Selasa, 14 Oktober 2014

Politik Jalan Tengah

                                                Politik Jalan Tengah

Umbu TW Pariangu  ;   Dosen Fisipol Universitas Nusa Cendana Kupang
REPUBLIKA,  10 Oktober 2014

                                                                                                                       


Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya meneken dua perppu pada Kamis (2/10) malam. Dua perppu tersebut membatalkan pemilihan kepala daerah tidak langsung oleh DPRD, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada.

Namun, mampukah perppu ini menembus tembok parlemen yang dikuasai barisan Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri atas Gerindra, Golkar, Demokrat, PKS, PPP, dan PAN dengan 353 kursi (63 persen) DPR, ditambah seluruh pimpinan DPR. Sedangkan Koalisi Indonesia Hebat dengan empat partai politik, yakni PDIP, Nasdem, PKB, dan Hanura hanya memiliki 207 kursi DPR (37 persen) dan tanpa satu pun wakilnya di pimpinan DPR.

Secara matematis, agak sulit bagi pemerintah mengegolkan perppu tersebut di Senayan. KMP akan ngotot mempertahankan pilkada lewat DPRD sebagai strategi politik ofensifnya untuk berhadap-hadapan dengan pemerintah.

Peluang perppu pilkada langsung disetujui masih terbuka dan bisa diterima oleh nalar dan hati publik jika partai pendukung KMP berubah pikiran dan merapat ke kubu Jokowi-JK. Namun, ini tergantung kelihaian komunikasi politik yang dibangun oleh PDIP sebagai motor koalisi dan sejauh mana insentif yang diberikan mampu meyakinkan untuk terbangunnya kutub kerja sama yang konstruktif dan langgeng?

Jika tidak, ini seperti mengulang pengalaman pemilu pasca-1999 di mana pusat kekuasaan berpindah kepada PDIP sebagai pemenang pemilu, tapi Megawati gagal menjadi presiden karena kelambanan dalam membangun pendekatan (koalisi) dengan partai lain. Jokowi-JK rasanya akan menggantungkan harapan kepada kekuatan rakyat (going public).

Artinya, Jokowi-JK harus membuka ruang yang seluas-luasnya bagi publik untuk melakukan komunikasi politik resiprokal terhadap berbagai isu dan kebijakan nasional. Mungkin membutuhkan durabilitas energi politik publik yang tidak sedikit, tapi jika itu diyakini sebagai bagian dari investasi untuk mendukung kekuasaan yang berpihak pada rakyat maka rasanya tak ada yang terlalu berat. Sebab, di titik inilah politik sebagai seni terwujud. Karenanya, jika ada politisi yang masih menggunakan kacamata kuda bahwa politik adalah bagi-bagi kuasa semata, maka ia perlu menziarahi kembali kuburan Plato dan Aristoteles.

Politik yang didasarkan pada semangat menegasi bukanlah anasir dari demokrasi substansial sehingga patut disesalkan ketika spirit "asal berbeda" mewarnai karakter isu politik pascapemilu 2014. Mestinya kekuatan dialektika pikiran, ide, dan kebijakanlah yang menjadi basis dari proses membangun tawar-menawar dan kerja sama politik, bukan politik yang direduksi oleh syahwat liar.

Di satu sisi harus diakui, ketidakmampuan Jokowi-JK menaklukkan hati partai pendukung Koalisi Indonesia Hebat, minimal karena dua hal. Pertama, karena konsistensinya menerapkan prinsip koalisi tanpa syarat, sesuatu yang tak pernah ada dalam menu pemerintahan terpilih sebelumnya.

Syarat ini dianggap tidak memberikan insentif dan penghargaan terhadap sumber daya politik yang diekstraksi oleh pemilu. Namun, mekanisme tanpa syarat sangat diperlukan sebagai modal awal membangun legitimasi kekuasaan di mata publik. Praktik politik kompromi dan dagang sapi selama ini telah terbukti meruntuhkan idealisme berpolitik dan pada akhirnya menawan rakyat dalam turbulensi nasib dan pemenuhan kepentingannya.

Puluhan tahun hal ini dialami rakyat tanpa merasakan keberpihakan kekuasaan selain muncratan janji dan wacana politik yang dipatri pada politik tonil berbasis kosmetik dan gincu. Jika saja roh dan intuisi yang mendasari politisi adalah sama (berbagi kebaikan untuk kemaslahatan bersama), maka sebenarnya relatif tidak terlalu sulit melahirkan sebuah platform kesepakatan politik.

Lain chemistry

Kedua, karena konsistensi Jokowi-JK membangun koalisi pemerintahan berdasarkan prinsip antikorup, membuat partai-partai lain merasa tidak memiliki chemistry yang sama untuk duduk dalam satu gerbong. Harus diakui, tidak sedikit politisi di partai pendukung KMP yang tengah terjerat berbagai kasus korupsi dan ini sangat membuat mereka tidak nyaman. Sehingga, jangan heran jika skenario penguasaan parlemen oleh KMP diprediksi akan berujung pada pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melindungi jaringan persekongkolan.

Namun, politik jalan tengah masih bisa diambil Jokowi-JK dengan tetap melakukan komunikasi ke kubu partai pendukung KMP seperti PAN, PPP, ataupun Demokrat. Insentif yang diberikan tetap harus diawali dengan perjanjian tidak ada tawar-menawar dalam hal profesional, integritas, dan kebersihan jabatan. Kuncinya kini ada di Megawati Soekarnoputri sebagai veto player.

Tidak ada yang salah apalagi berkurang martabatnya jika Megawati mau memulai komunikasi terutama dengan SBY untuk mencari titik kesepahaman. Sejatinya titik kesepahaman itu sudah tersedia di dalam kerendahan hati seorang negarawan yang lebih mementingkan kepentingan bangsa daripada politik do ut des (saya mendapat apa). Dalam konteks ini siapa (mengambil inisiatif) cepat dialah pemenang sejatinya sesuai tagline klasik JK: lebih cepat lebih baik. Kita tunggu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar