Jumat, 10 Oktober 2014

Raksasa yang Menggeliat

“Banten Bangkit”

Raksasa yang Menggeliat 

Ninuk M Pambudy  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  09 Oktober 2014




Pengantar Redaksi

Harian ”Kompas” bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Banten menyelenggarakan diskusi ”Banten Bangkit" di Serang, Selasa (30/9), menyambut ulang tahun ke-14 provinsi tersebut pada 4 Oktober. Pembicara adalah Pelaksana Tugas Gubernur Banten Rano Karno, Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki, dan Kepala Badan Litbangda Banten M Ali Fadillah. Laporan disampaikan Ninuk M Pambudy, Rusdi Amral, dan Tri Agung Kristanto berikut ini dan di halaman 24.

JARAK Jakarta ke Serang, ibu kota Provinsi Banten, hanya sekitar 90 kilometer. Dengan adanya jalan tol, jarak tersebut ditempuh sekitar satu jam dari ibu kota negara. Meski begitu, Banten seperti gagap memanfaatkan kedekatannya dengan Jakarta. Provinsi seluas 8.651 kilometer persegi dengan 11.524.500 penduduk (kepadatan 1.300 orang per kilometer persegi) tersebut belum bergerak sedinamis provinsi lain di Jawa.

Berkendara dari Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak, ke Desa Nayagati, Kecamatan Leuwidamar, sejarak kira-kira 60 kilometer di selatan Rangkas melalui Petir, amat jarang berpapasan dengan kendaraan roda empat dan kendaraan umum. Jalanan sebagian besar rusak meski masih dapat dilalui.

Lahan berbukit didominasi tanaman kebun kurang terurus berbaur dengan tanaman hutan. Bupati Lebak Hj Iti Octavia Jayabaya menyebut Lebak, yang luasnya sepertiga Banten dengan kepadatan 405 jiwa/kilometer persegi, surplus padi sebanyak 5 persen. Sebagian besar lahan sawah mengandalkan hujan dan gersang pada musim kemarau kering saat ini. Iti ingin kabupatennya dimekarkan karena terlalu luas, membentang ke selatan hingga tepi Samudra Hindia.

Ketimpangan kemakmuran terjadi antara bagian utara dan selatan provinsi tersebut. Sebaran kawasan industri berada di bagian utara dan barat, sementara bagian selatan masih menunggu pengembangan.

Indeks Pembangunan Manusia Banten sejak tahun 2009 selalu berada di bawah rata-rata nasional. Pada tahun 2013 bahkan pautan melebar: IPM nasional 73,81 dan Banten 71,9.

Padahal, Banten daerah kaya. Wilayah ini memiliki sejumlah kawasan ekonomi strategis, seperti Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, kawasan Selat Sunda, kawasan ekonomi khusus Tanjung Lesung, kawasan industri Cilegon, kawasan wisata berbasis lingkungan Ujung Kulon, Gunung Krakatau dan Gunung Halimun, hingga lahan produksi pangan. Juga Kota Tangerang yang menjadi bagian megapolitan Jabodetabek.

Orang dari luar Banten melihat provinsi tersebut sebagai daerah lambat berkembang. Kemiskinan yang dipersonifikasi melalui Saijah dan Adinda dalam Max Havelaar karya Multatuli masih membayangi ketika berbicara tentang Banten, terutama Lebak.

Tidak mengherankan tokoh masyarakat, seperti KH Aminuddin Ibrahim, Rektor IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Prof Dr Syibli Sarjaya, dan Sulaimen Fatah dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, mempertanyakan lambatnya pembangunan Banten, terutama infrastruktur jalan dan sanitasi. Padahal, keinginan mempercepat pembangunan dan efisiensi pemerintahan menjadi alasan Banten berpisah dari Jawa Barat, 14 tahun lalu.

Berkelanjutan

Dalam peta jalan pengembangan Banten, bagian selatan menjadi prioritas. Isolasi kawasan akan dibuka melalui peningkatan kualitas dan penambahan jalan, pembangunan kawasan strategis Selat Sunda, hingga pembangunan kota-kota hijau dan pintar dengan membangun jaringan internet.

Air Sungai Cidurian, Cisadane, Ciujung, dan Cidanau sekarang baru dimanfaatkan 22 persen dan akan dikelola dengan membangun waduk untuk mencegah banjir, sumber air bersih, pembangkit listrik, dan produksi pangan.

Banten berada di daerah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) 1 yang melalui Selat Sunda. Bojonegara diproyeksi menjadi pelabuhan internasional dan pusat logistik, seperti Incheon di Korea Selatan, untuk menangkap peluang perdagangan internasional di ALKI 1. Di selatan, prioritas adalah memperbaiki akses Tanjung Lesung ke Malingping, Bayah, hingga Palabuhanratu di Jawa Barat.

Dengan selesainya penyusunan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) 4 kabupaten dan 4 wilayah kota di Banten, harapan sangat besar ditumpukan kepada pemerintahan baru agar tidak melupakan Banten. Bukan sekadar pembangunan berkelanjutan, melainkan juga sinkron dengan yang telah dilaksanakan dan direncanakan sebelumnya.

Tantangan berikut adalah meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik. Hal ini semakin mendesak karena dua gubernur Banten berturut-turut, yaitu Djoko Munandar dan Atut Chosiyah, terlibat kasus korupsi.

Pemerintah daerah dituntut berani mengubah perannya dari hanya memerintah menjadi pelayan dan pelindung masyarakat.

Dalam konteks pengembangan wilayah, misalnya, segera membuat zonasi sebagai wujud rencana detail RTRW sebagai alat mengendalikan dan mengawasi pembangunan.

Membangun warga

Tujuan pengembangan Banten adalah menyejahterakan masyarakat dan menghapus kemiskinan serta kesenjangan. Dalam sejarahnya, masyarakat Banten bersifat kosmopolitan, ditandai dengan masuknya pengaruh Hindu, lalu kebudayaan Islam pada abad ke-16, Eropa melalui pedagang dari Portugal, Inggris, dan maskapai dagang multinasional VOC, selain Tiongkok.

Lada dan beras adalah daya tarik Banten masa lalu sehingga kota-kota lahir karena kegiatan ekonomi modern saat itu. Sayangnya, kemakmuran juga membawa perpecahan pada Kesultanan Banten sehingga wilayah itu takluk di bawah penguasaan VOC dan kemudian Belanda.

Keterbukaan Banten adalah modal untuk beradaptasi terhadap berbagai perubahan. Menjadi tugas semua pemangku kepentingan di Banten mengajak warga mengubah diri untuk berani berkembang dan bertumbuh bersama. Citra Banten sebagai negeri para jawara tidak boleh memperlambat pembangunan.

Membangun manusia adalah tantangan dan peluang Banten. Kebutuhan dasar, yaitu akses yang adil dan merata terhadap pendidikan berkualitas dan akses terhadap kesehatan, termasuk penyediaan air bersih dan sanitasi, tidak boleh ditinggalkan. Tanpa peningkatan kapasitas, warga Banten boleh jadi hanya menjadi penonton pembangunan dan kesenjangan kemakmuran terus melebar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar