Bank
dan Ekonomi Kerakyatan
Krisna Wijaya ; Praktisi dan Pengamat Perbankan
|
KOMPAS,
09 Oktober 2014
MEMPERHATIKAN
visi dan misi pemerintahan baru, tersirat bahwa pembangunan ekonomi berbasis
ekonomi kerakyatan akan menjadi prioritas.
Terlepas
dari luasnya definisi ekonomi kerakyatan, apa pun programnya harus bisa
melibatkan dan dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar rakyat. Dalam konteks
manfaat pembangunan ekonomi, tentunya program tersebut harus dapat mengurangi
pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan.
Salah
satu wujudnya adalah dengan memberdayakan pelaku usaha mikro (UM). UM dapat
dijadikan salah satu representasi kepedulian kepada rakyat karena menurut
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (2012) sampai saat ini tercatat
55,85 juta UM yang terbukti mampu menyerap tenaga kerja sekitar 90,12 juta atau 37,55 persen dari
total penduduk.
Untuk
lebih memberdayakan UM, tidak dapat dihindari peranan perbankan nasional
diperlukan mengingat salah satu kendala UM adalah untuk mendapatkan
permodalan berupa kredit dari bank masih sulit. Selama ini UM menggunakan
fasilitas kredit mikro dari kalangan perbankan. Sekalipun jumlah kredit mikro
dibatasi maksimum Rp 50 juta, ternyata baru sekitar 9,5 juta atau sekitar 17
persen pelaku UM yang bisa mendapatkannya.
Berdasarkan
data itu, tampak bahwa sebagian besar UM belum bisa berhubungan dengan bank (unbanked), yaitu 46,98 juta atau
sekitar 83,18 persen dari total UM. Menjadi pertanyaan, apakah ada alternatif
untuk meningkatkan akses pelaku UM?
Program pendampingan
Pertama,
pendekatan yang relatif praktis, tepat guna, dan segera dapat dilaksanakan
adalah melalui yang disebut program pendampingan (technical assistance). Program pendampingan fokusnya adalah
memfasilitasi pelaku UM agar segera bisa memenuhi persyaratan aspek bank
teknis sehingga layak untuk mendapatkan kredit dari bank.
Mengingat
maksimal kredit mikro dari bank hanya Rp 50 juta, program pendampingan
difokuskan kepada peningkatan administrasi keuangan, perizinan, dan
pemasaran. Adapun pihak yang layak melakukannya bisa dari kalangan internal
setiap bank, praktisi, dan mungkin lembaga swadaya masyarakat serta perguruan
tinggi dan kalangan profesional lain.
Untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas program pendampingan, ada baiknya program
diwajibkan bagi semua bank. Jika semangat keberpihakan yang diutamakan, tidak
berlebihan kalau program pendampingan dicanangkan sebagai program nasional.
Program itu bisa diselaraskan dengan program lain, yaitu program literasi
(baca: pendidikan) dan inklusi (baca: perluasan) keuangan secara intensif
kepada pelaku usaha mikro dan kecil.
Apabila
program pendampingan dapat diberdayakan, dengan asumsi pesimistis—katakanlah
ada sekitar 10 persen per tahun dari jumlah UM dapat difasilitasi kredit dari
bank—akan ada tambahan sekitar 4,69 juta nasabah baru per tahun. Dengan
tambahan ini, diperkirakan bisa diserap satu tenaga kerja atau sekitar 4,69
juta per tahun.
Kedua,
meningkatkan efisiensi dan efektivitas program penjaminan kredit. Program
penjaminan kredit saat ini hanya untuk kredit usaha rakyat (KUR) dan
pesertanya terbatas, yaitu bank pemerintah dan beberapa bank pembangunan
daerah. Seharusnya program penjaminan itu dapat diperluas untuk semua bank.
Agar tak terjadi moral hazard karena merasa kreditnya dijamin, tentunya
keikutsertaannya harus disertai seleksi dan persyaratan yang ketat.
Hal lain
yang penting untuk diperhatikan adalah dihilangkannya bentuk monopoli, yaitu
kredit usaha rakyat dijadikan satu-satunya fasilitas kredit untuk UM yang
dijamin Askrindo dan Jamkrindo. Seharusnya semua bank diberi kebebasan
membuat jenis kredit serupa yang disesuaikan dengan kemampuan setiap bank.
Melalui upaya ini, selain UM mendapatkan alternatif pembiayaan, efisiensi
perkreditan dengan hilangnya bentuk monopoli juga akan meningkat.
Kedua langkah di atas dapat dilaksanakan tanpa harus menunggu
perubahan, baik UU maupun peraturan perbankan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar