AS-Indonesia
: Visi Bersama Bukan Front Bersama
Sabam Siagian ; Mantan Duta Besar RI untuk Australia;
Anggota Pimpinan Forum Duta Besar Republik Indonesia
|
KOMPAS,
08 Oktober 2014
DUTA
Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert Blake sejak bertugas hampir
setahun yang lalu di Jakarta memaksimalkan kepandaian berbahasa Indonesia
untuk lebih mengakrabkan hubungan bilateral Republik Indonesia dan AS. Suatu
pertanda dari seorang diplomat yang dinamis yang tak puas cukup duduk di
belakang meja kerjanya dan mengirim laporan dengan kawat sandi.
Dubes
Blake tampak di televisi menyampaikan pesan-pesan persahabatan dengan latar
belakang Masjid Istiqlal. Ia tampak ikut menjajaki Sungai Ciliwung dengan
perahu kecil bersama para aktivis lembaga swadaya masyarakat yang
memperjuangkan kebersihan saluran air bersejarah yang memotong ibu kota RI.
Sepanjang jadwal kerjanya memungkinkan, ia mengunjungi daerah-daerah
terpencil di wilayah RI yang luas ini.
Prestasi
yang baru adalah berhasil menempatkan tulisannya di halaman Opini Harian
Kompas, Sabtu, 27 September lalu.
Namun,
melakukan usaha-usaha yang meningkatkan keakraban hubungan bilateral RI-AS
mungkin tanpa disadari bisa jadi keterusan sehingga memasuki bidang yang
spekulatif. Petanda itu tampak pada tulisan Dubes Blake.
Yang
menjadi tema utama tulisan diplomat AS itu adalah munculnya apa yang disebut
sebagai ”Negara Islam di Irak dan Suriah” dengan segala kekejaman yang telah
dilakukan para pendukungnya. Hal itu diuraikan secara rinci yang sebenarnya
sudah dapat diketahui dari halaman berita media cetak dan siaran berita media
elektronik. Kita tidak usah
mengetahuinya dari sumber diplomatik AS di Jakarta.
Teknik
meningkatkan keakraban dalam hubungan bilateral RI-AS, sehingga timbul dugaan
apakah ada tujuan terselubung, tampak dari kutipan agak panjang berikut dari
tulisan Dubes Blake:
”NIIS merupakan ancaman besar bagi semua bangsa
dan agama di dunia; mereka mengganggu keamanan dan mengancam perdamaian di
Timur Tengah serta berpotensi menyebarkan ideologi mereka yang penuh
kebencian di negara kita. Presiden
Susilo Bambang Yughoyono secara tepat telah menyatakan bahwa ajaran-ajaran
NIIS adalah ajaran yang sesat dan merupakan ancaman bagi identitas Indonesia
sebagai bangsa yang beraneka ragam dan menghormati perbedaan”.
Jika
paragraf itu diteruskan, yang menyusul adalah pujian tambahan kepada Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Teknik mempererat hubungan bilateral mumpung ada
ancaman dari NIIS tampak sebagai tema di hampir seluruh tulisan Dubes Blake.
Malahan, mendekati akhirnya, secara samar ada dorongan untuk menyusun suatu
kerja sama setelah memuji ketegasan Presiden SBY.
Tingkat dewasa
Hubungan
RI-AS dewasa ini mencapai tingkat dewasa karena kedua belah pihak saling
menghormati kepentingan nasional masing-masing pihak dan menjauhi hal-hal
yang peka di kedua belah pihak. Sikap RI terhadap bahaya NIIS jelas
dirumuskan dalam pernyataan bersama Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara
(ASEAN) yang disiarkan hari Minggu, 28 September 2014.
Pernyataan
itu menandaskan bahwa ASEAN mengecam semua tindakan perusakan, kekerasan, dan
teror dalam semua bentukan dan ungkapan. Diteruskan, bahwa ASEAN bersedia
bekerja sama dengan masyarakat internasional. Yang dimaksud agaknya adalah
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pernyataan
ASEAN itu dikeluarkan sehari setelah tulisan Dubes Blake dimuat di Kompas.
Namun, para diplomat yang bertugas di Jakarta sudah mengetahui pokok-pokok
dari posisi RI terhadap NIIS, seperti terungkap pada pernyataan ASEAN,
Minggu, 28 September itu.
Indonesia
sebaiknya bersikap serba cermat dalam menanggapi arahan dan saran seperti
dikemukakan dalam tulisan Dubes Blake, umpamanya: ”Bahkan, Indonesia dan AS
saat ini secara bersamaan telah melakukan berbagai tindakan serupa. (dalam
paragraf sebelumnya digambarkan tindakan-tindakan AS untuk mencegah NIIS
serta aksi-aksi mereka). Yang berikut: ”… kita dapat memastikan bahwa nilai
demokrasi ’kita’ (yang dimaksud RI dan AS?) berjalan sesuai dengan cita-cita
yang terkandung dalam semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika dan Pluribus Unum (berbeda, tetapi satu).
Terlepas
dari soal bahwa dua semboyan itu lahir dalam konteks sosial politik yang
beda, karena itu ada nilai-nilai yang tidak dimiliki secara bersama, kita
(Indonesia) patut memperhatikan aspek yang lebih luas.
AS dan
negara Barat lainnya dalam menggalang aksi terhadap NIIS mempunyai muatan
”kepentingan nasional” yang tidak dimiliki oleh ASEAN, khususnya Indonesia.
Kalau apa yang dimaksud dalam tulisan Dubes Blake
sebagai ”kerja sama internasional” adalah front bersama yang sedang digalang
AS dan negara Barat lainnya (Inggris dan Perancis), gagasan itu patut
diwaspadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar