Kamis, 09 Oktober 2014

AS-Indonesia : Visi Bersama Bukan Front Bersama

AS-Indonesia : Visi Bersama Bukan Front Bersama

Sabam Siagian  ;   Mantan Duta Besar RI untuk Australia;
Anggota Pimpinan Forum Duta Besar Republik Indonesia
KOMPAS,  08 Oktober 2014




DUTA Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert Blake sejak bertugas hampir setahun yang lalu di Jakarta memaksimalkan kepandaian berbahasa Indonesia untuk lebih mengakrabkan hubungan bilateral Republik Indonesia dan AS. Suatu pertanda dari seorang diplomat yang dinamis yang tak puas cukup duduk di belakang meja kerjanya dan mengirim laporan dengan kawat sandi.

Dubes Blake tampak di televisi menyampaikan pesan-pesan persahabatan dengan latar belakang Masjid Istiqlal. Ia tampak ikut menjajaki Sungai Ciliwung dengan perahu kecil bersama para aktivis lembaga swadaya masyarakat yang memperjuangkan kebersihan saluran air bersejarah yang memotong ibu kota RI. Sepanjang jadwal kerjanya memungkinkan, ia mengunjungi daerah-daerah terpencil di wilayah RI yang luas ini.

Prestasi yang baru adalah berhasil menempatkan tulisannya di halaman Opini Harian Kompas, Sabtu, 27 September lalu.

Namun, melakukan usaha-usaha yang meningkatkan keakraban hubungan bilateral RI-AS mungkin tanpa disadari bisa jadi keterusan sehingga memasuki bidang yang spekulatif. Petanda itu tampak pada tulisan Dubes Blake.

Yang menjadi tema utama tulisan diplomat AS itu adalah munculnya apa yang disebut sebagai ”Negara Islam di Irak dan Suriah” dengan segala kekejaman yang telah dilakukan para pendukungnya. Hal itu diuraikan secara rinci yang sebenarnya sudah dapat diketahui dari halaman berita media cetak dan siaran berita media elektronik. Kita tidak usah  mengetahuinya dari sumber diplomatik AS di Jakarta.

Teknik meningkatkan keakraban dalam hubungan bilateral RI-AS, sehingga timbul dugaan apakah ada tujuan terselubung, tampak dari kutipan agak panjang berikut dari tulisan Dubes Blake:

”NIIS merupakan ancaman besar bagi semua bangsa dan agama di dunia; mereka mengganggu keamanan dan mengancam perdamaian di Timur Tengah serta berpotensi menyebarkan ideologi mereka yang penuh kebencian di negara kita.  Presiden Susilo Bambang Yughoyono secara tepat telah menyatakan bahwa ajaran-ajaran NIIS adalah ajaran yang sesat dan merupakan ancaman bagi identitas Indonesia sebagai bangsa yang beraneka ragam dan menghormati perbedaan”.

Jika paragraf itu diteruskan, yang menyusul adalah pujian tambahan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Teknik mempererat hubungan bilateral mumpung ada ancaman dari NIIS tampak sebagai tema di hampir seluruh tulisan Dubes Blake. Malahan, mendekati akhirnya, secara samar ada dorongan untuk menyusun suatu kerja sama setelah memuji ketegasan Presiden SBY.

Tingkat dewasa

Hubungan RI-AS dewasa ini mencapai tingkat dewasa karena kedua belah pihak saling menghormati kepentingan nasional masing-masing pihak dan menjauhi hal-hal yang peka di kedua belah pihak. Sikap RI terhadap bahaya NIIS jelas dirumuskan dalam pernyataan bersama Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang disiarkan hari Minggu, 28 September 2014.

Pernyataan itu menandaskan bahwa ASEAN mengecam semua tindakan perusakan, kekerasan, dan teror dalam semua bentukan dan ungkapan. Diteruskan, bahwa ASEAN bersedia bekerja sama dengan masyarakat internasional. Yang dimaksud agaknya adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pernyataan ASEAN itu dikeluarkan sehari setelah tulisan Dubes Blake dimuat di Kompas. Namun, para diplomat yang bertugas di Jakarta sudah mengetahui pokok-pokok dari posisi RI terhadap NIIS, seperti terungkap pada pernyataan ASEAN, Minggu, 28 September itu.

Indonesia sebaiknya bersikap serba cermat dalam menanggapi arahan dan saran seperti dikemukakan dalam tulisan Dubes Blake, umpamanya: ”Bahkan, Indonesia dan AS saat ini secara bersamaan telah melakukan berbagai tindakan serupa. (dalam paragraf sebelumnya digambarkan tindakan-tindakan AS untuk mencegah NIIS serta aksi-aksi mereka). Yang berikut: ”… kita dapat memastikan bahwa nilai demokrasi ’kita’ (yang dimaksud RI dan AS?) berjalan sesuai dengan cita-cita yang terkandung dalam semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika dan Pluribus Unum (berbeda, tetapi satu).

Terlepas dari soal bahwa dua semboyan itu lahir dalam konteks sosial politik yang beda, karena itu ada nilai-nilai yang tidak dimiliki secara bersama, kita (Indonesia) patut memperhatikan aspek yang lebih luas.

AS dan negara Barat lainnya dalam menggalang aksi terhadap NIIS mempunyai muatan ”kepentingan nasional” yang tidak dimiliki oleh ASEAN, khususnya Indonesia.

Kalau apa yang dimaksud dalam tulisan Dubes Blake sebagai ”kerja sama internasional” adalah front bersama yang sedang digalang AS dan negara Barat lainnya (Inggris dan Perancis), gagasan itu patut diwaspadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar