Selasa, 14 Oktober 2014

Politik Tanpa Suara Hati

                                          Politik Tanpa Suara Hati

Benny Susetyo  ;   Pemerhati Sosial
SINAR HARAPAN,  10 Oktober 2014

                                                                                                                       


Keputusan mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) kepada DPRD sangat menyesakkan dada. Bukan hanya warga Indonesia, dunia internasional juga cukup terkejut atas fenomena politik yang sering diistilahkan sebagai “kemunduran demokrasi” ini.

Sisi ironis lain dalam peristiwa di Senayan, pekan lalu, adalah semua rakyat dengan mata telanjang disuguhi teladan cara politik kekuasaan dimainkan. Tanpa rasa bersalah, elite-elite menepuk dada bahwa mereka berjuang demi rakyat. Saat ambisi politik dan kekuasaan hanya berorientasi “asal aku menang”, tanpa disadari mereka telah menjadikan rakyat semesta sebagai korban.

Persoalan utama yang ada di depan mata para elite adalah perampasan hak politik rakyat menjadi terlupakan akibat ambisi para elite demi kepentingan segolongan orang. Negeri ini seperti kumpulan para boneka yang tak berpendirian dan mudah digerakkan para elit ke sisi yang menguntungkan segolongan pihak.

Politik Pragmatis

Tak dimungkiri, Reformasi masih menyisakan elite-elite yang tidak puas. Politik pun berkembang menjadi pragmatis. Atraksi para elite politik semakin bervariasi dan terkadang susah ditebak ke mana arahnya.

Tetapi dari berbagai macam perilaku elite dewasa ini, satu pertanyaan penting yang seharusnya tetap diajukan, hasrat merebut kekuasaan itu diperuntukkan kepentingan siapa? Jawabannya, rakyat tetap dijadikan lipstik belaka. Ini sebagaimana yang terjadi pada masa sebelumnya, Orde Baru.

Negosiasi, aliansi, pembentukan poros, dan berbagai penjajakan politik dilakukan berbagai kelompok atas nama rakyat. Karena ambisi yang sama kepada politik kekuasaan, kelompok yang sebelumnya berseberangan bisa dengan mudah bertemu atas nama “momentum politik”. Begitu pula kelompok yang sebelumnya menjalin kerja sama erat bisa, dapat bercerai dengan mudah
Ini melahirkan politik partai di Indonesia cenderung mati-matian membela kepentingan kelompoknya dan melalaikan kepentingan rakyat. Mereka ingin berada dalam posisi yang menguntungkan, bahkan bila perlu, dengan cara merugikan kelompok lain.

Model pragmatisme politik tercermin dalam pola perilaku politik yang terjadi saat ini. Para elite bisa melompat ke sana kemari tanpa memedulikan idealisme untuk memperjuangkan kepentingan umum.

Idealisme membela rakyat hanya manis di bibir dan tidak pernah terbukti dalam kenyataan. Dalam konteks pragamatis, visi politik bisa sangat mudah diubah bila tidak sesuai keadaan sesaat. Hal yang dipikirkan kaum pragmatis hanyalah–seperti hukum ekonomi–meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Idealisme politik mudah digadaikan atau dihilangkan sama sekali jika ternyata itu hanya menghasilkan “kekalahan”.

Pola Pikir Pedagang

Begitulah para elite berpola pikir seperti kaum pedagang. Politik yang seharusnya adalah upaya menata kehidupan bersama secara lebih baik, tidak dipedulikan. Setiap kelompok selalu berpikir dan mencari cara menyalahkan kelompok lain. Hal yang lebih menggelikan, setiap kelompok seolah merasa yakin bahwa berbagai persoalan bangsa ini hanya bisa dipecahkan oleh kelompoknya sendiri.

Dilihat dari sikap pragmatis kelompok politik, dapat dilihat kecenderungan yang lebih menonjolkan kepentingan elite daripada kepentingan rakyat. Tanpa disadari; pola, budaya, sikap, dan perangai politik seperti inilah yang teru-menerus menggerus dunia politik kita. Akibatnya dapat ditebak, dengan mudah deal politik selalu identik dengan keuntungan; serta keuntungan identik dengan duit. Intinya, ujung-ujungnya adalah uang dan kekuasaan.

Ketika politik dijalankan dengan mengabaikan hati nurani dan hanya menjadikan rakyat sebagai kambing hitam dan kamuflase tindakan-tindakannya, kekuasaan tidak akan pernah menghasilkan perubahan bagi kehidupan rakyat.
Pilkada diserahkan kembali ke DPRD? Kita tak bisa membayangkan yang sudah dibangun bertahun-tahun lalu akan musnah sedemikian mudah. Alasan politik uang yang menggurita akibat pilkada langsung adalah alasan dibuat-buat seolah-olah semua orang tidak tahu bahwa bila pemilu dilakukan oleh parlemen, politik uang tersebut akan menjadi lebih sehat.

Tak sadar sebagai pelayan rakyat, anggota dewan sudah memerankan diri sebagai penggawa kerajaan zaman dulu yang enggan dikritik. Mereka ingin disebut priyayi yang dalam analisis Geertz dikatakan sebagai kelas masyarakat paling tinggi, hidup serbaberkecukupan, dan selalu ‘memajaki’ rakyat dengan berbagai cara. Mereka ingin disanjung, meski berbuat tidak benar. Mereka ingin dihormati, walau perilakunya sering bertentangan dengan moralitas kemanusiaan.

Politik paham priyayi ini hidup menggurita di segenap lini pemerintahan dari daerah hingga pusat. Kita hidup dalam sebuah zaman ketika demokrasi, objektivitas, dan rasionalitas disanjung-sanjung, tapi kepatuhan dan keterpaksaan secara tidak masuk akal dipraktikkan. Sebagai elite politik, mereka tak sadar bahwa tindak-tanduk dan perilakunya selalu menjadi bahan pergunjingan masyarakat.

Intinya, rakyat tertipu memiliki wakil rakyat yang demikianl; tertipu dan berulang kali, tertipu memiliki pelayan yang suka mencuri uang rakyatnya sendiri. Inilah lingkaran kegelapan yang mewarnai kehidupan politik yang mencerminkan betapa nurani kita sebagai bangsa telah sirna dari muka Bumi Ibu Pertiwi ini.

Para elite kita bagaikan singa sirkus yang lihai memerankan tipu muslihat yang membuai dan menipu penonton.  Elite politik seharusnya memegang teguh gagasan keutamaan publik dalam perjuangan di republik ini. Ini menjadi dasar bagi seorang pemimpin agar dalam bertindak memiliki arete.

Cicero dalam Des Res Publica I (XXV 39) menyatakan, ”Res publica res populi, populus autem non omnis hominum coetus qua-qua modo congregatus, sed coetus multitudinis iuris consensus et utilitatis communione sociatus.” Dalam kalimat ini terdapat unsur-unsur hakiki bila sebuah kebersamaan yang disebut sebagai republik terus berlangsung. Makna republik berakar kepada kata res publica yang memuat kata coetus (perkumpulan), congregatus (keterhimpunan), consensus (kesepakatan, kesaturasaan), utilitas (kemanfaatan, kegunaan, kepentingan, kebaikan mutu, communia (persekutuan, kebersamaan). Republik dengan demikian identik dengan segala hal milik umum (res publica), milik rakyat (res populi).

Kesadaran ini harus menjadi fokus bagi siapa pun pemimpin Indonesia ke depan. Ia harus mampu menawarkan agenda yang jelas bagi perubahan masyarakat. Dengan memusatkan kesadaran itu, kita tidak lagi tertimpa masalah seperti sekarang, ketika banyak agenda demokrasi justru terlupakan, malah melahirkan kebijakan yang mematikan kedaulatan rakyat.

Politik bukan semata-mata alat berkuasa, melainkan harus menggunakan suara hati. Berpolitik tanpa suara hati cenderung mengalami disorientasi. Publik merindukan hadirnya sosok elite yang bertindak dari hati mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar