri para
jawara tidak boleh memperlambat pembangunan.
Membangun manusia adalah tantangan dan peluang Banten. Kebutuhan dasar,
yaitu akses yang adil dan merata terhadap pendidikan berkualitas dan akses
terhadap kesehatan, termasuk penyediaan air bersih dan sanitasi, tidak boleh
ditinggalkan. Tanpa peningkatan kapasitas, warga Banten boleh jadi hanya
menjadi penonton pembangunan dan kesenjangan kemakmuran terus melebar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar