Rabu, 01 Oktober 2014

Pilkada Seragam di Negeri Beragam

Pilkada Seragam di Negeri Beragam

Amzulian Rifai  ;   Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang
KORAN SINDO,  30 September 2014

                                                                                                                       


Sekalipun Undang-Undang Pilkada telah disahkan, perdebatan soal pemilihan langsung atau tidak langsung belum berakhir. Ada yang berpandangan bahwa fokus perdebatan hanya berkutat pada pemilihan langsung atau pemilihan oleh DPRD.

Bukan pada kualitasnya. Heboh soal itu bertambah runyam setelah aksi walk out Partai Demokrat yang dipandang sebagai penyebab kekalahan kelompok yang propemilihan langsung. Sepertinya pilkada itu semata-mata soal mekanisme pemilihan langsung atau oleh DPRD. Bagi yang propemilihan langsung, memandang pemilihan oleh DPRD itu tidak demokratis, merampas kedaulatan rakyat.

Sebaliknya, kelompok yang propilkada oleh DPRD menilai pilkada langsung lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Dalam soal cara memilih ini, rakyat disajikan menu yang terbatas: dipilih secara langsung atau dipilih oleh DPRD. Tidak ada opsi lain, opsi yang ketiga misalnya. Mungkin itu alasannya mengapa Partai Demokrat memilih keluar dari gelanggang.

Pihak yang menuntut pilkada langsung karena menilai jika meniadakan itu berarti mengambil kedaulatan rakyat. Ada yang mengutip ungkapan vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Suatu perumpamaan untuk menegaskan powerful-nya suara rakyat tersebut. Namun, kelompok yang kontra dengan pemilihan langsung juga beralasan. Di antara alasan yang prinsip karena pilkada selama ini tidak juga menunjukkan perbaikan.

Lebih dari 70% kepala daerah terlibat kasus hukum. Sebagian rakyat juga terlibat dalam politik uang. Belum lagi jika menghitung financial cost yang besarnya di luar akal sehat. Begitu juga social cost akibat praktik pilkada langsung. Pendek kata jika tetap pada ego masing-masing, “sampai kapan pun” ide dua kelompok yang berbeda ini tidak akan pernah menyatu.

Bangsa yang Beragam

Para pendiri negara ini paham benar bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragam. Suatu anugerah luar biasa dari pencipta ketika menyaksikan bangsa Indonesia dapat eksis di tengah keberagaman yang luar biasa pula. Itu sebabnya dalam banyak hal simbol-simbol negara menggambarkan keberagaman itu. Kita mengenal kata Bhinneka Tunggal Ika. Ini menunjukkan pengakuan keberagaman bangsa Indonesia.

Jarang ada negara yang memiliki dasar negara seperti Pancasila yang semua silanya sarat pengakuan bahwa bangsa ini bangsa yang beragam dan para pendiri negara ini berusaha menyerap berbagai perbedaan itu. Agar hukum itu dapat diterima dan dapat diterapkan dengan baik dalam suatu negara, ia harus merefleksikan nilai-nilai yang ada dalam suatu masyarakat.

Seandainya hukum kita berdasarkan nilai yang ada di negara Barat semata, aturan itu hanya ada di atas kertas dan bermasalah dalam penerapannya. Hal yang sama ketika kita akan menerapkan undang-undang tentang pilkada tanpa menimbang serius nilai-nilai asli bangsa kita.

Argumentasi Yuridis

Dalam mendiskusikan apakah pilkada itu langsung atau oleh DPRD dapat dipandang dari aspek yuridis dan politis. Secara yuridis, kita mengacu kepada UUD 1945 sebagai aturan hukum tertinggi. Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menegaskan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Artinya benar bahwa kedaulatan itu berada di tangan rakyat.

Namun, agar praktik kedaulatan itu tidak “ke mana-mana” dan ditafsirkan sesuai selera masing-masing, pedoman untuk menerapkan kedaulatan itu adalah UUD 1945. UUD 1945 telah membuat terang soal pilkada ini. Pasal 18 Ayat (4) “Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Tidak ada satu kata pun dalam UUD 1945 yang menyatakan pemilihan kepala daerah itu oleh DPRD atau dipilih secara langsung oleh rakyat.

Maka itu, tidak tepat dan sekaligus sebagai sikap try and error ketika UU No 32 tahun 2004 dirumuskan secara rigid memaksakan pilkada seragam di seluruh Indonesia. Kata “dipilih secara demokratis” menunjukkan penyusun UUD 1945 paham benar keberagaman bangsa Indonesia yang atas dasar keberagaman itu tidak mungkin seluruh daerah dipukul rata menggunakan sistem pemilihan kepala daerah yang sama.

Jika kita hanya berbicara atas dasar yuridis semata, pedoman lain dapat mengacu pada Pasal 18 Ayat (3) bahwa “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD yang anggotaanggotanya dipilih melalui pemilihan umum.” Pasal ini menegaskan bahwa para anggota DPRD yang harus dipilih melalui pemilihan langsung, sedangkan jabatan kepala daerah pemilihannya dilaksanakan secara demokratis.

Dalam ilmu negara diajarkan bahwa pemilihan demokratis itu dapat langsung ataupun dilakukan melalui lembaga perwakilan. Kedua-duanya samasama demokratisnya. Namun, jika pilkada ditinjau semata-mata dari aspek politis, sangat mungkin menabrak ketentuan yuridis. Sejak awal di antara fraksi di DPR RI sikapnya berubah-ubah.

Perubahan sikap itu ditafsirkan sesuai kepentingan mereka, bukan atas dasar nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi. Seandainya saja rujukan sikap itu pada budaya bangsa, pastilah tidak bersikap rigid dan memberi harga mati antara sistem pemilihan langsung atau tidak langsung saja.

Pilkada Seragam

Karena itu, mestinya disadari “sampai kapan pun” tidak akan ada titik temunya apabila kita memaksakan sistem pemilihan kepala daerah yang seragam (langsung atau oleh DPRD) di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang beragam. Kita mengingkari kehendak dan cita-cita para pendiri negara ini apabila tetap memaksakan sistem pilkada yang seragam. Padahal praktik pilkada tidak seragam itu sudah lama diterapkan.

Kita menyaksikan para wali kota di Provinsi DKI tidak melalui pemilihan umum. Demikian juga pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY atau keharusan pilkada langsung di Aceh. Tentu ada dasarnya mengapa cara itu yang digunakan. Itu juga sebagai fakta ada pengakuan perlunya sistem pilkada yang beragam, tidak seragam. Mungkin sulit mencari tandingan ada negara lain semajemuk Indonesia.

Keberagaman ini memunculkan pola pemilih yang beragam pula. Ada daerah-daerah yang masyarakatnya “sudah cocok” dengan tradisi pemilihan langsung. Bagi kelompok masyarakat ini, kalah-menang dalam pemilihan tidak menjadi soal. Itu juga tradisi demokrasi yang dianut bangsa Barat/maju. Tengok saja pemilu sekaliber referendum kemerdekaan di Skotlandia untuk lepas dari Inggris, berlangsung damai penuh kegembiraan.

Perbedaan pandangan secara terbuka seringkali memunculkan perang terbuka pula. Lembaga peradilan belum menjadi tradisi untuk menyelesaikan masalah. Jika pun mereka ke pengadilan seringkali menghasilkan permusuhan berkepanjangan pascapersidangan. Keterbatasan ekonomi dan kemiskinan ideologi sebagian besar rakyat kita juga menyumbang permasalahan dalam penerapan sistem pilkada langsung yang mungkin tidak terjadi di daerah seperti Jakarta, Bogor, atau Bandung.

Mereka memilih bukan karena visimisi, melainkan berapa “uang transpor” yang diterima sebagai dana pengganti karena tidak ke sawah, tidak melaut, tidak menyadap karet atau tidak menjadi kuli panggul pada hari pencoblosan.

Pastilah Propilkada Langsung

Saya yakin saat ini mayoritas orang dan lembaga di Indonesia akan membela pilkada secara langsung. Tengok saja serangan terhadap SBY sangat masif sebagai alamat kekesalan setelah Partai Demokrat walkout dalam paripurna yang memberikan kemenangan kepada Koalisi Merah Putih pengusung pilkada oleh DPRD.

Di antara alasan propilkada langsung karena banyak lembaga telah terbentuk dan mapan sebagai back up pemilihan secara langsung. Tidak heboh lagi peran KPU, Bawaslu, Panwaslu, DKPP, lembaga-lembaga survei, jika kelak pilkada mutlak hanya oleh DPRD. Belum lagi jika dihitung juga aspek bisnis yang menggiurkan. Ada dana miliaran rupiah dibelanjakan untuk iklan pilkada, untuk melakukan survei, untuk percetakan.

Pemerintah sekarang juga sudah tersandera dalam sistem pilkada langsung karena sistem ini lahir di era Presiden SBY yang “sepertinya” memiliki kewajiban moral untuk mempertahankannya. Jangan-jangan bangsa kita telanjur terjebak dalam semangat demokrasi langsung. Akibat itu, pilkada yang oleh UUD 1945 tidak harus langsung pun kita jadikan pemilihan langsung.

Seakan-akanjikatidaklangsung, melanggar nilai demokrasi. Mungkin ada yang tidak tahu, AS sekalipun, “dewanya negara demokrasi” tidak memilih presidennya secara langsung. Ia dipilih oleh sekelompok orang sebagai perwakilan yang disebut electoral college. Mestinya para pengambil keputusan tidak serta-merta memutuskan pilkada dengan salah satu opsi: langsung atau oleh DPRD.

Harus ada kajian mendalam atas akar budaya bangsa kita sehingga tidak main pukul rata. Pemaksaan salah satu opsi tersebut tergolong tidak bijak dan tidak sejalan dengan pendiri negara ini. Bagaimana mungkin bangsa Indonesia yang beragam “dipaksa” untuk menerapkan sistem pemilihan yang seragam. Agaknya ketuk palu pimpinan sidang paripurna DPR RI menyetujui pilkada oleh DPRD bukanlah tahap final.

Perang antarkelompok pro dan kontra pilkada langsung akan terus berlanjut dalam berbagai rupa. Inilah akibatnya jika hukum lari dari akar budaya asli bangsa Indonesia yang senyatanya beragam itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar