ISTILAH
poros maritim dan tol laut lahir pada debat calon presiden, 5 Juli 2014.
Setengah
abad lalu, pada 27 Agustus 1964, Presiden Soekarno melantik Kabinet Dwikora dan mendirikan
Kompartemen Mari- tim dengan Mayor Jenderal KKO Ali Sadikin sebagai Menko
Maritim merangkap Menteri Perhubungan Laut. Ali Sadikin menjabat Menteri
Perhubungan Laut
sejak 13
November 1963, merupakan yang kedua dalam sejarah RI menggantikan
Abdulmutalib Danuningrat.
Ditelusuri
lebih jauh, Kabinet Karya pimpinan Djuanda yang berciri kabinet profesional
nirpartisan mendirikan Kementerian Pelayaran pada 9 April 1957 dengan Komodor
Mohammad Nazir sebagai Menteri Pelayaran pertama dan terakhir.
Tahun
1957 merupakan tonggak bersejarah bagi bangsa Indonesia dalam arti baik
ataupun buruk. Secara emosional, buruh yang didalangi Sentral Organisasi
Buruh Seluruh Indonesia mengambil alih semua perusahaan Belanda pada Desember
1957. Pengambilalihan KPM yang jadi tulang punggung pelayaran interinsuler
berdampak pada kekosongan dan kehancuran sistem logistik nasional Indonesia.
Sejak itu, perlu setengah abad sebelum kapasitas armada perhubungan Indonesia
kembali setara dengan era KPM. Namun, biaya sistem logistik Indonesia sudah
telanjur termahal sedunia. Ini tecermin dari fakta ongkos angkut jeruk
pontianak ke Jakarta lebih mahal daripada jeruk mandarin dari Shanghai ke
Tanjung Priok.
Secara
konsepsional, PM Djuanda berhasil merumuskan konsep negara kepulauan yang
memerlukan 25 tahun hingga disetujui PBB menjadi Deklarasi UNCLOS 1982. Dua
pakar terkemuka yang merupakan tritunggal bersama Djuanda dalam perjuangan
Wawasan Nusantara ini adalah Mochtar Kusumaatmadja dan Hasjim Djalal.
Kabinet
Dwikora yang dikocok ulang 24 Februari 1966 menjadi malapetaka buat Bung
Karno karena semakin memperkuat arus demonstrasi kekuatan anti Bung Karno.
Kabinet 100 menteri itu hanya berumur 32 hari dan dikocok ulang lagi pada 28
Maret 1966. Hari itu, Kompartemen Maritim di bawah Ali Sadikin hanya berumur
19 bulan dan dibubarkan 28 Maret 1966. Ali Sadikin turun pangkat jadi Deputi
Menteri pada Kabinet Dwikora III. Sebulan kemudian Bung Karno melantik Ali Sadikin
jadi Gubernur DKI pada 28 April 1966.
Era Abdurrahman Wahid
Pada
Kabinet Persatuan Nasional, barulah Presiden Abdurrahman Wahid membentuk
Departemen Kelautan dan Perikanan dengan menteri pertama Sarwono
Kusumaatmadja. Menteri Kelautan kedua pada Kabinet Gotong Royong Megawati
adalah Rokhmin Dahuri. Menteri ketiga Laksamana Freddy Numberi pada Kabinet
Indonesia Bersatu (KIB) I Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada KIB II,
menteri keempat Fadel Muhammad, yang diganti oleh Sharif Cicip Sutardjo pada
19 Oktober 2011.
Jelang
pembentukan kabinet oleh presiden terpilih Jokowi, ide pembentukan
Kementerian Maritim jadi keniscayaan. Dalam kaitan pro-kontra, sebagian pakar
dan politikus memosisikan Poros Maritim tak cocok dengan Rencana Induk
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) serta proyek
Jembatan Selat Sunda (JSS).
Pada 22
September 2014, sejumlah tokoh Indonesia timur mencetuskan deklarasi jalur
rempah sebagai tandingan atas jalur sutra yang dijalani Marco Polo. Dalam
konteks sejarah dan geopolitik, kita wajib merenungkan posisi geostrategis
kita secara realistis dan asertif. Laut sebagai jalan tol, bukan pemisah.
Karena itu, jangan bikin jembatan (berorientasi darat). Yang perlu
direnungkan adalah bagaimana menyinergikan kontinental dan maritim sebagai
alternatif saling menunjang, bukan bertentangan.
Sekarang
ada pipa darat dari Myanmar ke Kunming, Tiongkok, sehingga migas dari Timur
Tengah cukup diangkut dengan kapal dari Teluk Persia ke Teluk Benggala di
Myanmar dan langsung pipa darat ke barat daya Tiongkok. Baru-baru ini dires-
mikan jalan darat Vietnam-India dan jalan raya Vietnam-Tiongkok. Jalur sutra
darat memungkinkan orang dari Singapura naik kereta api atau mobil ke
Malaysia lalu ke Tiongkok. Terus dengan The Orient Express masuk jalan
Trans-Siberia, Vladivostok, hingga Moskwa. Tentu paralel dengan jalur sutra
darat dari Tiongkok ke Eropa rintisan Marco Polo.
Dalam
konteks itu, proyek JSS yang tak pernah direstui MP3EI secara konkret (karena
justru dipermasalahkan Menteri Keuangan, tak pernah terealisasi pada era
Presiden SBY) bisa diperdebatkan. Apakah Jawa dan Sumatera terus akan
dihubungkan hanya melalui feri, seperti di Kowloon, Hongkong?
Kritis
terhadap JSS dan MP3EI sah-sah saja. Namun, menutup pintu diskusi mencari
kebijakan strategis fundamental berjangka panjang tentu bukan pilihan baik.
Sejarah pengambilan putusan kebijakan negeri ini dalam membongkar pasang atau
menolak dan menerima suatu kebijakan tak akan menguntungkan dalam jangka
panjang jika diputuskan subyektif. Hanya karena apriori tidak menghargai
lawan politik atau oposisi!
Poros
Maritim tentu tidak bisa hanya slogan sebab keteledoran nasionalisasi KPM
malah menghancurkan sistem logistik nasional yang malah jadi bumerang,
menjadikan biaya logistik RI termahal sedunia 57 tahun setelah aksi populis
itu. Poros Maritim benar-benar menuntut perubahan paradigma, orientasi,
motivasi, aspirasi, dan inspirasi yang harus dipenuhi secara konkret dan
bukan sekadar wacana.
Poros
Maritim harus didukung seluruh aset negara bangsa Indonesia yang bisa
merealisasikan ide bangsa yang hidup dari sumber daya maritim, bersinergi
dengan sumber daya manusia daratan yang telanjur lamban dan kurang proaktif.
Revolusi mental yang dicanangkan presiden terpilih tentu harus dibaca dalam
semangat mentas dari mental lama business as usual. Birokrasi seenaknya
menjadi predator dan penghambat kreativitas masyarakat. Birokrasi harus jadi
fasilitator memberdayakan potensi kreatif masyarakat di pelbagai bidang
kehidupan.
Perlu diskusi sehat, terbuka, dan lugas soal
bagaimana merealisasikan ide poros maritim tepat sasaran dan tepat momentum
serta sinkron dengan arus utama geopolitik abad XXI: jalur sutra atau jalur
rempah. Yang terpenting jalur mental harus bersih dan beriktikad baik agar
tidak ”mental (terpental)” dari hukum besi ekonomi politik yang tidak bisa
dimanipulasi: 2+2 harus sama dengan 4 dan tidak boleh menjadi ”terserah
bapak”, seperti zaman ABS Orde Baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar