Jumat, 10 Oktober 2014

Bank dan Ekonomi Kerakyatan

Bank dan Ekonomi Kerakyatan 

Krisna Wijaya  ;   Praktisi dan Pengamat Perbankan
KOMPAS,  09 Oktober 2014




MEMPERHATIKAN visi dan misi pemerintahan baru, tersirat bahwa pembangunan ekonomi berbasis ekonomi kerakyatan akan menjadi prioritas.
Terlepas dari luasnya definisi ekonomi kerakyatan, apa pun programnya harus bisa melibatkan dan dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar rakyat. Dalam konteks manfaat pembangunan ekonomi, tentunya program tersebut harus dapat mengurangi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan.

Salah satu wujudnya adalah dengan memberdayakan pelaku usaha mikro (UM). UM dapat dijadikan salah satu representasi kepedulian kepada rakyat karena menurut Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (2012) sampai saat ini tercatat 55,85 juta UM yang terbukti mampu menyerap tenaga kerja  sekitar 90,12 juta atau 37,55 persen dari total penduduk.

Untuk lebih memberdayakan UM, tidak dapat dihindari peranan perbankan nasional diperlukan mengingat salah satu kendala UM adalah untuk mendapatkan permodalan berupa kredit dari bank masih sulit. Selama ini UM menggunakan fasilitas kredit mikro dari kalangan perbankan. Sekalipun jumlah kredit mikro dibatasi maksimum Rp 50 juta, ternyata baru sekitar 9,5 juta atau sekitar 17 persen pelaku UM yang bisa mendapatkannya.

Berdasarkan data itu, tampak bahwa sebagian besar UM belum bisa berhubungan dengan bank (unbanked), yaitu 46,98 juta atau sekitar 83,18 persen dari total UM. Menjadi pertanyaan, apakah ada alternatif untuk meningkatkan akses pelaku UM?

Program pendampingan

Pertama, pendekatan yang relatif praktis, tepat guna, dan segera dapat dilaksanakan adalah melalui yang disebut program pendampingan (technical assistance). Program pendampingan fokusnya adalah memfasilitasi pelaku UM agar segera bisa memenuhi persyaratan aspek bank teknis sehingga layak untuk mendapatkan kredit dari bank.

Mengingat maksimal kredit mikro dari bank hanya Rp 50 juta, program pendampingan difokuskan kepada peningkatan administrasi keuangan, perizinan, dan pemasaran. Adapun pihak yang layak melakukannya bisa dari kalangan internal setiap bank, praktisi, dan mungkin lembaga swadaya masyarakat serta perguruan tinggi dan kalangan profesional lain.

Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas program pendampingan, ada baiknya program diwajibkan bagi semua bank. Jika semangat keberpihakan yang diutamakan, tidak berlebihan kalau program pendampingan dicanangkan sebagai program nasional. Program itu bisa diselaraskan dengan program lain, yaitu program literasi (baca: pendidikan) dan inklusi (baca: perluasan) keuangan secara intensif kepada pelaku usaha mikro dan kecil.

Apabila program pendampingan dapat diberdayakan, dengan asumsi pesimistis—katakanlah ada sekitar 10 persen per tahun dari jumlah UM dapat difasilitasi kredit dari bank—akan ada tambahan sekitar 4,69 juta nasabah baru per tahun. Dengan tambahan ini, diperkirakan bisa diserap satu tenaga kerja atau sekitar 4,69 juta per tahun.

Kedua, meningkatkan efisiensi dan efektivitas program penjaminan kredit. Program penjaminan kredit saat ini hanya untuk kredit usaha rakyat (KUR) dan pesertanya terbatas, yaitu bank pemerintah dan beberapa bank pembangunan daerah. Seharusnya program penjaminan itu dapat diperluas untuk semua bank. Agar tak terjadi moral hazard karena merasa kreditnya dijamin, tentunya keikutsertaannya harus disertai seleksi dan persyaratan yang ketat.

Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah dihilangkannya bentuk monopoli, yaitu kredit usaha rakyat dijadikan satu-satunya fasilitas kredit untuk UM yang dijamin Askrindo dan Jamkrindo. Seharusnya semua bank diberi kebebasan membuat jenis kredit serupa yang disesuaikan dengan kemampuan setiap bank. Melalui upaya ini, selain UM mendapatkan alternatif pembiayaan, efisiensi perkreditan dengan hilangnya bentuk monopoli juga akan meningkat.

Kedua langkah di atas dapat dilaksanakan tanpa harus menunggu perubahan, baik UU maupun peraturan perbankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar