Perang
Kembang Pilkada
Harry Tjan Silalahi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS,
08 Oktober 2014
PEMILU
kepala daerah untuk gubernur dan bupati/wali kota dikembalikan kepada DPRD
setelah lebih kurang selama sepuluh tahun pemilihan kepala daerah
dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Keputusan ini diambil dalam Sidang
Paripurna DPR pada Senin (29/9/2014) dini hari oleh 225 anggota DPR, yang
berasal dari lima fraksi DPR (Golkar, Gerindra, PKS, PAN, dan PPP) yang
tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Mereka mengalahkan 135 anggota DPR yang
mendukung pilkada langsung, yang berasal dari tiga fraksi DPR lainnya (PDI-P,
PKB, dan Hanura) yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat. Sejumlah 148 anggota
DPR lainnya dari Fraksi Partai Demokrat memilih meninggalkan gelanggang
pertarungan. Mundur pada saat pertarungan akan dimulai.
Memecah belah
Apa yang
bisa dimaknai dari peristiwa itu sebagai pelajaran berharga untuk membangun
Indonesia masa depan?
Pertama,
prinsip umum membangun demokrasi, yang juga
tersurat ataupun tersirat dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Konstitusi RI,
adalah mengembangkan tata kelola politik dan pemerintahan yang dari waktu ke
waktu semakin dekat dengan pemegang kedaulatan bangsa dan negara, yaitu:
rakyat. Merekalah awal dan akhir dari suatu bangsa dan suatu negara.
Maka, menjauhkan proses politik dan pemerintahan dari pelibatan dan
keterlibatan rakyat bukanlah pilihan dari nawaitu
membangun demokrasi. Apalagi jika proses ini disengaja dengan tujuan machtsvorming (membangun kekuatan
untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok), ini jelas melanggar hukum alam
peradaban manusia.
Kedua, konfigurasi kekuatan politik yang terbangun setelah
Pemilu Presiden 2014 tampak telah membentuk kubu-kubu politik dari kalangan
elite dan partai politik yang sangat isolatif. Masing-masing meyakini
dengan sangat kuat atas ”kebenaran” pendiriannya. Ini menghasilkan suasana
saling menegasi dan mengancam posisi satu terhadap yang lain: ”kita” atau ”mereka”.
Ketiga, tidak terhindarkan pengaruh konfigurasi kekuatan
politik ini pada ”harmoni” kehidupan masyarakat umumnya dan, bahkan, kalangan
intelektual, yang berkembang sampai pada sikap seperti ini: ”Kita benar,
mereka salah.”
Keempat,
dalam keadaan seperti itu, dialog menjadi tertutup. Yang berlangsung adalah
mempertentangkan dan/atau mengadu satu pendirian terhadap pendirian yang
lain. Upaya bersama-sama untuk menemukan
”kebajikan” dan atau ”kebijaksanaan” yang menguntungkan semua pihak tidak
terfasilitasi dan hilang. Dan, di sinilah makna sila keempat
Pancasila, khususnya frasa tentang ”kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan,” gagal diejawantahkan.
Kelima, sejak dahulu hingga sekarang, dan mungkin sekali untuk
masa yang jauh ke depan, Nusantara kita adalah nusantara yang beragam dalam
banyak aspek; dan, yang diakui, diterima, dan dihormati oleh konstitusi kita.
Oleh karena itu, dalam konteks pilkada, ada beragam metode diterapkan atas
alasan-alasannya sendiri, tetapi yang dapat diterima oleh khalayak pada
umumnya. DKI Jakarta menerapkan pilkada langsung untuk memilih gubernur dan
wakil gubernur; sementara memberlakukan penentuan berdasarkan karier untuk
wali kota dan kabupaten.
Aceh
memberlakukan pilkada langsung untuk kepala daerah provinsi dan
kabupaten/kota. DI Yogyakarta menerapkan penetapan untuk menentukan gubernur
dan wakil gubernur; sementara memberlakukan pilkada langsung untuk bupati dan
wali kota. Papua dan Papua Barat menyelenggarakan pilkada oleh DPR Papua
(DPRP) untuk gubernur dan wakil gubernur setelah mendapat pertimbangan dan
persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) terkait dengan perlindungan hak-hak
orang asli Papua; dan, pilkada langsung untuk bupati dan wali kota.
Keberagaman
seperti itu hanya menunjukkan betapa kaya Nusantara ini atas potensi yang
dimilikinya. Menegasi satu potensi atas potensi yang lain sama saja menafikan
keberagaman Nusantara ini.
Keenam, pilkada, khususnya, dan pemilu, umumnya, pada
substansinya adalah alat, sarana, ataupun instrumen. Dalam konteks Indonesia
yang tengah menjalani reformasi selama lebih kurang 15 tahun, pilkada dan
pemilu merupakan alat yang juga tengah diupayakan penyempurnaannya agar sahih
menjadi alat yang memproses hasil yang baik.
Masalahnya adalah alat yang kita pertentangkan merupakan alat yang
tengah dibangun dengan jiwa dan semangat yang membuka pelibatan pemangku
kepentingan utama, yaitu: rakyat. Di balik beragam alasan dari pertentangan
ini, menarik pelibatan rakyat dalam penggunaan alat yang namanya pilkada ini
terlihat berlangsungnya penyempitan kepentingan untuk sekadar memenuhi atau
mengakomodasi tuntutan elite. Seolah-olah hanya elite yang tahu alat yang
terbaik bagi rakyat. Kecenderungan ini jelas bertentangan dengan tuntutan
zaman dari Indonesia yang berkembang dan masyarakatnya yang semakin maju dan
mandiri.
Melawan aspirasi rakyat
Indikasi
kuat menunjukkan betapa arus aspirasi yang berkembang di kalangan masyarakat
pada umumnya, dan para pemangku kepentingan atas pilkada yang berada di luar
DPR, sangat berlawanan dengan arus mayoritas suara yang ada di DPR. Tampak ada kesenjangan yang lebar antara kehendak
rakyat dan kehendak wakil rakyat. Sayangnya, sampai saat ini kita masih
miskin dalam mengembangkan bermacam cara yang dapat digunakan para wakil
rakyat untuk berkonsultasi dengan prinsipalnya: rakyat.
Konsultasi itu sangat relevan. Alasan utamanya jelas,
rawannya suara wakil rakyat termanipulasi oleh beragam kepentingan sedemikian
rupa sehingga jauh dari, dan bahkan bertentangan dengan, aspirasi rakyat.
Demikian juga, aspirasi rakyat berkembang dan mungkin sekali berubah. Ditambah
lagi fakta yang menyatakan aspirasi masyarakat tidak pernah monolitik,
melainkan beragam.
Ketujuh,
sebagai catatan penutup, pendirian dan sikap
politik yang kaku yang dipertontonkan kubu-kubu kekuatan politik harus
direnungkan secara mendalam dengan rujukan utama prinsip perwakilan berimbang
yang kita terapkan dalam melakukan rekrutmen dan membentuk perwakilan rakyat.
Prinsip ini meniscayakan perwakilan rakyat yang beragam. Koalisi kekuatan politik sebagai hasil dari konfigurasi
politik pemilu presiden, disadari atau tidak, telah menafikan dan merenggut
perwakilan rakyat yang beragam menjadi perwakilan rakyat monolitik.
Angka telah mengalahkan suara. Kuasa telah menundukkan musyawarah. Ini
bukan jalan yang seharusnya ditempuh oleh Indonesia yang beradab. Indonesia
pernah melakukan kesalahan itu. Mudah-mudahan ini tak berakhir (lagi) pada
rakyat yang marah dan secara paksa merebut kembali kedaulatan mereka dari
wakil-wakilnya yang lupa diri. Akankah koreksi yang akan dilakukan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(perppu) untuk mengembalikan keberlakuan pilkada langsung dengan sepuluh
perbaikan akan meredam ”kemarahan” rakyat? Mudah-mudahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar