Pilkada
Seragam di Negeri Beragam
Amzulian Rifai ; Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang
|
KORAN
SINDO, 30 September 2014
Sekalipun Undang-Undang Pilkada telah disahkan, perdebatan soal
pemilihan langsung atau tidak langsung belum berakhir. Ada yang berpandangan
bahwa fokus perdebatan hanya berkutat pada pemilihan langsung atau pemilihan
oleh DPRD.
Bukan pada kualitasnya. Heboh soal itu bertambah runyam setelah aksi
walk out Partai Demokrat yang dipandang sebagai penyebab kekalahan kelompok
yang propemilihan langsung. Sepertinya pilkada itu semata-mata soal mekanisme
pemilihan langsung atau oleh DPRD. Bagi yang propemilihan langsung, memandang
pemilihan oleh DPRD itu tidak demokratis, merampas kedaulatan rakyat.
Sebaliknya, kelompok yang propilkada oleh DPRD menilai pilkada langsung
lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Dalam soal cara memilih ini,
rakyat disajikan menu yang terbatas: dipilih secara langsung atau dipilih
oleh DPRD. Tidak ada opsi lain, opsi yang ketiga misalnya. Mungkin itu
alasannya mengapa Partai Demokrat memilih keluar dari gelanggang.
Pihak yang menuntut pilkada langsung karena menilai jika meniadakan itu
berarti mengambil kedaulatan rakyat. Ada yang mengutip ungkapan vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan).
Suatu perumpamaan untuk menegaskan powerful-nya
suara rakyat tersebut. Namun, kelompok yang kontra dengan pemilihan langsung
juga beralasan. Di antara alasan yang prinsip karena pilkada selama ini tidak
juga menunjukkan perbaikan.
Lebih dari 70% kepala daerah terlibat kasus hukum. Sebagian rakyat juga
terlibat dalam politik uang. Belum lagi jika menghitung financial cost yang besarnya di luar akal sehat. Begitu juga social cost akibat praktik pilkada
langsung. Pendek kata jika tetap pada ego masing-masing, “sampai kapan pun”
ide dua kelompok yang berbeda ini tidak akan pernah menyatu.
Bangsa
yang Beragam
Para pendiri negara ini paham benar bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa yang beragam. Suatu anugerah luar biasa dari pencipta ketika
menyaksikan bangsa Indonesia dapat eksis di tengah keberagaman yang luar
biasa pula. Itu sebabnya dalam banyak hal simbol-simbol negara menggambarkan
keberagaman itu. Kita mengenal kata Bhinneka Tunggal Ika. Ini menunjukkan
pengakuan keberagaman bangsa Indonesia.
Jarang ada negara yang memiliki dasar negara seperti Pancasila yang
semua silanya sarat pengakuan bahwa bangsa ini bangsa yang beragam dan para
pendiri negara ini berusaha menyerap berbagai perbedaan itu. Agar hukum itu
dapat diterima dan dapat diterapkan dengan baik dalam suatu negara, ia harus
merefleksikan nilai-nilai yang ada dalam suatu masyarakat.
Seandainya hukum kita berdasarkan nilai yang ada di negara Barat
semata, aturan itu hanya ada di atas kertas dan bermasalah dalam
penerapannya. Hal yang sama ketika kita akan menerapkan undang-undang tentang
pilkada tanpa menimbang serius nilai-nilai asli bangsa kita.
Argumentasi
Yuridis
Dalam mendiskusikan apakah pilkada itu langsung atau oleh DPRD dapat dipandang
dari aspek yuridis dan politis. Secara yuridis, kita mengacu kepada UUD 1945
sebagai aturan hukum tertinggi. Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menegaskan:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.” Artinya benar bahwa kedaulatan itu berada di tangan rakyat.
Namun, agar praktik kedaulatan itu tidak “ke mana-mana” dan ditafsirkan
sesuai selera masing-masing, pedoman untuk menerapkan kedaulatan itu adalah
UUD 1945. UUD 1945 telah membuat terang soal pilkada ini. Pasal 18 Ayat (4) “Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing
sebagai kepala pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.” Tidak ada satu kata pun dalam UUD 1945 yang menyatakan
pemilihan kepala daerah itu oleh DPRD atau dipilih secara langsung oleh
rakyat.
Maka itu, tidak tepat dan sekaligus sebagai sikap try and error ketika UU No 32 tahun 2004 dirumuskan secara rigid memaksakan pilkada seragam di
seluruh Indonesia. Kata “dipilih secara demokratis” menunjukkan penyusun UUD
1945 paham benar keberagaman bangsa Indonesia yang atas dasar keberagaman itu
tidak mungkin seluruh daerah dipukul rata menggunakan sistem pemilihan kepala
daerah yang sama.
Jika kita hanya berbicara atas dasar yuridis semata, pedoman lain dapat
mengacu pada Pasal 18 Ayat (3) bahwa “Pemerintahan
daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD yang
anggotaanggotanya dipilih melalui pemilihan umum.” Pasal ini menegaskan
bahwa para anggota DPRD yang harus dipilih melalui pemilihan langsung,
sedangkan jabatan kepala daerah pemilihannya dilaksanakan secara demokratis.
Dalam ilmu negara diajarkan bahwa pemilihan demokratis itu dapat
langsung ataupun dilakukan melalui lembaga perwakilan. Kedua-duanya samasama
demokratisnya. Namun, jika pilkada ditinjau semata-mata dari aspek politis,
sangat mungkin menabrak ketentuan yuridis. Sejak awal di antara fraksi di DPR
RI sikapnya berubah-ubah.
Perubahan sikap itu ditafsirkan sesuai kepentingan mereka, bukan atas
dasar nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi. Seandainya saja rujukan sikap
itu pada budaya bangsa, pastilah tidak bersikap rigid dan memberi harga mati
antara sistem pemilihan langsung atau tidak langsung saja.
Pilkada
Seragam
Karena itu, mestinya disadari “sampai kapan pun” tidak akan ada titik
temunya apabila kita memaksakan sistem pemilihan kepala daerah yang seragam
(langsung atau oleh DPRD) di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang beragam.
Kita mengingkari kehendak dan cita-cita para pendiri negara ini apabila tetap
memaksakan sistem pilkada yang seragam. Padahal praktik pilkada tidak seragam
itu sudah lama diterapkan.
Kita menyaksikan para wali kota di Provinsi DKI tidak melalui pemilihan
umum. Demikian juga pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY atau
keharusan pilkada langsung di Aceh. Tentu ada dasarnya mengapa cara itu yang
digunakan. Itu juga sebagai fakta ada pengakuan perlunya sistem pilkada yang
beragam, tidak seragam. Mungkin sulit mencari tandingan ada negara lain
semajemuk Indonesia.
Keberagaman ini memunculkan pola pemilih yang beragam pula. Ada
daerah-daerah yang masyarakatnya “sudah cocok” dengan tradisi pemilihan
langsung. Bagi kelompok masyarakat ini, kalah-menang dalam pemilihan tidak
menjadi soal. Itu juga tradisi demokrasi yang dianut bangsa Barat/maju.
Tengok saja pemilu sekaliber referendum kemerdekaan di Skotlandia untuk lepas
dari Inggris, berlangsung damai penuh kegembiraan.
Perbedaan pandangan secara terbuka seringkali memunculkan perang
terbuka pula. Lembaga peradilan belum menjadi tradisi untuk menyelesaikan
masalah. Jika pun mereka ke pengadilan seringkali menghasilkan permusuhan
berkepanjangan pascapersidangan. Keterbatasan ekonomi dan kemiskinan ideologi
sebagian besar rakyat kita juga menyumbang permasalahan dalam penerapan
sistem pilkada langsung yang mungkin tidak terjadi di daerah seperti Jakarta,
Bogor, atau Bandung.
Mereka memilih bukan karena visimisi, melainkan berapa “uang transpor”
yang diterima sebagai dana pengganti karena tidak ke sawah, tidak melaut,
tidak menyadap karet atau tidak menjadi kuli panggul pada hari pencoblosan.
Pastilah
Propilkada Langsung
Saya yakin saat ini mayoritas orang dan lembaga di Indonesia akan
membela pilkada secara langsung. Tengok saja serangan terhadap SBY sangat
masif sebagai alamat kekesalan setelah Partai Demokrat walkout dalam
paripurna yang memberikan kemenangan kepada Koalisi Merah Putih pengusung
pilkada oleh DPRD.
Di antara alasan propilkada langsung karena banyak lembaga telah
terbentuk dan mapan sebagai back up pemilihan secara langsung. Tidak heboh
lagi peran KPU, Bawaslu, Panwaslu, DKPP, lembaga-lembaga survei, jika kelak
pilkada mutlak hanya oleh DPRD. Belum lagi jika dihitung juga aspek bisnis
yang menggiurkan. Ada dana miliaran rupiah dibelanjakan untuk iklan pilkada,
untuk melakukan survei, untuk percetakan.
Pemerintah sekarang juga sudah tersandera dalam sistem pilkada langsung
karena sistem ini lahir di era Presiden SBY yang “sepertinya” memiliki
kewajiban moral untuk mempertahankannya. Jangan-jangan bangsa kita telanjur
terjebak dalam semangat demokrasi langsung. Akibat itu, pilkada yang oleh UUD
1945 tidak harus langsung pun kita jadikan pemilihan langsung.
Seakan-akanjikatidaklangsung, melanggar nilai demokrasi. Mungkin ada
yang tidak tahu, AS sekalipun, “dewanya negara demokrasi” tidak memilih
presidennya secara langsung. Ia dipilih oleh sekelompok orang sebagai
perwakilan yang disebut electoral college. Mestinya para pengambil keputusan
tidak serta-merta memutuskan pilkada dengan salah satu opsi: langsung atau
oleh DPRD.
Harus ada kajian mendalam atas akar budaya bangsa kita sehingga tidak
main pukul rata. Pemaksaan salah satu opsi tersebut tergolong tidak bijak dan
tidak sejalan dengan pendiri negara ini. Bagaimana mungkin bangsa Indonesia
yang beragam “dipaksa” untuk menerapkan sistem pemilihan yang seragam.
Agaknya ketuk palu pimpinan sidang paripurna DPR RI menyetujui pilkada oleh
DPRD bukanlah tahap final.
Perang antarkelompok pro dan kontra pilkada langsung akan terus
berlanjut dalam berbagai rupa. Inilah akibatnya jika hukum lari dari akar
budaya asli bangsa Indonesia yang senyatanya beragam itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar