Selasa, 14 Oktober 2014

Pendidikan Lintas Agama

                                         Pendidikan Lintas Agama

M Ridwan Lubis  ;   Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
REPUBLIKA,  10 Oktober 2014

                                                                                                                       


Persidangan antarbangsa tentang aliansi antarperadaban (United Nation Allience of Civilization) di Bali pada akhir Agustus 2014 melahirkan rekomendasi bahwa untuk membangun kerja sama menuju masyarakat dunia yang berperadaban agar dimulai menyusun agenda pendidikan yang bersifat lintas agama dan budaya. Kerangka berpikirnya bahwa saat ini tidak lagi mencukupi jika suatu komunitas hanya menerima gagasan toleransi.

Kerukunan atau toleransi dalam arti pasif pada dasarnya juga toleransi setengah hati (lazy tolerance). Dalam situasi dunia yang tengah menghadapi meluasnya kekerasan karena sejumlah perbedaan khususnya yang terkait keyakinan agama, masyarakat global diajak aktif mewujudkan gagasan toleransi secara nyata. Modelnya adalah pendidikan lintas agama dan budaya.

Dengan model pendidikan lintas agama, diharapkan citra agama akan membaik tidak lagi menjadi sumber kekerasan atau yang sering disebut radikalisme. Karena pendidikan lintas agama akan membudayakan sistem dialog dalam membangun komunikasi tentang nilai-nilai keberagamaan yang membentuk perilaku manusia.

Apabila ditelusuri perjalanan pendidikan agama di masyarakat, ditemukan beberapa gagasan. Pertama, pendidikan agama yang menekankan keyakinan agamanya sebagai satu-satunya kebenaran di alam nyata. Apabila ada orang lain menganut kepercayaan berbeda, keyakinan itu dianggap tidak ada.

Kedua, pendidikan agama yang mengajarkan keyakinan absolut yang menjadi dasar misi terbentuknya lembaga pendidikan. Selanjutnya, lembaga pendidikan dimaksud tidak memberi peluang masuknya pengajaran agama lain ke lembaga pendidikan tersebut sekalipun ada murid yang berkeyakinan berbeda dari misi sekolah.

Hal ini bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional yang mengharuskan setiap peserta didik memperoleh pendidikan agama berdasar pada agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama (UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Bab V Pasal 12 ayat [1] huruf a).

Ketiga, pendidikan agama yang digagas oleh Prof Harsya Bachtiar dengan sebutan pendidikan pancaagama. Gagasan itu berangkat dari prinsip lintas agama, tapi memunculkan polemik karena masyarakat menganggapnya aneh. Dasar keberatannya, khawatir tujuan pendidikan agama yang mengajarkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang melahirkan etika keberagamaan hanya berhenti pada pengenalan keperbedaan masing-masing ajaran agama sehingga hasilnya akan makin membingungkan peserta didik.

Keempat, pendidikan lintas agama yang digagas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menjembatani perbedaan antarperadaban guna melahirkan dialog komunikatif antarwarga dunia. Ide ini masih baru diperkenalkan, maka kita belum mengetahui persis muatan gagasan tersebut.

Sikap-sikap radikal yang diasosiasikan dengan keberagamaan tidaklah murni karena faktor perbedaan agama. Konflik yang bernuansa agama tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada agamawan, tetapi juga harus disadari munculnya sikap radikal tidak terlepas dari berbagai perlakuan yang dialami masyarakat, seperti marginalisasi akibat pembangunan, ketidakadilan, maupun ketimpangan memperoleh akses dan aset terhadap pembangunan.

Pendidikan toleransi hendaknya juga secara bersamaan dengan kebijakan rekonstruksi pembangunan agar tidak melahirkan akibat sampingan. Pendidikan lintas agama dan budaya hendaknya bagian dari program restrukturisasi komprehensif terhadap pranata hukum, ekonomi, politik, dan sosial.

Dilihat dari penerapan norma moral dan etika, pendidikan lintas agama dan budaya mencakup, pertama, tidak membenarkan segala cara untuk mencapai tujuan. Kedua, membangun kesetiaan kepada berbagai pihak di mana seorang warga menjadi anggotanya. Ketiga, membangun kejujuran kepada diri sendiri, mitra kerja, dan masyarakat luas. Keempat, etos kerja yang ditetapkan dan disepakati bersama. Kelima, penciptaan suasana saling mendukung dan memercayai. Keenam, memotivasi sumber daya manusia untuk menampilkan kerja yang lebih baik. Ketujuh, ketaatan kepada ketentuan normatif terlepas dari preferensi pribadi atau kelompok (Sondang P Siagian, 2008).

Pendidikan lintas agama dan budaya bukanlah pekerjaan mudah. Di samping faktor visi dan misi kebijakan pendidikan juga kalangan pendidik adalah orang-orang yang memperoleh pencerahan dari studi ilmu agama: sejarah agama, perbandingan agama, dan filsafat agama.

Selama ini, masyarakat seakan alergi pada studi agama karena khawatir akan menumpulkan kesadaran akidah. Penyelenggaraan pendidikan lintas agama dan budaya hendaklah dilandasi oleh visi yang benar tentang makna dan tujuan keberagamaan. Nilai agama tidak sekadar pengetahuan keagamaan yang sifatnya manifes, tetapi harus bersifat laten yang membentuk kesadaran bawah sadar yang teraktualisasi pada perilaku sehingga menjadi manusia bertakwa (God consciousness).

Apabila nilai ini telah dihayati dan membentuk perilaku, akan melahirkan cita-cita luhur yang mendorongnya untuk menyadari bahwa esensi nilai keberagamaan adalah perilaku santun, damai, dan tenggang rasa. Dalam kaitan itulah, pendidikan lintas agama dan budaya diharapkan melahirkan dua hal sekaligus, yaitu pada satu sisi lebih memperkuat keyakinan secara absolut terhadap ajaran agamanya dan sisi lain lebih meningkatkan pengakuan, penghargaan, penghormatan, serta toleransi terhadap penganut agama yang berbeda sekaligus menumbuhkan minat saling belajar terhadap tradisi budaya yang lahir dari perkembangan kesejarahan setiap agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar